Advertisement
Ketahanan Virus Corona di Suhu Tinggi, Ini Penjelasan LIPI
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjadi buah bibir khalayak lantaran memprediksi pandemi virus corona jenis baru yang menyebabkan penyakit Covid-19 bakal mereda pada April.
Prediksi tersebut didasari oleh hasil kajian dan riset yang menyatakan bahwa virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2 tidak kuat bertahan di lingkungan beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang relatif tinggi, seperti Indonesia.
Advertisement
"Dari hasil modelling, cuaca Indonesia di ekuator yang panas dan humidity tinggi maka untuk Covid-19 itu enggak kuat," ujarnya dalam konferensi video, Kamis (2/4/2020).
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran Covid-19 berdasarkan kajian yang dilakukan melalui analisis statistik, permodelan matematis, dan studi literatur.
Kajian tersebut menyimpulkan bahwa kondisi lingkungan Indonesia sebenarnya tidak ideal untuk peningkatan kasus atau outbreak Covid-19.
“Terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di Agustus nanti yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata antara 28°C hingga 32°C dan kelembaban udara berkisar antara 60 ssamoai dengan 80 persen,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati pada Sabtu (3/5/2020).
Lantas, bagaimana sebenarnya karakteristik dari virus yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China ini dari kacamata seorang ahli mikrobologi?
Peneliti Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra mengatakan proses penyebaran Covid-19 di lingkungan dengan suhu dan kelembaban tinggi memang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan lingkunan bersuhu rendah dan kering.
”Faktanya, jumlah penderita Covid-19 itu memang sebagian besar di negara yang suhu udaranya lebih rendah, kira-kira range-nya di bawah 18° C. Nah kemudian jumlah total penderita yang berada di negara dengan suhu di atas 18° dengan kelembaban absolut lebih dari 9g/ m³ hanya sekitar 6 persen dari jumlah total penderita di dunia,” katanya ketika dihubungi oleh Bisnis pada Minggu (4/5/2020).
Adapun sebelumnya, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam sempat menyebut bahwa kemampuan bertahan SARS-CoV-2 lebih tinggi di lingkungan bersuhu rendah terlihat dari tingginya penyebaran virus tersebut di kota-kota dengan suhu rendah.
"Pusat penyebaran Covid-19: Wuhan 13° C, Qom 19°C, Daegu 11°C, Lombardy 14°C, Hokkaido 0°C. Virus memang lebih lama bertahan di luar pada suhu dingin," demikian disampaikan oleh Ari melalui akun Twitter-nya @DokterAri belum lama ini.
Namun, Sugiyono melanjutkan ketika musim kemarau tiba dan penyebaran Covid-19 makin melambat bukan berarti upaya penanggulangan dan pencegahan tidak lagi dilakukan sepenuhnya. Upaya pembatasan sosial (social distancing) diikuti oleh perilaku hidup bersih dan sehat di tengah masyarakat harus tetap dilakukan mengingat banyak faktor lain yang mempengaruhi penyebaran virus.
“Misalnya, faktor lain yang berpengaruh adalah demografi pasien dan karakteristik virusnya yang bermutasi. SARS-CoV-2 yang ada saat ini karakternya tentu sudah berbeda dengan yang pertama kali ditemukan di Wuhan pada Desember tahun lalu. Virus bermutasi itu pasti, tinggal cepat atau lambatnya saja bagaimana,” tuturnya.
Lebih lanjut, Sugiyono menjelaskan SARS-CoV-2 seperti keluarga virus corona lainnya memiliki kemampuan mutasi yang tak lebih cepat dari virus influenza. Virus tersebut diketahui melakukan satu hingga dua mutasi per bulan atau dua hingga empat kali lebih lambat dari virus influenza.
Walaupun demikian, patut diingat jika keluarga virus corona adalah termasuk dalam kategori virus RNA (ribonucleic acid/asam ribonukleat). Virus RNA umumnya memiliki tingkat mutasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan virus DNA (deoxyribonucleic acid/asam deoksiribonukleat).
“Keluarga virus corona ini termasuk virus RNA, walaupun memang lebih lambat mutasinya dari virus influenza tetapi tetap saja jauh lebih cepat dibandingkan virus yang termasuk virus DNA.”
Selama ini, pembuatan vaksin untuk penyakit yang disebabkan oleh virus RNA cenderung sulit dan membutuhkan waktu lama. Pasalnya, virus RNA ini punya satu rantai yang cenderung berubah-ubah dann dapat dengan mudah berkembang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Gelombang I Pemberangkatan Jemaah Calon Haji ke Tanah Suci Dijadwalkan 12 Mei 2024
- Diserang Israel, Iran Sebut Fasilitas Nuklir Aman dan Siap Membalas dengan Rudal
- Respons Serangan Israel, Iran Aktifkan Pertahanan Udara dan Tangguhkan Penerbangan Sipil
- Google Kembali Pecat Karyawan yang Protes Proyek Kerja Sama dengan Israel
- 2 Oknum Pegawai Lion Air Jadi Sindikat Narkoba, Begini Modus Operasinya
Advertisement
Jalan Rusak di Sleman Tak Kunjung Diperbaiki, Warga Pasang Spanduk Obyek Wisata Jeglongan Sewu
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Darurat, Kasus Demam Berdarah di Amerika Tembus 5,2 Juta, 1.800 Orang Meninggal
- ASN Akan Dipindah ke Ibu Kota Nusantara Secara Bertahap hingga 2029, Ini Prioritasnya
- Ketua KPU Hasyim Asy'ari Kembali Dilaporkan Terkait dengan Kasus Asusila
- Arab Saudi Rilis Aturan Baru Visa Umrah 2024, Simak Informasi Lengkapnya
- Pemerintah dan DPR Didesak Segera Mengesahkan RUU Perampasan Aset
- Detik-detik Pasutri Terseret Banjir Lahar Hujan Semeru, Jembatan Ambrol saat Dilintasi
- Seorang Polisi Berkendara dalam Kondisi Mabuk hingga Tabrak Pagar, Kompolnas: Memalukan!
Advertisement
Advertisement