Advertisement
Penyebab Chairul Tanjung Rugi Rp11,2 Triliun di Garuda Menurut Peter Gontha

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Komisaris PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Peter Gonta menjelaskan kerugian yang dialami pengusaha nasional Chairul Tanjung di maskapai pelat merah tersebut.
Hal ini dibeberkan Peter malalui akun instagramnya @petergontha pada Jumat 94/6/2021), sekaligus menjawab postingan Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga.
Advertisement
BACA JUGA: TelkomClick 2023: Kesiapan Kerja Karyawan dalam Sukseskan Strategi Five Bold Moves di Tahun 2023
Chairul Tanjung memiliki saham GIAA melalui Trans Airways sebesar 28,27 persen. Porsi ini di bawah kepemilikan pemerintah sebesar 60,54 persen. Selain keduanya, ada kepemilikan publik di bawah 5 persen dengan porsi 11,19 persen.
"Memang saya mewakili orang yang memegang saham minoritas, artinya dikit lah cuman 28 persen, yaitu Chairul Tanjung [CT]. Tapi si minoritas yang sudah rugi Rp11 Triliun," katanya.
Peter memperinci perhitungan kerugian sebesar Rp11,2 triliun tersebut karena investasi di Garuda terutama karena nilai saham yang terus merosot dalam waktu 9 tahun.
“Waktu CT diminta tolong karena para underwriter gagal total dan menyetor US$250 juta. Waktu itu, kurs rupiah masih di kisaran Rp8.000 sekarang sudah Rp14.500,” ungkap Peter.
Selain itu, saat CT membeli saham GIAA, harga masih berada di level Rp625. Posisi tersebut jauh di atas harga saham saat ini yang berada di level Rp256 per saham.
"Silahkan hitung tapi menurut saya, dalam kurun waktu 9 tahun kerugian CT saya hitung sudah Rp11,2 triliun termasuk bunga belum hitung inflasi, banyak juga yah Mas Arya?" tulisnya.
Selain itu, Peter juga menuliskan orang yang tidak setor apa-apa membikin aturan dan strategi tanpa melibatkan Chairul Tanjung. "Sedih kan? [Bukan marah lho]," tambahnya.
Peter menambahkan, pihak yang paling sakit adalah Chairul Tanjung, yang disebut sebagai pemegang saham ecek-ecek atau minoritas.
Sebelumnya, Peter mengungkapkan sejumlah penyebab kritisnya kondisi keuangan Garuda. Antara lain, tidak adanya penghematan biaya operasional, tidak adanya informasi mengenai cara dan narasi negosiasi dengan lessor, dan tidak adanya evaluasi atau perubahan penerbangan/rute yang merugi
Selain itu lanjutnya, cash flow manajemen yang tidak dapat dimengerti, keputusan yang diambil Kementerian BUMN secara sepihak tanpa koordinasi dan tanpa melibatkan Dewan Komisaris, serta aktivitas Komisaris yang oleh karenanya hanya 5-6 jam/minggu.
BACA JUGA: Finnet Dukung Digitalisasi Sistem Pembayaran Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Polres Magelang Kota Amankan 100 Kilogram Bahan Mercon, 1 Pelaku Ditangkap
- 11,39 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT Tahunan
- Alasan Kejagung Tuntut Teddy Minahasa Hukuman Mati
- KPK Duga Rafael Alun Trisambodo Terima Gratifikasi Dalam Bentuk Uang
- Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, PDIP Klaim Tidak Ada Beda Sikap dengan Jokowi
Advertisement

Belasan Motor Milik Remaja Pelaku Perang Sarung Disita hingga Lebaran
Advertisement

Ini Wisata Air di Wilayah Terpencil Gunungkidul yang Menarik Dikunjungi
Advertisement
Berita Populer
- Perjalanan Kasus Teddy Minahasa, dari Ditangkap hingga Dituntut Hukuman Mati
- QRIS Indonesia Bisa Dipakai di Negara-Negara ASEAN Ini
- Catat! Ada Tambahan Jadwal KRL Jogja Solo, Hari Ini!
- Ini Jadwal Kereta Bandara Jogja YIA, Sabtu 1 April 2023
- Rekor Tertinggi! 700 Ribu Kasus TBC Ditemukan Sepanjang 2022
- Tiket Bisa Dibeli Online, Ini Jadwal Bus DAMRI Jogja-Bandara YIA Sabtu 1 April 2023
- Prakiraan Cuaca DIY, Sabtu 1 April 2023: Siang Ini, Sleman Hujan Petir
Advertisement
Advertisement