Advertisement
Jangan Minum Air Hujan Secara Langsung, Ini Bahayanya

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Setiap kali hujan turun, kita seolah tergerak menjulurkan lidah ke tetesan air hujan dan menganggap tetesan itu sama dengan air yang diminum di rumah. Padahal, air hujan mengandung banyak bahan mikroskopis yang perlu diperhatikan sebelum langsung diminum.
Studi yang dilakukan Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengungkapkan ada sejumlah kontaminan yang dapat berakhir di setiap tetesan air hujan. Mulai dari bakteri, virus, parasit, debu, partikel asap dan bahan kimia lainnya.
Advertisement
BACA JUGA: TelkomClick 2023: Kesiapan Kerja Karyawan dalam Sukseskan Strategi Five Bold Moves di Tahun 2023
BACA JUGA: Kabar Gembira! Bulan Depan Trans Jogja Akan Diintegrasikan dengan KRL
Apalagi, jika Anda mengumpulkan air hujan dari atap. Air itu bisa mengandung jejak yang ditinggalkan oleh hewan, seperti kotoran burung. Air hujan yang disimpan dalam wadah terbuka juga berpotensi dipenuhi serangga.
Untuk berbagai alasan itu, CDC menyarankan agar kita tidak mengumpulkan dan meminum air hujan secara langsung. Kendati demikian, lembaga itu merekomendasikannya untuk tujuan lain, seperti menyiram tanaman.
Menurut laporan dari Live Science, dalam penelitian yang diterbitkan pada Agustus 2022 di jurnal Environmental Science Technology para peneliti menemukan bahwa air hujan di seluruh dunia memiliki konsentrasi Perfluorinated Alkylated Substances atau PFAS beracun yang melebihi pedoman kesehatan.
Ahli kimia lingkungan dari Universitas Stockholm di Swedia, Ian Cousins, menjelaskan PFAS adalah istilah kolektif untuk lebih dari 1.400 bahan kimia dan zat buatan manusia yang secara historis telah digunakan untuk berbagai produk, meliputi tekstil, busa pemadam kebakaran, peralatan masak antilengket, kemasan makanan, rumput sintetis dan senar gitar.
"Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bahan kimia ini sangat beracun dan dapat menyebabkan berbagai masalah. Termasuk berbagai jenis kanker, infertilitas, komplikasi kehamilan, masalah perkembangan, kondisi sistem kekebalan tubuh, dan berbagai penyakit usus, hati dan tiroid, juga karena berpotensi menurunkan efektivitas vaksin pada anak-anak," kata dia dikutip dari Live Science, Rabu (24/08/2022).
Berbagai masalah yang muncul itu pun membuat PFAA (perfluoroakyl acid) dan sebagian besar PFAS lainnya sangat dibatasi dalam 20-30 tahun terakjir, kecuali di China dan beberapa negara Asia lainnya. Pedoman kesehatan seputar PFAS juga telah disesuaikan untuk mencerminkan toksisitas bahan kimia.
Sayangnya, PFAS tidak mudah rusak. Cousins menegaskan, berarti mereka tetap berada di lingkungan dalam jangka waktu lama setelah diproduksi dan tetap sama beracunnya. "Hal ini menyebabkan ilmuwan menjuluki PFAS sebagai 'bahan kimia abadi'," imbuhnya.
Studi tersebut terungkap bahwa sampel air hujan yang dikumpulkan di seluruh dunia mengungkapkan bahwa PFAS masih berlimpah dalam air hujan. Bahkan, temuan paling mengejutkan adalah bahwa tingkat PFOA atau perfluorooctanoic acid dalam air hujan setidaknya 10 kali lebih tinggi dari batas aman yang ditetapkan Environmental Protection Agency (EPA), termasuk air hujan dari Dataran Tinggi Tibet dan Antartika.
Efek Buruk
Menurutnya masih terlalu dini untuk memprediksi dampak kesehatan masyarakat secara keseluruhan yang akan ditimbulkan oleh air hujan yang kaya PFAS di seluruh dunia, tetapi hal itu mungkin sudah berlangsung.
"Kami telah terpapar pada tingkat yang lebih tinggi selama 20 hingga 30 tahun terakhir. Kami baru saja lebih memahami konsekuensi potensial dari paparan itu," kata dia.
Dampak dari PFAS mungkin akan lebih tinggi di negara berkembang di mana jutaan orang bergantung pada air hujan sebagai satu-satunya sumber air minum mereka. Meski begitu, bahkan di wilayah tertentu di negara maju, seperti Australia Barat, minum air hujan masih sangat umum dilakukan.
BACA JUGA: Pemeriksaan Disetop, Istri Ferdy Sambo Tidak Ditahan
Menurut Cousins, bahkan jika air hujan diolah dengan benar, belum ada jaminan bahwa PFAS akan hilang. PFAS juga dapat ditemukan dalam kadar rendah dalam air minum dari keran dan botol, meskipun masih pada tingkat yang aman.
"Tingkat PFAS pada akhirnya akan menurun saat mereka berputar ke laut dalam, tetapi ini adalah proses bertahap yang bisa memakan waktu beberapa dekade," kata dia.
BACA JUGA: Finnet Dukung Digitalisasi Sistem Pembayaran Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Polres Magelang Kota Amankan 100 Kilogram Bahan Mercon, 1 Pelaku Ditangkap
- 11,39 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT Tahunan
- Alasan Kejagung Tuntut Teddy Minahasa Hukuman Mati
- KPK Duga Rafael Alun Trisambodo Terima Gratifikasi Dalam Bentuk Uang
- Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, PDIP Klaim Tidak Ada Beda Sikap dengan Jokowi
Advertisement
Advertisement

Ini Wisata Air di Wilayah Terpencil Gunungkidul yang Menarik Dikunjungi
Advertisement
Berita Populer
- Tiket Bisa Dibeli Online, Ini Jadwal Bus DAMRI Jogja-Bandara YIA Sabtu 1 April 2023
- Prakiraan Cuaca DIY, Sabtu 1 April 2023: Siang Ini, Sleman Hujan Petir
- Top 7 News Harianjogja.com, Sabtu 1 April 2023
- Polres Magelang Kota Amankan 100 Kilogram Bahan Mercon, 1 Pelaku Ditangkap
- Daftar Harga BBM Pertamina Per 1 April 2023: Ada yang Turun
- KPK Temukan Uang dan Puluhan Tas Mewah di Rumah Rafael, Ada Hermes
- Awas! Jogja dan Sejumlah Wilayah di Indonesia Berpotensi Hujan Lebat Sabtu Ini
Advertisement
Advertisement