Advertisement

LONG-FORM: Perayaan Imlek di Indonesia, dari Pramoedya sampai Gus Dur

Kahfi
Selasa, 05 Februari 2019 - 14:25 WIB
Budi Cahyana
LONG-FORM: Perayaan Imlek di Indonesia, dari Pramoedya sampai Gus Dur Suasana di dalam Vihara Dharma Bhakti, Jakarta Barat, pada tengah malam menjelang Tahun Baru Imlek 2019, Selasa (5/2/2019). - Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA -  Tionghoa adalah salah satu elemen pembentuk masyarakat kepulauan yang dulu bernama Nusantara.

Selasa (5/2/2019) ini, Imlek dirayakan. Ini adalah perayaan tahun baru yang merupakan kepercayaan tradisional masyarakat Tionghoa. Pernah terdapat masa, ketika perayaan Imlek dan atribut kebudayaan Tionghoa dilarang di muka publik.

Advertisement

Padahal, selain India dan Arab, masyarakat Tionghoa atau China telah berkelindan menyatu dengan kebudayaan Nusantara. Bahkan, dari perspektif penulisan sejarah, sebagaimana dituruti D.G.Hall maupun George Coedes, sumber tentang Asia Tenggara, khususnya nusantara banyak berasal dari tulisan musafir China.

Asia Tenggara, terbagi dalam dua keluarga besar masyarakat yakni Austroasia dan Aistronesia. Kedua kelompok besar itu mengalami arus migrasi dari utara, tak lain adalah India dan China.

Dalam buku Sejarah Asia Tenggara dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer karya M.C Ricklefs dkk, disebutkan bahwa China kuno bersendikan hidup Konfusianisme, Budhisme, dan Tao. Ketiga ajaran itu pun telah memengaruhi pandangan hidup masyarakat asli Asia Tenggara.

Indonesia adalah salah satu tempat di kawasan “Selatan” yang menunjukan keterbukaan dan toleransi tinggi. Seperti dikutip dari buku tersebut, peneliti asing takjub denga  keberadaan dua kompleks megah candi Hindu dan Budha.

Mereka merujuk Prambanan dan Borobudur, yang ditinggalkan Dinasti Sanjaya. Pembangunan dan lokasi pendirian  dua candi berdekatan, meski  menyimbolkan kepercayaan berbeda, Prambanan yang Hindu dan Borobudur yang Budha. Sedangkan, tulis penelitian tersebut, negara Asia Tenggara lainnya mayoritas menekankan kekuasaan satu agama saja.

Keberagaman Nusantara itu pun membawa banyak maslahat. Sebagaimana dikisahkan dalam Tetralogi Buru, karya Pramoedya Ananta Toer, terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, kehadiran kelompok muda Tionghoa telah menstimulasi kelahiran organisasi pergerakan nasional.

Tersebutlah nama Ang San Mei, salah seorang wanita bertubuh ringkih, berprofesi sebagai guru, sekaligus aktivis  Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Sejak berdiri pada 1900, THHK menggerakan program pendidikan, dengan mendirikan sekolah berkurikulum nasionalisme China.

Pram mencatat, selain THHK, organisasi Jamiatul Khair yang berdiri pada 1901, juga memberikan inspirasi pergerakan nasional pada fase embrio. Ang San Mei, wanita kurus ringkih dan sakit keras itu, aktif menggembleng kader melalui THHK.

Sebaliknya, Minke, seorang terpelajar lokal, masih disibukan urusan domestik keluarga. Sejak saat itu, Ang San Mei dan THHK menjadi acuan Mingke yang akrab diasosiasikan kepada Tirto Adiesoerjo, dalam memperjuangkan nasib pribumi jajahan.

Pram tidak berhenti pada Ang San Mei dalam membela masyarakat Tionghoa yang pada beberapa fase zaman, dirugikan oleh kebijakan pemerintah. Sebelumnya, pada 1950-an, sejalan dengan pembatasan gerak pedagang kelontong Tionghoa di desa-desa, menyusul aksi sepihak dan tindakan keras aparat terhadap minoritas, Pram menulis Hoakiau Indonesia.

Buku pembelaan budaya Tionghoa yang harmonis dan senadi dengan Indonesia itu, mula-mula merupakan artikel berseri milik Pram. Kemudian setelah dibukukan, Pram malah diciduk tentara, dan mendekam dalam tahanan militer.

Tak lama dari dekade tersebut, fase terkelam bagi masyarakat Tionghoa berlangsung. Sejak 1967, hingga 1999, masyarakat Tionghoa dilarang membawa atribut kebudayaan apapun di muka publik.

Orde Baru (Orba) melalui Instruksi Presiden Nomor 14  Tahun 1967 menegaskan pelarangan atas segala hal yang berbau Tionghoa, seperti Cap  Go Meh, Ceng Beng, Sembahyang Rebut, dan termasuk perayaan Imlek. 

Bahkan, pada Instruksi Presidium Kabinet No. 3/U/IN/1967 tentang Kebidjaksanaan Pokok Penjelesaian Masalah Tjina, masyarakat Tionghoa dipandang sebagai warga negara asing atau keturunan asing yang harus dileburkan dengan melepaskan segala atribut ketionghoaannya. 

Beruntung, pada 1998, Orba tumbang. Setelah terpilih melalui Sidang MPR, Abdurahman Wahid alias Gus Dur, naik ke kursi presiden.

Gus Dur melihat banyak ketidakadilan dan dendam masa silam telah memecah belah bangsa. Selain meminta maaf kepada korban tragedi 1965, yang dibunuh dan dipenjara tanpa pengadilan yang benar, Gus Dur mulai memulihkan relasi sosial terhadap masyarakat Tionghoa.

Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000. Kemudian Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif.
Dengan begitu, Indonesia kembali menjadi rumah bagi siapa saja yang mengakuinya sebagai Tanah Air. Selamat merayakan Imlek, semoga toleransi tinggi yang diwariskan leluhur nusantara tak lagi ternoda!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mudik Lebaran, Gunungkidul Bakal Dijejali 154.000 Kendaraan

Gunungkidul
| Kamis, 28 Maret 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement