Advertisement
Jangan Minum Air Hujan Secara Langsung, Ini Bahayanya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Setiap kali hujan turun, kita seolah tergerak menjulurkan lidah ke tetesan air hujan dan menganggap tetesan itu sama dengan air yang diminum di rumah. Padahal, air hujan mengandung banyak bahan mikroskopis yang perlu diperhatikan sebelum langsung diminum.
Studi yang dilakukan Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengungkapkan ada sejumlah kontaminan yang dapat berakhir di setiap tetesan air hujan. Mulai dari bakteri, virus, parasit, debu, partikel asap dan bahan kimia lainnya.
Advertisement
BACA JUGA: Kabar Gembira! Bulan Depan Trans Jogja Akan Diintegrasikan dengan KRL
Apalagi, jika Anda mengumpulkan air hujan dari atap. Air itu bisa mengandung jejak yang ditinggalkan oleh hewan, seperti kotoran burung. Air hujan yang disimpan dalam wadah terbuka juga berpotensi dipenuhi serangga.
Untuk berbagai alasan itu, CDC menyarankan agar kita tidak mengumpulkan dan meminum air hujan secara langsung. Kendati demikian, lembaga itu merekomendasikannya untuk tujuan lain, seperti menyiram tanaman.
Menurut laporan dari Live Science, dalam penelitian yang diterbitkan pada Agustus 2022 di jurnal Environmental Science Technology para peneliti menemukan bahwa air hujan di seluruh dunia memiliki konsentrasi Perfluorinated Alkylated Substances atau PFAS beracun yang melebihi pedoman kesehatan.
Ahli kimia lingkungan dari Universitas Stockholm di Swedia, Ian Cousins, menjelaskan PFAS adalah istilah kolektif untuk lebih dari 1.400 bahan kimia dan zat buatan manusia yang secara historis telah digunakan untuk berbagai produk, meliputi tekstil, busa pemadam kebakaran, peralatan masak antilengket, kemasan makanan, rumput sintetis dan senar gitar.
"Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bahan kimia ini sangat beracun dan dapat menyebabkan berbagai masalah. Termasuk berbagai jenis kanker, infertilitas, komplikasi kehamilan, masalah perkembangan, kondisi sistem kekebalan tubuh, dan berbagai penyakit usus, hati dan tiroid, juga karena berpotensi menurunkan efektivitas vaksin pada anak-anak," kata dia dikutip dari Live Science, Rabu (24/08/2022).
Berbagai masalah yang muncul itu pun membuat PFAA (perfluoroakyl acid) dan sebagian besar PFAS lainnya sangat dibatasi dalam 20-30 tahun terakjir, kecuali di China dan beberapa negara Asia lainnya. Pedoman kesehatan seputar PFAS juga telah disesuaikan untuk mencerminkan toksisitas bahan kimia.
Sayangnya, PFAS tidak mudah rusak. Cousins menegaskan, berarti mereka tetap berada di lingkungan dalam jangka waktu lama setelah diproduksi dan tetap sama beracunnya. "Hal ini menyebabkan ilmuwan menjuluki PFAS sebagai 'bahan kimia abadi'," imbuhnya.
Studi tersebut terungkap bahwa sampel air hujan yang dikumpulkan di seluruh dunia mengungkapkan bahwa PFAS masih berlimpah dalam air hujan. Bahkan, temuan paling mengejutkan adalah bahwa tingkat PFOA atau perfluorooctanoic acid dalam air hujan setidaknya 10 kali lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan Environmental Protection Agency (EPA), termasuk air hujan dari Dataran Tinggi Tibet dan Antartika.
Efek Buruk
Menurutnya masih terlalu dini untuk memprediksi dampak kesehatan masyarakat secara keseluruhan yang akan ditimbulkan oleh air hujan yang kaya PFAS di seluruh dunia, tetapi hal itu mungkin sudah berlangsung.
"Kami telah terpapar pada tingkat yang lebih tinggi selama 20 hingga 30 tahun terakhir. Kami baru saja lebih memahami konsekuensi potensial dari paparan itu," kata dia.
Dampak dari PFAS mungkin akan lebih tinggi di negara berkembang di mana jutaan orang bergantung pada air hujan sebagai satu-satunya sumber air minum mereka. Meski begitu, bahkan di wilayah tertentu di negara maju, seperti Australia Barat, minum air hujan masih sangat umum dilakukan.
BACA JUGA: Pemeriksaan Disetop, Istri Ferdy Sambo Tidak Ditahan
Menurut Cousins, bahkan jika air hujan diolah dengan benar, belum ada jaminan bahwa PFAS akan hilang. PFAS juga dapat ditemukan dalam kadar rendah dalam air minum dari keran dan botol, meskipun masih pada tingkat yang aman.
"Tingkat PFAS pada akhirnya akan menurun saat mereka berputar ke laut dalam, tetapi ini adalah proses bertahap yang bisa memakan waktu beberapa dekade," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- BMKG Ingatkan Ada Potensi Gelombang Tinggi di Perairan Indonesia pada Januari 2025
- Perayaan Tahun Baru Dirayakan Unik di Berbagai Belahan Dunia
- Aksi Tolak Kenaikan PPn 12 Persen Ricuh, Polisi: Tidak Ada Demonstran yang Ditangkap
- Kecelakaan Pesawat Azerbaijan Airlines yang Tewaskan 39 Orang Disebut Jatuh karena Ditembak
- Israel Gempur Gaza Utara, 50 Warga Palestina Tewas
Advertisement
DPRD Kota Jogja Dorong Pemkot Jogja Serius Tangani Sampah selama Libur Akhir Tahun
Advertisement
Liburan, Berikut Perbandingan Harga Tiket Pesawat Garuda, Super Airjet, dan Citilink
Advertisement
Berita Populer
- Menko AHY: Butuh Rp1,5 Triliun untuk Peremajaan Kapal Laut
- Kronologi Kecelakaan Pesawat Jeju Air: Jadi Peristiwa Penerbangan Paling Mematikan
- KPK Gali Informasi Dugaan Korupsi CSR Bank Indonesia
- Pemprov DKI Benarkan Terpidana Korupsi Timah Harvey Moeis Terdaftar Penerima Bantuan BPJS
- Kebakaran Rumah di Senen Jakarta Pagi Ini Tewaskan 2 Orang
- Pertemuan Ketum Partai KIM Plus dengan Prabowo juga Bahas soal PPN 12 Persen
- Kebakaran Rumah di Senen yang Merenggut Dua Korban Jiwa Diduga Akibat Korsleting Listrik
Advertisement
Advertisement