Advertisement

Kejaksaan Agung Kini Bisa Menyadap Ponsel Warga

Sirojul Khafid
Sabtu, 05 Juli 2025 - 15:07 WIB
Sunartono
Kejaksaan Agung Kini Bisa Menyadap Ponsel Warga Menggunakan ponsel saat mengisi daya. - Ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung menjalin kerja sama dengan perusahaan telekomunikasi. Kerja sama ini mencakup pertukaran dan pemanfaatan data informasi dalam rangka penegakan hukum, termasuk pemasangan dan pengoperasian perangkat penyadapan informasi.

Kerja sama ini ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman MoU antara Jamintel Reda Manthovani dan empat penyedia layanan telekomunikasi, yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk., PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk., dan PT Xl Smart Telecom Sejahtera Tbk. Jamintel Reda mengatakan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah krusial bagi Kejaksaan RI, khususnya bidang intelijen.

Advertisement

"Saat ini business core intelijen kejaksaan berpusat pada pengumpulan data dan/atau informasi yang selanjutnya sebagai bahan untuk dianalisis, diolah, dan dipergunakan sesuai dengan kebutuhan organisasi," katanya, Kamis (26/6/2025).
Maka dari itu, Reda menilai bahwa kolaborasi bersama penyedia layanan telekomunikasi menjadi hal yang krusial dan mendesak agar kualitas dan validitas data maupun informasi tidak terbantahkan serta memiliki kualifikasi nilai A1.

Data maupun informasi dengan kualifikasi A1 tersebut, kata dia, memiliki berbagai manfaat, di antaranya dalam tataran praktis seperti pencarian buronan atau daftar pencarian orang, pengumpulan data dalam rangka mendukung penegakan hukum, atau dalam tataran global yang akan digunakan sebagai penyusunan analisis holistik terhadap suatu topik tertentu dan khusus.

Kejaksaan Agung mengatakan bahwa penandatanganan MoU Jamintel dengan empat perusahaan telekomunikasi untuk upaya penyadapan informasi, murni untuk penegakan hukum. “Ini murni karena dalam konteks penegakan hukum, perlu ada fungsi yang bisa mendukung membantu itu sehingga perlu dikerjasamakan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar.

Harli mencontohkan salah satu penegakan hukum yang dilakukan bidang intelijen Kejaksaan adalah pencarian pihak-pihak yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Dalam konteks tersebut, dibutuhkan segera kepastian hukum. Lalu, dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), telah diatur bahwa intersepsi atau penyadapan yang dikecualikan adalah yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya.

Maka, penyadapan pun bisa dilakukan untuk mempercepat proses penegakan hukum. “Dalam rangka penggunaan fungsi teknologi itulah perlu digandeng lembaga-lembaga terkait dengan itu,” kata Harli.

BACA JUGA: Jadi Biang Kerusuhan, Ini Tampang Mas-mas Pelayaran Saat Meminta Maaf ke Driver Ojol di Jogja

Lebih lanjut, mantan Kajati Papua Barat tersebut memastikan bahwa pelaksanaan MoU ini akan dilakukan secara hati-hati. “Kami mau sampaikan kepada publik bahwa dalam konteks ini, tentu tidak membatasi ruang privasi publik karena itu tidak boleh,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengingatkan Kejaksaan Agung soal hak atas perlindungan data pribadi. Puan menekankan pentingnya menjaga batas antara kebutuhan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara di tengah kerja sama antara Kejagung dan operator telekomunikasi.

"Penegakan hukum sangat penting, tetapi Kejaksaan harus memperhatikan hak atas perlindungan data pribadi karena hak privat adalah hak konstitusional," kata Puan, Jumat (27/6/2025).

Ketua DPR juga menekankan pentingnya menjaga kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan negara di alam demokrasi. Menurut dia, kepercayaan publik dapat tumbuh jika masyarakat meyakini bahwa negara bertindak dalam koridor hukum. "Penegakan hukum yang kuat harus tumbuh berdampingan dengan penghormatan terhadap hak-hak warga," katanya.

Puan juga menegaskan bahwa DPR RI akan mengawal setiap bentuk integrasi teknologi dalam penegakan hukum yang selaras dengan etika konstitusi dan prinsip demokrasi. "Kolaborasi antara negara dan pelaku industri harus dilihat bukan hanya dari efektivitas teknis, tetapi juga dari perspektif akuntabilitas, transparansi, dan perlindungan hak sipil," katanya. "Kemajuan teknologi harus menjadi sahabat demokrasi dan tidak boleh berubah menjadi pengawasan."

Belum Ada Regulasi Pembatasan

Sejauh ini, belum ada regulasi yang mengatur pembatasan aktivitas penyadapan oleh Kejaksaan Agung. Hal ini disampaikan oleh Peneliti kebijakan digital dari Raksha Initiatives, Wahyudi Djafar.

Dia menjelaskan selama ini kejaksaan belum memiliki regulasi yang mengatur pembatasan penyadapan. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 30 C menyebut "penyadapan berdasarkan Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai penyadapan dan menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak pidana." "Sayangnya Undang-Undang Penyadapan itu belum ada," kata Wahyudi, Jumat (27/6/2025).

Wahyudi menjelaskan, penyadapan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang karena sifatnya membatasi hak asasi seseorang. Maka dari itu, menurutnya, pembatasan harus ada. Bentuknya dapat berupa ketentuan, seperti penyadapan wajib mendapat surat perintah pengadilan atau untuk kasus-kasus dengan barang bukti yang cukup. "Tidak bisa kemudian secara umum melakukan pemantauan," katanya.

Tanpa pembatasan penyadapan yang jelas, Kejaksaan bisa mengakses data secara terus-menerus, melakukan penyadapan secara terus-menerus terhadap komunikasi-komunikasi personal melalui provider-provider telekomunikasi yang melakukan kesepakatan dengan Kejaksaan Agung ini. "Ini sangat-sangat mengancam perlindungan hak atas privasi warga negara," kata Wahyudi.

Wahyudi mencontohkan lembaga penegak hukum lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu meminta izin kepada organ internal, yakni Dewan Pengawas, untuk melakukan penyadapan. Sementara itu, Pegiat hak digital dari Safenet, Nenden Sekar Arum, mengatakan bahwa warga sebagai konsumen seharusnya mengetahui dan bisa memberi persetujuan akan kemungkinan terjadinya penyadapan.

"Karena kalau misalnya tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP [UU Perlindungan Data Pribadi]," kata Nenden.

Meminimalkan Pelanggaran Hak Digital

Masyarakat perlu memberikan persetujuan terlebih dahulu perihal hal-hal apapun yang dilakukan penyedia layanan telekomunikasi terhadap data pribadi milik mereka. Hal tersebut dikatakan oleh Pegiat hak digital dari Safenet, Nenden Sekar Arum, mengacu pada Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang mengatur pemrosesan data pribadi.

"Karena kalau tidak ada persetujuan dari penggunanya, dari kita, itu sebenarnya sudah melanggar hak atas privasi yang ada di PDP," kata Nenden.

Perusahaan penyedia layanan juga perlu menginformasikan jenis data apa yang dibagikan kepada aparat penegak hukum. Nenden mengatakan pembagian data kepada aparat penegak hukum ini juga perlu dilakukan terukur. "Harusnya hanya orang-orang yang memberikan consent-lah [persetujuan] yang, kemudian datanya bisa dibagikan. Kalau enggak, berarti itu sudah melanggar ya hak atas privasi," kata Nenden.

BACA JUGA: Gempa Jepang: Warga Panik dengan Ramalan Komik Manga, Pemerintah Setempat Bantah Ada Keterkaitan

Nenden menjelaskan warga atau konsumen yang tak berkenan dengan kebijakan ini bisa mencoba meminta penjelasan kepada perusahaan via layanan pelanggan. Menurutnya, jika konsumen tidak mendapat layanan yang memuaskan, mereka bisa mulai menginisiasi tindakan hukum.

"Kalau misalnya kita enggak dapat jawaban yang memuaskan atau bahkan misalnya bilang customer service-nya enggak tahu soal itu, mungkin kita bisa lanjut ke konteks somasi," katanya.

Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif, memandang kerja sama antara Kejaksaan Agung dan operator telekomunikasi sudah baik karena penyadapan dilakukan pihak yang tepat. "Menurut saya itu bagus karena pihak-pihak yang bisa menyadap ini pihak-pihak yang bertanggung jawab, jadi enggak dipakai tidak pada tempat semestinya," kata Arif, Jumat (27/6/2025).

BACA JUGA: Tagihan Listrik Penerangan Kampung Membengkak hingga Ratusan Juta, Dishub Bantul Lakukan Penertiban

Arif menjelaskan, konsumen memang perlu memahami betul syarat dan ketentuan mengenai layanan telekomunikasi yang mereka gunakan. Hal ini menurutnya berguna agar konsumen memahami hal apa saja yang bisa dilakukan penyedia jasa terhadap data-data yang mereka miliki.

Namun, di sisi lain ia menilai, perusahaan juga perlu bersikap transparan mengenai kebijakan-kebijakan terkait kemungkinan penyadapan. "Baiknya memang disosialisasikan juga ke seluruh konsumen," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Naik Signifikan, Leptospirosis di Bantul Capai 160 Kasus Per Juli 2025

Bantul
| Sabtu, 05 Juli 2025, 17:07 WIB

Advertisement

alt

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah

Wisata
| Senin, 30 Juni 2025, 06:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement