Advertisement
Diduga karena Pergaulan Bebas di Pengungsian, Banyak Anak Korban Bencana Palu Terpaksa Dinikahkan
Warga mengambil sisa-sisa bangunan yang masih bisa digunakan di lokasi terdampak pergerakan atau pencairan tanah (likuifaksi) di Balaroa Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (14/10/2018). - ANTARA FOTO/Yusran Uccang
Advertisement
Harianjogja.com, PALU-- Pengungsi korban bencana di Palu menghadapi masalah sosial. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Palu, Sulawesi Tengah, menemukan anak-anak pengungsi di bawah umur korban bencana gempa, tsunami dan likuefaksi yang terpaksa dinikahkan.
Kepala DP3A Kota Palu Irmayanti Pettalolo menduga kuat pernikahan dini yang meningkat pasca anak-anak pengungsi di bawah umur tersebut menempati selter atau tenda pengungsian maupun hunian sementara (huntara) akibat pergaulan bebas.
Advertisement
"Situasi sekarang perkawinan anak meningkat. Ada beberapa anak-anak di bawah umur yang harus dinikahkan karena kondisi pada waktu pasca bencana," katanya di depan Wali Kota Palu Hidayat saat berdialog dengan perwakilan Organisasi Dana Anak-anak Dunia (UNICEF) di ruang kerja Wali Kota Palu Kantor Wali Kota Palu, Kamis (16/5).
Namun dia tidak merinci jumlah anak-anak di bawah umur yang dinikahkan tersebut.
BACA JUGA
Irmayanti juga tidak ingin mengungkap identitas mereka mengingat usianya yang masih di bawah umur.
"Kontrol orang tua yang hidup di tenda-tenda ini tidak seperti biasanya saat tinggal di rumah jadi mereka tidak bisa mengetahui anaknya keluyuran ke mana. Ada beberapa selter itu tempat yang anak-anak itu dinikahkan di bawah umur. Anak-anak usia SMP,"ujarnya.
Menurutnya peran serta pihak-pihak yang terkait yang bergerak dalam perlindungan perempuan dan anak, baik dari pemerintah maupun non pemerintah seperti UNICEF sangat penting untuk mengatasi persoalan tersebut.
Sementara itu Wali Kota Palu Hidayat dalam pertemuan tersebut mengemukakan jika percepatan pembangunan dan penyelesaian hunian tetap (huntap) sangat penting dilakukan.
Dia yakin huntap menjadi solusi terbaik untuk mengatasi persoalan tersebut sebab hidup di tenda pengungsian selama delapan bulan lamanya dan di huntara dalam beberapa bulan ke depan menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi dan dialami anak-anak dan perempuan.
"Saya berjuang agar mereka cepat dapat huntap. Kalau begini ini anak-anak dan perempuan yang sangat rentan. Boleh dibilang saya ini mengemis huntap baik kepada lembaga, yayasan atau organisasi non pemerintah dan pemerintah," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Drainase Jadi Tempat Buang Limbah, Sleman Langganan Genangan
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Aisyiyah Ngampilan Gelar Temu Lansia Sehat dan Mandiri
- Listrik untuk Rakyat, Sambung Listrik Gratis ke 25 Pelanggan di Jepara
- UNESCO dan Solopos Institute Perkuat Literasi Media dan Informasi
- Jakarta Jadi Ibu Kota Terpadat di Dunia versi PBB
- 15 Jalur Baru Trans Jogja, Akses Kampus dan Wisata Makin Mudah
- Japan Foundation Lakukan Survei Nihongo Partners di MAN 2 Jogja
- Gemetar dan Tidur Terganggu, Bisa Jadi Dampak Negatif Kafein
Advertisement
Advertisement




