Advertisement

Promo November

Indef Nilai RUU UBET Berisiko Rugikan Negara, Ini Penjelasannya

Newswire
Rabu, 10 April 2024 - 16:17 WIB
Mediani Dyah Natalia
Indef Nilai RUU UBET Berisiko Rugikan Negara, Ini Penjelasannya Ilustrasi energi baru terbarukan. (Istimewa - Info Migas)

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) tidak jelas dan berisiko merugikan negara. Karena itu, pemerintah dan DPR perlu mencermati urgensi skema power wheeling.

"Urgensi skema power wheeling yang masuk dalam pembahasan RUU EBET ini harus dijelaskan dan dicermati betul karena sangat berisiko berdampak buruk bagi negara,” katanya di Jakarta, Rabu (10/4/2024).

Advertisement

Menurut Kepala Center of Food Energy and Sustainable Development Indef itu sampai saat ini, baik pemerintah maupun DPR sama sekali belum mengungkap secara gamblang alasan terkait dengan skema power wheeling.

"Pasal power wheeling ini seperti siluman, kadang muncul, kadang tenggelam. Pun tidak jelas rupa dan tujuannya. Untuk itu, kami akan mengawal kebijakan ini," kata Abra melalui keterangan tertulis. 

Dikatakannya, power wheeling merupakan sistem yang sangat liberal dan berisiko mengancam kedaulatan ketenagalistrikan yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 harus dikuasai oleh negara.

Baca Juga

UU Energi Terbarukan Molor, DPR: Politik Dimainkan Elit Pebisnis Batu Bara

Indonesia Butuh Payung Hukum untuk Energi Terbarukan

Pembangkit Tenaga Sampah Dimasifkan, PLN Bakal Diwajibkan Beli Listrik Dari Sini

Mahkamah Konstitusi (MK), tambahnya, sudah melegitimasi itu dengan membatalkan skema unbundling dalam UU Ketenagalistrikan.

Menurut dia, skema power wheeling merupakan mekanisme liberal yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari pembangkit swasta ke fasilitas operasi milik negara secara langsung sehingga berisiko teknis dalam implementasinya karena EBET memiliki sifat intermiten yang berisiko mengganggu keandalan listrik negara.

Menurutnya, desakan untuk memasukkan power wheeling sebagai insentif ini juga tidak beralasan karena sesungguhnya pemerintah sudah menunjukkan arah kebijakan energi baru dan energi terbarukan secara jelas dalam RUPTL 2021-2030.

Dalam RUPTL, yang seringkali diklaim sebagai green RUPTL itu, sebetulnya sudah ada peningkatan porsi EBET yang signifikan, lanjutnya, bahkan ada tambahan EBET itu 20,9 gigawatt, di mana 56,3%nya itu adalah porsi swasta.

Dengan sudah ada porsi swasta pada roadmap tersebut, paparnya, sebetulnya sudah cukup menjadi keyakinan investor bahwa memang negara punya arah yang cukup jelas untuk mendorong bauran suplai listrik dari EBET.

Pada sisi suplai, tambahnya, sepertinya negara sudah membuka ruang yang cukup lebar terhadap peran swasta. Saat ini yang bermasalah justru sisi demand atau permintaan yang masih sangat kecil.

"Konsumsi listrik di Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam ASEAN, bahkan belum mencapai separuh dari Vietnam yang mencapai sekitar 2.500 KwH per kapita. Sisi demand ini yang seharusnya penting untuk dibahas, bukan suplainya," kata Abra Talattov.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Srawung Kali Jadi Wujud Kepedulian Mahasiswa pada Kondisi Darurat Sampah

Jogja
| Minggu, 24 November 2024, 17:27 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement