Advertisement

Hubungan Manusia dan Alam Menurun 60 Persen, Ini Penjelasannya

Sirojul Khafid
Kamis, 14 Agustus 2025 - 22:57 WIB
Sunartono
Hubungan Manusia dan Alam Menurun 60 Persen, Ini Penjelasannya Ilustrasi. - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Studi menemukan hubungan manusia dengan alam telah menurun 60% dalam 200 tahun terakhir. Salah satu penelitinya, Miles Richardson, mengatakan orang-orang berisiko mengalami 'punahnya pengalaman' di dunia alami.

Hubungan manusia dengan alam telah menurun lebih dari 60% sejak tahun 1800. Menurut penelitian terbaru, penurunan hubungan ini misalnya terlihat dari hilangnya kata-kata tentang alam seperti sungai, lumut, dan bunga dari buku-buku. Dengan pemodelan komputer, ada prediksi bahwa tingkat keterhubungan dengan alam akan terus menurun, kecuali ada kebijakan dan perubahan sosial yang luas.

Advertisement

Upaya ini misalnya dengan memperkenalkan anak-anak pada alam di usia muda. Perlu juga secara radikal menghijaukan lingkungan perkotaan sebagai intervensi yang paling efektif. Salah satu peneliti dari studi tersebut adalah Miles Richardson, seorang profesor keterhubungan dengan alam di Universitas Derby.

Dia secara akurat melacak hilangnya alam dari kehidupan manusia selama 220 tahun dengan menggunakan data tentang urbanisasi, hilangnya satwa liar di lingkungan sekitar, dan yang terpenting, orang tua yang tidak lagi mewariskan keterlibatan dengan alam kepada anak-anak mereka.

BACA JUGA: Besok, Jokowi dan SBY Bakal Hadiri Sidang Tahunan MPR RI

Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal Earth itu, Richardson juga mengidentifikasi hilangnya kata-kata alami dari buku antara tahun 1800 dan 2020, yang mencapai puncaknya pada penurunan 60,6% pada tahun 1990. Pemodelan ini memprediksi "kepunahan pengalaman" yang berkelanjutan, dengan generasi mendatang yang terus kehilangan kesadaran akan alam karena alam tidak lagi hadir di lingkungan yang semakin padat.

Sementara orang tua tidak lagi mewariskan orientasi perilaku terhadap alam. Studi lain menunjukkan bahwa keterhubungan orang tua dengan alam merupakan prediktor terkuat apakah seorang anak akan menjadi dekat dengan alam.

"Keterhubungan dengan alam kini diterima sebagai akar penyebab utama krisis lingkungan," kata Richardson, dikutip dari The Guardian, Sabtu (9/8/2025). "Hal ini juga sangat penting bagi kesehatan mental kita. Keterhubungan ini menyatukan manusia dan kesejahteraan alam. Perubahan transformatif diperlukan jika kita ingin mengubah hubungan masyarakat dengan alam."

Richardson mengatakan ketika dia menguji berbagai kebijakan dan perubahan lingkungan perkotaan dalam model tersebut, dia terkejut dengan skala perubahan yang diperlukan untuk membalikkan hilangnya hubungan dengan alam. Meningkatkan ketersediaan ruang hijau dengan keanekaragaman hayati di sebuah kota sebesar 30% mungkin terlihat seperti kemajuan positif yang radikal bagi satwa liar dan manusia. Tetapi Richardson mengatakan penelitiannya menunjukkan sebuah kota mungkin perlu 10 kali lebih hijau untuk membalikkan penurunan hubungan dengan alam.

Langkah-Langkah Selama Ini Kurang Efektif

Studi terbaru menemukan bahwa langkah-langkah untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dengan alam selama ini tidak efektif dalam membalikkan penurunan jangka panjang keterhubungan dengan alam.

Peneliti dari Universitas Derby, Miles Richardson, mengatakan bahwa skema-skema semacam itu oleh lembaga-lembaga amal masih penting untuk meningkatkan kesehatan mental. Tetapi pemodelan menunjukkan bahwa skema-skema tersebut tidak menghentikan hilangnya hubungan antargenerasi dengan alam. Sesuatu yang lebih efektif, menurut penelitian, adalah tindakan yang menanamkan kesadaran dan keterlibatan dengan alam pada anak kecil dan keluarga, seperti sekolah pembibitan hutan.

Upaya lebih lanjut dalam memulihkan keterhubungan dengan alam dengan kebijakan yang mentransformasi pendidikan anak usia dini dan wilayah perkotaan. Kebijakan yang tepat perlu diterapkan selama 25 tahun ke depan, untuk membalikkan penurunan tersebut. Namun, jika hal ini dilakukan, peningkatan keterhubungan dengan alam akan menjadi mandiri.

Richardson mengatakan skala perubahan sosial yang dibutuhkan untuk membangun kembali hubungan dengan alam mungkin tidak sesulit yang terlihat. Hal ini karena titik dasarnya sekarang sangat rendah. Sebuah penelitian menemukan bahwa orang-orang di Sheffield, Inggris, rata-rata hanya menghabiskan empat menit dan 36 detik di ruang alami setiap hari.

"Tingkatkan angka itu [sebesar] 10 kali lipat, dan orang-orang menghabiskan 40 menit di luar ruangan setiap hari. Itu mungkin sudah cukup," kata Richardson.

Pemerintah perlu kekerja sama dengan keluarga dan orang tua, lanjut Richardson, untuk melibatkan anak-anak dengan alam. Kunci utamanya pada transmisi antargenerasi. Sudah banyak fokus untuk menghubungkan anak-anak dengan alam, tetapi Richardson lebih suka mengatakan jangan lepaskan mereka.

Seorang bayi yang baru lahir hampir sama dengan anak yang lahir pada tahun 1800. Anak-anak terpesona oleh alam. "Mempertahankan hal itu selama masa kanak-kanak dan masa sekolah merekalah yang penting, di samping penghijauan perkotaan. Ada kebijakan yang mulai melakukan itu, tetapi kita harus berpikir dalam kerangka transformasional – bukan 30%, tetapi 1.000%," katanya.

Menariknya, mungkin ada harapan akan adanya pergeseran budaya. Richardson terkejut menemukan bahwa kata-kata bertema alam dalam buku justru meningkat lagi – dengan penurunan dari 60,6% antara tahun 1800 dan 1990 menjadi 52,4% saat ini.

"Apakah ini kesadaran ekologi yang sejati? Apakah ini tren penulisan alam di Inggris? Apakah ini 'nyata' atau hanya artefak data? Saya tidak tahu," kata Richardson. "Ada juga peningkatan minat terhadap spiritualitas dalam beberapa dekade terakhir, jadi ini mungkin mencerminkan orang-orang yang kembali terhubung dengan alam."

Ruang Hijau Lebih Baik untuk Otak Anak

Menurut penelitian, paparan ruang hijau mengurangi masalah perilaku, memberikan peningkatan kognitif pada anak, dan bahkan dapat meningkatkan prestasi akademis.

Pentingnya ruang hijau bagi kesejahteraan umum telah terbukti dalam beberapa penelitian. Dalam tinjauan Marmot tahun 2010, yang penting tentang hubungan antara kesehatan dan ketimpangan, dia menyatakan bahwa menciptakan lingkungan fisik yang membuat seseorang dapat menjalani hidup yang lebih alami, merupakan faktor yang sangat signifikan dalam mengurangi ketimpangan kesehatan.

Tinjauan tersebut merujuk pada sejumlah penelitian yang mengaitkan ruang hijau dengan tekanan darah dan kolesterol yang lebih rendah, peningkatan kesehatan mental dan berkurangnya tingkat stres, persepsi kesehatan umum yang lebih baik, serta kemampuan menghadapi masalah. Namun kini, ilmu pengetahuan tentang manfaat spesifiknya bagi kaum muda mulai berkembang dan menunjukkan dampak positifnya terhadap perkembangan kognitif anak.

Sebuah makalah tahun 2015 dari Pusat Penelitian Epidemiologi Lingkungan Barcelona, misalnya, memantau 2.500 anak di kota tersebut selama setahun. Mereka menemukan bahwa murid yang sekolahnya memiliki lebih banyak ruang hijau di dalam dan di sekitar mereka, memiliki daya ingat yang lebih baik dan tingkat inatensi yang lebih rendah.

Mereka menemukan bahwa kehijauan di dalam dan sekitar sekolah, diukur menggunakan citra satelit, dikaitkan dengan peningkatan kemampuan mental untuk terus memanipulasi dan memperbarui informasi. Kemampuan itu dikenal sebagai memori kerja dan memori kerja superior.

BACA JUGA: Pajak Bumi dan Bangunan di Jakarta Hanya Naik 5-10 Persen

Para peneliti memprediksi hal tersebut merupakan dampak positif dari minimnya polusi. Hasil ini mendorong Mark Nieuwenhuijsen, salah satu peneliti utama, untuk merekomendasikan agar sekolah-sekolah "menghijaukan" lingkungan mereka. "Jika Anda menanam beberapa pohon di sana, saya yakin Anda akan merasakan dampaknya secara keseluruhan," katanya, dikutip dari The Guardian, beberapa waktu lalu. "Nilai sekolah Anda akan sedikit meningkat."

Penelitian lain dari Belgia, yang diterbitkan dalam jurnal daring Plos Medicine, menggaungkan temuan positif ini. Tetapi melangkah lebih jauh dan menyimpulkan bahwa anak-anak yang dibesarkan di daerah yang lebih hijau memiliki IQ yang lebih tinggi, serta tingkat perilaku sulit yang lebih rendah.

BACA JUGA: Muncul Kasus Keracunan di Sleman, Program MBG di Tiga SMP Dihentikan

Analisis tersebut mencakup lebih dari 600 murid Belgia berusia antara 10 dan 15 tahun. Analisis menemukan bahwa peningkatan 3% dalam penghijauan lingkungan mereka meningkatkan skor IQ rata-rata 2,6 poin. Terdapat pula peningkatan poin IQ yang sangat signifikan bagi anak-anak di ujung bawah spektrum, di mana peningkatan kecil dapat membuat perbedaan besar.

Profesor epidemiologi lingkungan di Universitas Hasselt di Belgia yang terlibat dalam penelitian ini, Tim Nawrot, mengatakan bahwa IQ dalam penelitian ini adalah ukuran klinis yang lebih keras dan mapan. "Saya pikir pembangun kota atau perencana kota harus memprioritaskan investasi di ruang hijau karena sangat berharga untuk menciptakan lingkungan yang optimal bagi anak-anak untuk mengembangkan potensi penuh mereka," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Terkena Longsor Sejak 2023, Jalan Kabupaten di Gedangsari Gunungkidul Belum Diperbaiki

Terkena Longsor Sejak 2023, Jalan Kabupaten di Gedangsari Gunungkidul Belum Diperbaiki

Gunungkidul
| Kamis, 14 Agustus 2025, 23:47 WIB

Advertisement

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Pendakian Rinjani Dibuka Kembali 11 Agustus 2025

Wisata
| Minggu, 10 Agustus 2025, 15:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement