Advertisement
Begini Kelemahan Penyusunan Kebijakan Legislasi di Indonesia Menurut Guru Besar FHUI

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Harkristuti Harkrisnowo menilai Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dalam penyusunan legislasi.
Dalam diskusi tentang Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis (15/10/2020), Harkristuti yang akrab dipanggil Tuti mengungkapkan tujuh poin kelemahan dari penyusunan kebijakan legislasi.
Advertisement
Pertama, keterbatasan pranata untuk pengambilan kebijakan. Tuti menuturkan pranata pendukung di Indonesia belum kuat sehingga sering kali pengambil kebijakan bingung akan memulai dari mana.
Kedua, kelemahan tahap pengembangan kebijakan. Ketiga adalah mutu produk legislatif belum sepenuhnya memuaskan karena tidak dimulai dengan visi yang jelas mengenai peran hukum dan bagaimana mengatasinya.
"Mutunya belum sepenuhnya memuaskan karena visinya belum begitu jelas," ujar Tuti, Kamis malam (15/10/2020).
Keempat, kelemahan proses legislasi. Dia mencontohkan RUU Kumham yang lebih dari 10 tahun belum rampung. Hal itu disebabkan oleh tidak ada ketersambungan antara APH terkait. "Tidak nyambung antara APH-nya, jadi tidak jadi-jadi," katanya.
Kelima adalah persoalan konsultasi antara departemen dan keenam, terkait dengan keterbatasan dalam prosedur penentuan anggaran. Terakhir, keterbatasan publik dalam rangka partisipasi.
Saat ini, Tuti mengakui belum ada penelitian yang membatas kondisi regulasi di Indonesia, apakah kondisinya under-regulation atau over-regulation. Dia juga mengingatkan pengambil kebijakan harusnya sudah bisa memetakan kelompok penerima manfaat.
"[Misalnya dalam Omnibus Law] Publik yang diuntungkan siapa? Buruh, atau perusahaan yang diuntungkan. Itu harusnya ada, tetapi saya belum membaca naskah akademisnya," kata Tuti.
Produk legislasi, menurutnya, juga harus memuat mekanisme kontrol. Salah satu yang sering digunakan adalah mekanisme sanksi.
Sebagai pakar hukum, dia melihat proses legislasi idealnya harus berangkat dari naskah akademik yang bentuknya analisa situasi.
"Dasarnya environmental scanning, seperti apa sih? Ini saya belum terlalu melihatnya di naskah akademik," kata Tuti.
Oleh karena itu, Tuti menekankan perancang sosial harus tahu apa yang ingin diubah melalui undang-undang ini. Misalnya dalam Omnibus Law, birokrasinya terlalu luas, Tuti menambahkan hal tersebut yang harus diatur.
Dia mengingatkan, perumusan undang-undang seharusnya tidak bertentangan dengan exisisting law dan tidak boleh ada celah untuk multitafsir.
"Jika ada multitafsir ini akan membawa berkah bagi para lawyer dan para saksi ahli," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Harga Tiket Mendaki Gunung Fuji Jepang Kini Naik Dua Kali Lipat
- Pemerintah Sebut Makan Bergizi Gratis Telah Menjangkau 5,58 Juta Orang
- Pemilu dan Pilkada Diputuskan Diadakan Terpisah, DPR Pertanyakan Posisi Mahkamah Konstitusi
- Terungkap, Mantan Wali Kota Semarang Mbak Ita Melarang Pegawai Bapenda Hindari Panggilan KPK
- Sidang Suap Mantan Wali Kota Semarang, Kepala Bapenda Setor Rp1,2 Miliar ke Mbak Ita
Advertisement

a New Chapter Of Excellence: Fresh Look , Better Service , Four Star Standart
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Duh! 20 Persen Anak SLTA Putus Sekolah
- Pasangan Gay di Lamongan Dicokok Polisi Karena Bikin Konten Pornografi di FB-MiChat
- Sidang Suap Mantan Wali Kota Semarang, Kepala Bapenda Setor Rp1,2 Miliar ke Mbak Ita
- Menteri PANRB Tegaskan ASN Tak Boleh WFA, yang Diperbolehkan FWA
- Terungkap, Mantan Wali Kota Semarang Mbak Ita Melarang Pegawai Bapenda Hindari Panggilan KPK
- Pemilu dan Pilkada Diputuskan Diadakan Terpisah, DPR Pertanyakan Posisi Mahkamah Konstitusi
- Pemerintah Janjikan Seluruh Sekolah Rakyat Terkoneksi Internet, Koneksi Perdana di Bantul dan Sleman
Advertisement
Advertisement