Advertisement

Pasar Teknologi China Tetap Berkilau meski Diganggu Perang Dagang

Nirmala Aninda
Selasa, 29 Oktober 2019 - 18:57 WIB
Budi Cahyana
Pasar Teknologi China Tetap Berkilau meski Diganggu Perang Dagang Perusahaan teknologi China Huawei meluncurkan smartphone baru pada Rabu (2/9/2015), membidik target tinggi dari pasar, yang didominasi oleh Apple dan Samsung Electronics. - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Pasar teknologi China tetap bersinar meski diganggu perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Menurut indeks Bank of America Merrill Lynch, investor kredit yang membeli obligasi teknologi China pada awal tahun kini memiliki imbal hasil 13%, lebih tinggi dari sektor lainnya.

Raksasa industri teknologi China mulai dari JD.com, Inc. hingga Tencent Holdings Ltd. dan Sunny Optical Technology Group Co memiliki keuntungan paling tinggi dengan aset gabungan senilai US$192 miliar yang dikelola oleh manajer aset asal Swiss, Pictet Asset Management Ltd.

Advertisement

Dengan perang dagang yang membebani ekonomi dan pasar teknologi global secara khusus, kondisi ini mungkin tampak kontraintuitif.

Menurut Thomas Wu, Kepala Fixed Income Asia di Pictet, Sunny Optical, JD.com dan Tencent adalah contoh perusahaan China yang tangguh dalam menghadapi ketegangan perang dagang.

Padahal, sambung Thomas, Tidak ada negara Asia yang benar-benar kebal terhadap konflik perdagangan AS-China.

"Sektor teknologi-internet sangat defensif dalam hal penanganan risiko dalam perang perdagangan," katanya, dikutip melalui Bloomberg, Selasa (29/10/2019).

Analis Bloomberg Intelligence Charles Shum. mengungkapkan meskipun tarif perdagangan telah memaksa beberapa pembuat komponen seperti Sunny Optical untuk mendirikan pabrik di luar China, pendapatan mereka masih sangat bergantung pada permintaan pelanggan dalam negeri.

Konsumen domestik menyumbang 84% dari pendapatan Sunny Optical tahun lalu, sementara ekspor ke AS hanya menyumbang 2,1%.

Untuk pengecer online seperti JD.com dan raksasa internet Tencent, permintaan domestik menyumbang setidaknya 97% dari pendapatan mereka pada tahun 2018.

Obligasi dalam denominasi dolar AS yang jatuh tempo pada 2026 dan 2027 telah memberikan imbal hasil setidaknya 18% tahun ini, mengalahkan 10% di pasar negara berkembang Asia, menurut indeks Bloomberg Barclays.

Permintaan domestik menyumbang lebih dari setengah dari pendapatan perusahaan tahun lalu.

Sementara itu, regulator AS akan melakukan pemungutan suara bulan depan terkait proposal untuk mencegah belanja subsidi pemerintah digunakan pada pembelian peralatan dari Huawei.

Pada Mei 2019, pemerintahan Presiden AS Donald Trump membatasi perusahaan-perusahaan AS melakukan bisnis dengan raksasa teknologi China, tetapi larangan tersebut telah dicabut dengan dikeluarkannya izin sementara yang memungkinkan sejumlah kegiatan jual beli antar bisnis.

"Untuk mendapatkan keuntungan terbaik dari investasi dalam obligasi korporasi China, sektor teknologi perlu difokuskan secara internal agar terhindar dari dampak eskternal," kata Leo Hu, manajer portofolio senior untuk utang hard-currency pasar berkembang di NN Investment Partners Ltd.,

Dia juga beranggapan bahwa Amerika Serikat belum akan memangkas tarif terhadap impor China dalam waktu dekat.

Menurut Hu, perusahaan-perusahaan yang fokus di indsutri teknologi tertentu serta sektor konsumer akan menjadi faktor pendukung bagi pertumbuhan kredit China.

Dia menambahkan bahwa populasi China yang besar serta ekosistem industri yang mapan akan mendukung sektor teknologinya.

BLACKLIST AS

Di luar negeri, perusahaan-perusahaan China masih mengupayakan untuk menghindari sanksi blacklist yang dijatuhkan oleh Washington beberapa waktu lalu atas dasar keamanan nasional.

Co-founder dari China's SenseTime Group Ltd., Xu Bing, sadar bahwa perusahaannya rentan dengan meningkatnya ketegangan antara China dan AS, tetapi dia tidak menyangka sanksi akan dijatuhkan secepat itu.

Awal bulan lalu, Departemen Perdagangan AS menyatakan bahwa ada tujuh perusahaan teknologi swasta China yang dilarang melakukan kegiatan jual beli komponen, seperti semikonduktor, kepada perusahaan AS.

China berusaha untuk berevolusi secara ekonomi dengan bergerak melampaui keahliannya di bidang manufaktur dengan harapan menjadi pelopor teknologi, dan mendominasi bidang-bidang utama seperti kecerdasan buatan (AI).

Sementara itu, pemerintahan Donald Trump semakin bersikeras untuk menahan kebangkitan China, dengan alasan bahwa perusahaan seperti Huawei Technologies Co. mencuri kekayaan intelektual dan mengancam keamanan nasional, sedangkan startup seperti SenseTime dan Megvii Technology Ltd. dianggap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang.

SenseTime, startup AI dengan valuasinya terbesar yakni US$7,5 miliar, sedang berusaha untuk meyakinkan para investor, karyawan, dan pelanggan.

Perusahaan ini terdiri dari sejumlah akademisi yang memutuskan untuk mengkomersilkan teknologi ciptaan mereka pada 5 tahun lalu dan berhasil menarik perhatian dari pemerintah AS dan China untuk aplikasi pengintainya.

Sekarang, mereka berencana untuk menggeser bisnis dari produksi perangkat keras, yang membutuhkan chip dari AS, dan fokus pada perangkat lunak untuk sistem pengenalan wajah dan aplikasi lainnya.

Megvii, startup AI lain yang masuk dalam blacklist, berencana untuk terus maju dengan rencana IPO, dan secara efektif menguji apakah investor akan mengambil risiko sanksi tersebut.

Megvii juga mengungkapkan bahwa mereka tidak melakukan kesalahan dan berencana untuk melawan sanksi Washington.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Jadwal Buka Depo Sampah di Kota Jogja

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 06:37 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement