Ada Potensi Kerugian Negara Rp18,19 Triliun, Berikut 5 Fakta Temuan BPK
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA–Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara resmi menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2023 kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penyerahan dokumen tersebut dilaksanakan pada Selasa (5/12/2023).
Penyerahan tersebut dilakukan meski di tengah masalah yang menjerat anggota BPK, yakni Pius Lustrilanang yang tengah diperiksa dan Achsanul Qosasi yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Advertisement
Ketua BPK Isma Yatun mengungkapkan sederet hasil temuan-temuan BPK terhadap kementerian/lembaga negara baik pusat maupun daerah, serta perusahaan pelat merah.
BACA JUGA: BPK Dikuasai Eks Politisi Hingga Masuk Lingkaran Korupsi
Tak tanggung-tanggung dari 705 laporan hasil pemeriksaan (LPH), BPK membukukan 9.261 temuan dan 15.689 permasalahan.
Faktanya, permasalahan terbanyak berada di pemerintah daerah dan BUMD dengan 12.909 temuan senilai Rp3,18 triliun. Nilai Rp3,18 triliun hanya satu per tiga dari nilai total temuan masalah di pemerintah pusat yang mencapai Rp9 triliun dari 2.497 temuan.
Mulai dari kelemahan sistem pengendalian intern, ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan kerugian, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan, serta ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan (3E).
BPK melihat secara persentase pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi BPK untuk temuan sejak 2005 hingga semester I/2023 telah sesuai sebesar 76,9%.
“Namun demikian, untuk hasil pemeriksaan pada periode RPJMN 2020 hingga semester I 2023, tindak lanjut yang telah sesuai rekomendasi baru mencapai 47,0%,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-10, Selasa (5/12/2023).
Berikut fakta-fakta temuan BPK dari 5 Fakta Temuan BPK pada IHPS I/2023
1. Potensi Rugi Rp18,19 Triliun
Meski telah menyelamatkan uang negara, BPK turut menemukan potensi raibnya kas negara senilai Rp18,19 triliun dari 9.261 temuan tersebut. Secara perinci, jumlah tersebut meliputi 7.006 (44,6%) permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI) dan permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mencapai 8.626 (55,0%) temuan dengan nilai Rp16,92 triliun.
Dari nilai Rp16,92 triliun, dua klasifikasi temuan dengan nilai terbesar adalah potensi kerugian sebesar Rp7,43 triliun dan kekurangan penerimaan sebesar Rp6,01 triliun. Sementara kategori kerugian tercatat senilai Rp3,48 triliun dari 4.100 permasalahan ketidakpatuhan.
Selain itu, terdapat 57 (0,4%) permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp1,27 triliun.
2. Selamatkan Uang Negara Rp132,69 Triliun
BPK telah melakukan penyelamatan uang dan aset negara dari tindak lanjut atas rekomendasi tersebut dengan nilai mencapai Rp132,69 triliun. Nilai tersebut hampir mencukupi untuk membiayai anggaran Kementerian Pertahanan yang menjadi anggaran kementerian terbesar dalam APBN 2023, yakni senilai Rp134,3 triliun.
Sementara itu, Rp19,20 triliun di antaranya mencakup hasil pemeriksaan periode RPJMN 2020-semester I 2023.
3. Khusus Kominfo: Opini Wajar Dengan Pengecualian
IHSP I/2023 turut memuat 134 hasil pemeriksaan atas laporan keuangan tahun 2022 pada pemerintah pusat, di antaranya adalah 81 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dengan 80 opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) serta 1 Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN) dengan opini WTP.
Sementara terdapat 1 LKKL yang mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian atau WDP, yakni Laporan Keuangan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Faktanya, hal ini terkait permasalahan aset peralatan mesin senilai Rp3,8 triiun dan konstruksi dalam pengerjaan senilai Rp1,9 triliun terkait Based Tranceiver Station (BTS) yang tidak dapat diyakini. Kondisi ini berujung pada eks Menteri Kominfo Johnny G. Plate terbukti bersalah karena melakukan tindakan korupsi oleh lima orang lainnya.
Untuk itu, BPK meminta Menteri Komunikasi dan Informatika mengkaji pelaksanaan program penyediaan BTS 4G agar dapat terlaksana sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menghindari risiko pekerjaan tidak dilanjutkan.
BPK juga meminta penyedia menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak. Selain itu turut menginstruksikan Dirut BAKTI untuk menyusun ketentuan pembayaran penyediaan BTS 4G sesuai dengan realisasi fisik pekerjaan dan menyajikan hasil penyediaan BTS 4G secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
4. 11 BUMN Bermasalah
Dari 117 temuan yang memuat 202 permasalahan, BPK menemukan permasalahan yang signifikan di 11 BUMN/anak perusahaannya yang meliputi kegiatan pengelolaan pendapatan, biaya, dan investasi BUMN periode 2017-2022.
Perusahaan pelat merah tersebut mencakup PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Subholding Gas)/PT PGN, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)/PT PLN, PT Pertamina (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero)/PT Telkom, dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk/PT Waskita.
“Permasalahan signifikan antara lain pemberian uang muka perikatan perjanjian jual beli gas [PJBG] tidak didukung mitigasi risiko dan jaminan yang memadai,” ungkapnya Isma.
BPK menemukan bahwa PT PGN memberikan uang muka perikatan PJBG sebesar US$15 juta kepada PT IAE. Salah satu permasalahan yang BPK juga temukan adalah tarif layanan khusus sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM kepada pelanggan premium belum sepenuhnya diterapkan oleh PT PLN.
Saat ini, tarif menggunakan tarif reguler ditambah nilai layanan premium yang mengakibatkan PT PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp5,69 triliun pada uji petik tahun 2021.
5. Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
Khusus untuk laporan keuangan pinjmana dan hibah luar negeri (PHLN), Kementerian PUPR yang saat ini dipimpin oleh Basuki Hadimuljono, mendapatkan rapor Tidak Wajar (TW). Dari 40 laporan PHLN, hanya Kementerian PUPR yang mendapatkan opini tersebut.
Proyek Kementerian PUPR yang merupakan hibah dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) tercatat bahwa realisasi belanja modal berpotensi tidak layak bayar sebesar Rp6,44 miliar karena belum rampung.
Realisasi pembayaran biaya remunerasi sebesar Rp1,83 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya serta kelebihan pembayaran reimbursable expenses sebesar Rp 1,73 miliar dan realisasi pembayaran reimbursable expenses sebesar Rp695,60 juta belum dapat diyakini bukti pertanggungjawabannya.
Meski laporan dihasilkan di tengah polemik, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal menilai temuan BPK tetap perlu diapresiasi. Namun, PR besar bagi BPK sebagai auditor perlu untuk membenahi diri untuk memulihkan kepercayaan publik.
"Kalau auditornya tidak bersih, ikut bermain, bagaimana kemudian menghasilkan hasil audit yang berkualitas? BPK harus berbenah dari sisi akuntabilitas dan kualitas supaya bisa memaksimalkan kinerja dan memulihkan kepercayaan publik," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
- Pengaruh Dukungan Anies Vs Dukungan Jokowi di Pilkada Jakarta 2024, Siapa Kuat?
- Yusril Bantah Mary Jane Bebas, Hanya Masa Hukuman Dipindah ke Filipina
- ASN Diusulkan Pindah ke IKN Mulai 2025
- Pelestarian Naskah Kuno, Perpusnas Sebut Baru 24 Persen
Advertisement
KPU Sleman Targetkan Distribusi Logistik Pilkada Selesai dalam 2 Hari
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ini Lima Nama Pimpinan KPK Periode 2024-2029 yang Ditetapkan DPR
- Resmi! Lima Anggota Dewas KPK Ditetapkan DPR, Ini Daftarnya
- Musim Hujan Tiba, Masyarakat Diminta Waspada Ancaman Demam Berdarah
- Seniman Keluhkan Mahalnya Sewa Panggung Seni, Fadhli Zon Bilang Begini
- Pakar Hukum Sebut Penegak Hukum Harus Kejar hingga Tuntas Pejabat yang Terlibat Judi Online
- Pemerintah Pastikan Penetapan UMP 2025 Molor, Gubernur Diminta Bersabar
- 8 Terduga Teroris Ditangkap, Terkait dengan NII
Advertisement
Advertisement