Advertisement
Kemenperin Bingung Hitung Cukai Minuman Berpemanis

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA — Kementerian Perindustrian (Kemenperin) masih gamang dengan kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang akan mengenakan cukai minuman berpemanis.
Adapun mengacu pada rencana kebijakan Kemenkeu, untuk produk teh kemasan yang saat ini memiliki total produksi 2.191 juta liter maka akan dikenakan tarif Rp1.500 dengan potensi penerimaan sebesar Rp2,7 triliun.
Advertisement
Tarif pada teh kemasan tersebut terbilang lebih rendah dibandingkan dengan minuman berpemanis lain karena dianggap kandungan gula yang lebih sedikit.
Sementara minuman karbonasi, minuman berenergi, kopi konsentrat, dan minuman sejenis biaya tarifnya Rp2.500 per liter. Alhasil total jika diberlakukan penerimaan cukai dari sini akan berkisar Rp6,25 triliun.
Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin Enny Ratnaningtyas mengatakan sebenarnya pihaknya masih belum terlalu memahami cara menghitung pengenaan cukai tersebut. Sementara itu ditelisik dari sisi tujuan penerapan kebijakan hanya karena alasan kesehatan.
"Kalau untuk kesehatan sebenarnya bisa dilihat dulu berapa jumlah konsumsi di masyarakat. Saya rasa jarang rumah tangga menyetok minuman berpemanis di rumahnya, paling konsumsi ketika berpergian atau perjalanan," katanya, akhir pekan lalu.
Enny melanjutkan penyakit diabetes juga tidak bisa dicegah dari pasokan minuman berpemanis. Pasalnya, gaya hidup masyarakat akan konsumsi gula pada minuman seduh juga masih rutin dilakukan.
Saat ini, pelaku industri juga telah banyak melakukan inovasi dari sisi pengeluaran produk minuman ringan rendah gula hingga tanpa gula.
Alhasil, perhitungan pada pengenaan cukai ini yang mesti didudukkan kembali. Pasalnya jika per liter minuman maka kandungan gula yang ada pada masing-masing minuman bisa saja berbeda.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Abdul Rochim, menyatakan industri makanan dan minuman (mamin) berkontribusi lebih dari 36 persen pada pendapatan domestik bruto (PDB) industri non-migas. Adapun, kontribusi industri mamin ke pertumbuhan ekonomi mencapai 6 persen.
Saat ini pertumbuhan [industri mamin] di atas pertumbuhan industri non-migas. Apabila pertumbuhan industri mamin rendah, pasti akan berdampak terhadap pertumbuhan industri non-migas maupun pertumbuhan ekonomi nasional," katanya.
Oleh karena itu, Rochim mengimbau agar pemangku kepentingan menjaga pertumbuhan industri mamin. Meski demikian, Rochim tidak bisa berpendapat terkait ketepatan waktu penerapan cukai gula.
Rochim menyampaikan pihaknya sedang merumuskan simulasi dampak terhadap perekonomian nasional jika cukai gula tetap diterapkan. Adapun, Rochim optimistis tahun ini pertumbuhan industri mamin akan rebound ke level 9 persen dari realisasi tahun lalu di posisi 7,8 persen.
Sebelumnya, Rochim menyatakan serapan investasi ke industri mamin tahun ini akan lebih besar secara tahunan lantaran masa wait and see berakhir. Menurutnya, sebagian investasi akan mulai terealisasi pada kuartal I/2020.
"Beberapa PMDN [penanaman modal dalam negeri] sudah mulai realisasi di kuartal I/2020. [Sebagian akan] mulai produksi, seperti pabrik gula," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Update Jadwal KRL Jogja Solo per Rabu, 16 Juli 2025, Lengkap dari Stasiun Tugu hingga Palur
Advertisement

Berwisata di Tengah Bediding Saat Udara Dingin, Ini Tips Agar Tetap Sehat
Advertisement
Berita Populer
- Wakil Wali Kota Serang Kena Tilang Gegera Bonceng Anak Tanoa Helm
- Trump Minta Rusia Akhiri Perang Ukraina dalam 50 Hari atau Kena Tarif 100 Persen
- Didampingi Hotman Paris, Nadiem Makarim Penuhi Panggilan Kejagung Terkait Korupsi Chromebook
- Rencana Pembangunan Rumah Subsidi Tipe 18/25 Dibatalkan, Ini Alasan dari Menteri PKP
- 27 Juli, Penerbangan Moskow-Pyongyang Dibuka
- Situasi di Gaza Mengerikan, Sekjen PBB Desak Akses Bantuan Masuk
- 11 Korban Kapal Karam di Selat Sipora Ditemukan Dalam Kondisi Selamat
Advertisement
Advertisement