Advertisement

Sekjen PDIP: Demokrasi Langsung Bikin Parpol Lebih Pragmatis

Lugas Subarkah
Senin, 10 Oktober 2022 - 19:37 WIB
Arief Junianto
Sekjen PDIP: Demokrasi Langsung Bikin Parpol Lebih Pragmatis Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto dalam Election Corner Mengembalikan Politik Programatik di Pemilu 2024 di ruang Auditorium Fisipol UGM, Senin (10/10/2022). - Istimewa/Humas UGM

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN — Sistem pemlihan langsung dalam pesta demokrasi di Indonesia dinilai boros ongkos politik. Selain itu, sistem tersebut memicu partai politik cenderung lebih pragmatis dalam mengusung calon.

Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto mengatakan sebelum pandemi Covid-19, partainya sempat ingin mengusulkan perubahan sebagian poin dalam UUD 1945 untuk merombak sistem demokrasi pemilihan langsung karena dianggap tidak sesuai dengan akar budaya Indonesia sebagai Negara Pancasila.

Advertisement

“Sistem pemilu yang liberal ini harus diubah sesuai dengan kultur dan ideologi kita, Pancasila,” ujarnya dalam diskusi Election Corner bertajuk Mengembalikan Politik Programatik di Pemilu 2024 di ruang Auditorium Fisipol UGM,’ Senin (10/10/2022).

Sistem demokrasi pemilihan langsung ini menurut Hasto, menjadikan partai politik hanya mengejar raihan suara atau elektoral dengan menggandeng tokoh atau figur populer di masyarakat tetapi tidak melakukan kaderisasi di partainya sendiri.

BACA JUGA: Anak & Istri Lukas Enembe Tolak Jadi Saksi, Alasan Adat dan UU

Menurut Hasto, ongkos politik yang dikeluarkan oleh setiap calon legislatif dan calon kepala daerah cukuplah besar. Untuk menekan ongkos politik yang mahal itu sebaiknya diubah dalam bentuk pemilihan anggota legislatif proporsional tertutup.

Sementara untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tetap dipilih secara langsung. Sementara kepala daerah dipilih oleh DPRD. “Gubernur itu seharusnya kepanjangan dari pemerintah pusat dan Gubernur dipilih oleh DPRD. Lalu, ada Pilkada asimetris. Partai politik menyiapkan masing-masing calon pemimpinnya,” katanya.

Dampak yang ditimbulkan dari besarnya ongkos politik pada setiap pilkada menjadikan calon kepala daerah terbebani sehingga menggandeng sponsor atau investor politik.

“Sekarang calon kepada daerah tanpa sponsor dan investor politik nggak bisa jadi, kecuali memiliki partai politik yang memilili kekuatan untuk memenangkan dirinya,” katanya.

Senada, Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Kholid mengatakan Indonesia saat ini terjebak pada konsep demokrasi prosedural tetapi lupa akan substansial.

“Bagaimana meningkatkan pendapatan per kapita, Human Development Index, kebebasan dan good governance mengalami kemunduran,” katanya.

Dia juga mengkritisi calon pemimpin sekarang ini jika ingin maju pilkada dan pileg menggunakan survei sebagai metodologi penelitian berbasis ilmu pengetahuan.

"Namun, saat terpilih dan menjabat mereka tidak menggunakan pengetahuan untuk mensejahterakan rakyatnya," ucap dia.

Anggota DPR RI dari Partai Nasdem, Willy Aditya, menuturkan maju dan mundurnya sebuah demokrasi bergantung dengan orang-orang yang duduk di lembaga politik dan pemerintahan yang seharusnya diisi oleh mereka yang memiliki ideologi, berintegritas dan memiliki pengetahuan.

 “Kepala daerah dan anggota legislatif kebanyakan sekarang dari pengusaha. Kampus harus ikut andil. Kenapa politik kita kering? Karena para ideolognya entah kemana. Para pemikir tidak mau terjun ke dunia praktis. Kampus tetap di menara gading dan dunia politik semakin banal,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Putusan Banding Turun, Vonis Mari Terdakwa Waliyin dan Ridduan Jadi Penjara Seumur Hidup

Sleman
| Jum'at, 19 April 2024, 19:37 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement