Advertisement
Setara Institute: Perda Diskriminatif Dilatarbelakangi Politik

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Lembaga riset demokrasi dan perdamaian Setara Institute menyebutkan motif politik menjadi salah satu latar belakang lahirnya peraturan daerah (perda) intoleran dan diskriminatif di sejumlah daerah.
"Ada banyak sebabnya kenapa perda intoleran itu terbentuk, yang lain karena adanya motif politik," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani usai seminar membahas Perda intoleran dan diskriminatif yang diadakan di Jakarta Pusat, Selasa (13/8/2019).
Advertisement
Ismail menyebutkan, umumnya isi dari perda-perda diskriminatif atau perda agama tapi kontroversial itu disusun berdasarkan pandangan keyakinan beragama seperti rancangan Perda Religius di Kota Depok yang muncul dan terus tumbuh karena motif politik.
Menurut dia, dengan motif politik itu seorang kepala daerah membentuk perda tersebut sehingga tidak perlu berkampanye, cukup mengeksploitasi prestasi di dalam kontes membentuk perda religius seorang kepala daerah sudah bisa membentuk barisan pendukung.
BACA JUGA
"Perda itu alat kampanye dan itu salah satu bentuk kapitalis politik seorang kepala daerah adalah menerbitkan perda-perda berbasis agama," katanya.
Praktik seperti ini, lanjut dia, berdasarkan pandangan para ilmuwan politik adalah sesuatu yang wajar, karena itu bagian dari strategi politik. Tetapi secara konstitusi hak asasi manusia hal itu jelas bertentangan.
"Itu praktik politik yang keliru, kenapa? Karena dalam politik itu ada pihak yang ditundukkan secara tidak sehat lawan-lawannya sehingga dibohongi dengan produk itu," kata Ismail.
Selain karena motif politik, perda diskriminatif dan intoleran ini terbentuk juga karena keterampilan para pembuat produk hukum daerah tidak memiliki perspektif tentang HAM, keadilan, gender, dan toleransi.
"Itu yang menyebabkan mereka tidak merasa membuat norma-norma intoleran dan diskriminatif tapi kalau kita periksa lebih dalam lagi kita akan menemukan norma yang disusun berpotensi mendiskriminasi kelompok lain," kata Ismail.
Berdasarkan hasil riset Setara Institute yang dilakukan pada periode September 2018 hingga Februari 2019 menemukan 24 produk hukum daerah dikriminatif di Yogyakarta dan 91 produk hukum daerah di Jawa Barat.
Riset yang dilakukan Setara Institute mengkaji tentang dampak produk hukum daerah yang diskriminatif terhadap akses pelayanan publik.
Kajian hukum ini dilakukan dengan wawancara terstruktur pada kelompok-kelompok minoritas dan terkena dampak untuk memperoleh informasi tentang contoh-contoh dan pengalaman spesifik diskriminasi pelayanan publik di masing-masing provinsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Aksi Antipemerintah di Peru Tewaskan Satu Orang dan 102 Luka-luka
- Polisi Bongkar Jaringan Narkoba Internasional, Sita 17,6 Kg Sabu-Sabu
- Alexander Ramlie, Miliarder Termuda Indonesia dengan Kekayaan Rp39 T
- Kasus Trans 7, Polda Metro Jaya Dalami Dugaan Pelanggaran ITE
- BPBD Sarmi Pantau Dampak Gempa Magnitudo 6,6 di Papua
Advertisement

Jokowi Ucapkan Selamat Ulang Tahun ke-74 untuk Presiden Prabowo
Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA
Advertisement
Berita Populer
- Marco Bezzecchi Dihukum Double Long Lap Akibat Tabrak Marc Marquez
- Atap Kios Pasar Semin Ambruk dan 30 Rumah di Gunungkidul Rusak
- 13,1 juta Penumpang Bersubsidi Sudah Dilayani Oleh PT KAI
- Bikin Aktivitas Masak Aman dan Nyaman, Ini Tiga Keuntungan Garansi Tuk
- Siswa SD Wonosari Tenggelam di Sungai Kamal Saat Kegiatan Pramuka
- Prediksi Persita vs PSIM Jogja: Pertarungan Dua Kuda Hitam
- Suryatmajan Dorong Warga Olah Sampah Mandiri lewat Program Mas Jos
Advertisement
Advertisement