Advertisement
Ini 10 Rekomendasi dari Komnas HAM Terkait dengan RUU KUHP
Ilustrasi undang/undang. / Freepik
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sedang digodok pemerintah bersama DPR. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberikan 10 rekomendasi.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Atnike Nova Sigiro menjelaskan bahwa poin rekomendasi yang pertama, yaitu ketentuan mengenai penyelidikan dan penyidikan yang memberikan mandat besar kepada aparat penyidik, termasuk terkait dengan wewenang upaya paksa, harus diikuti peningkatan kualitas dan mekanisme pengawasan yang ketat.
Advertisement
"Hal ini untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan potensi pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap saksi, tersangka dan/atau korban. Selain itu, harus ada pembatasan waktu dalam proses penyidikan dan penyelidikan," kata Atnike dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu (22/6/2025).
Poin rekomendasi yang kedua, yakni penggunaan kewenangan upaya paksa sebaiknya secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur, serta dibukakan peluang kepada pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan.
"Baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui lembaga peradilan," kata Atnike.
BACA JUGA: Ribuan Balita di Gunungkidul Terindikasi Stunting
Ketiga, Komnas HAM merekomendasikan agar ketentuan mengenai mekanisme praperadilan sebaiknya dirumuskan ulang agar mampu menjadi mekanisme yang secara materiel mewakili kepentingan tersangka, korban, dan masyarakat umum yang berhak atas keadilan.
Dalam hal ini, Komnas HAM memandang mekanisme praperadilan tidak hanya menguji aspek formal (formil) dalam penyelidikan dan penyidikan serta penggunaan upaya paksa yang dimiliki penyelidik maupun penyidik.
"Serta masa sidang praperadilan harus dilakukan dalam 14 hari kerja dan perkara pokok belum bisa dilimpahkan sebelum praperadilan diputuskan," katanya pula.
Rekomendasi yang keempat, yaitu mekanisme keadilan restoratif harus atas persetujuan dari korban dengan ditetapkan pengadilan. Penyidik yang menangani perkara direkomendasikan untuk tidak boleh menjadi mediator.
Hal itu, menurut Komnas HAM, untuk menghindari terjadinya potensi transaksional antara korban dan pelaku, khususnya korban yang memiliki keterbatasan ekonomi, sosial, dan akses bantuan hukum.
Kelima, Komnas HAM merekomendasikan pembentuk undang-undang, yakni Pemerintah dan DPR untuk mesti menyelaraskan hak-hak tersangka, terdakwa, saksi, ahli, dan korban dengan ketentuan yang diatur dalam RUU KUHAP dengan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Keenam, Perhatian juga harus diberikan kepada kelompok masyarakat adat. Dalam pengaturan KUHAP, harus memperhatikan hukum yang berlaku di dalam masyarakat atau living law," imbuh Atnike.
Poin rekomendasi yang ketujuh adalah bantuan hukum juga harus dapat diberikan kepada tersangka dan terdakwa dengan hukuman di bawah 5 tahun, sementara bantuan kepada korban diberikan mulai dari penyelidikan sebagai awal peradilan pidana.
Kedelapan, Komnas HAM memberi rekomendasi tentang ketentuan jangka waktu banding yang singkat.
Atnike menyebut sebaiknya Pemerintah dan DPR memberikan waktu yang cukup bagi para pihak, khususnya terdakwa atau kuasa hukumnya yang ingin mengajukan banding untuk mempersiapkan permohonan dan memori banding secara komprehensif.
Rekomendasi kesembilan, yaitu RUU KUHAP diharapkan dapat mengakomodasi kemungkinan mekanisme pengujian admisibilitas (keadaan dapat diterimanya suatu bukti sebagai alat bukti dalam sidang) terhadap alat-alat bukti.
Menurut Komnas HAM, pengujian admisibilitas demi memastikan bahwa alat-alat bukti diperoleh dengan cara-cara yang layak, patut, dan tidak melanggar norma hukum dan kesusilaan.
"Sepuluh, ketentuan mengenai koneksitas, RUU HAP (KUHAP, red.) sebaiknya memperjelas kriteria 'titik berat kerugian' dalam menentukan suatu perkara," kata Atnike.
Resmi Disampaikan ke Kemenkum
Kesepuluh poin rekomendasi tersebut telah resmi disampaikan Komnas HAM kepada Pemerintah melalui Kementerian Hukum pada Jumat (20/6/2025).
Atnike bersama Ketua Tim Kajian RUU KUHAP Abdul Haris Semendawai diterima oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan.
"Komnas HAM berharap rekomendasi ini dapat menjadi bahan pembahasan dan pertimbangan oleh Kementerian Hukum bersama DPR. Hasil kajian ini juga akan segera diserahkan kepada Komisi III DPR RI yang memiliki tanggung jawab dalam pembahasan RUU KUHAP," demikian Atnike.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Bulan Perlahan Menjauhi Bumi, Ini Dampaknya bagi Kehidupan
- Hunian Korban Bencana Sumatera Bakal Dibangun di Lahan Negara
- Tokoh Dunia Kecam Penembakan Bondi Beach yang Tewaskan 12 Orang
- Surya Group Siap Buka 10.000 Lowongan Kerja di Tahun 2026
- Konser Amal di Tangerang Galang Rp1,3 Miliar untuk Sumatera dan Aceh
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Jadwal SIM Keliling Kulonprogo Senin 15 Desember 2025
- Korban Tewas Penembakan Pantai Bondi Australia Jadi 12
- Jadwal KA Prameks Jogja-Kutoarjo Senin 15 Desember 2025
- Prakiraan Cuaca DIY Senin 15 Desember 2025, Berawan dan Hujan Sedang
- Menhub Pastikan Transportasi Jateng Siap Hadapi Nataru
- NGUDA RASA: Mendorong Kuliner Indonesia Merajai Lidah Dunia
- PEKAN RISET GEOPARK 2025: Panggung Publikasi Riset Pelajar
Advertisement
Advertisement





