Advertisement

Peraih Nobel Ekonomi Sebut Pemerintah Harus Agresif Belanjakan Uang saat Pandemi Corona

Andya Dhyaksa
Jum'at, 24 April 2020 - 21:47 WIB
Budi Cahyana
Peraih Nobel Ekonomi Sebut Pemerintah Harus Agresif Belanjakan Uang saat Pandemi Corona Para pekerja migran dan keluarganya menaiki bus di tengah lockdown yang diberlakukan pemerintah di New Delhi, India, Sabtu (28/3/2020). - Bloomberg/Anindito Mukherjee

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - India telah melakukan lockdown (karantina) sejak 24 Maret 2020 untuk menekan penyebaran virus Corona (Covid-19). Konsekuensinya, pemerintah menggelontorkan uang hingga US$23 miliar (setara Rp 358 triliun) untuk menyuntikkan stimulus kepada negara.

Dari jumlah tersebut, sebagian besar dari jumlah tersebut, berbentuk transfer uang tunai dan ketahanan pangan bagi masyarakat miskin. Terlepas dari kisruhnya masyarakat dalam pelaksanaan awal lockdwon di India, pemerintah telah melakukan "sesuatu" untuk masyarakat--hal yang sama dilakukan seluruh negara termasuk Indonesia.

Advertisement

"Kami tidak ingin ada orang yang kelaparan, dan kami tidak ingin ada yang tetap tanpa uang," kata Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman saat itu, seperti yang dikutip dari BBC.

Jumlah tersebut dikritik oleh Abhijit Vinayak Banerjee, seorang ekonom Massachusetts Institute of Technology (MIT) sekaligus peraih nobel economics 2019. "Kami belum melakukan sesuatu yang mendekati cukup," kata Banerjee.

Menurut Banerjee, langkah pemerintah India dengan melakukan lockdown sebenarnya sudah betul. Masalahnya, persoalan hari ini bukan penutupan atau jumlah stimulus yang diberikan. Namun, lebih dari itu.

Yakni kesiapan masyarakat dengan kelas sosial paling rentan (miskin) menghadapi pandemi ini. Pasalnya, Banerjee mengatakan, wabah virus Corona bakal berlangsung lama.

Oleh karena itu, Banerjee mengatakan bahwa pemerintah India seharusnya menambah bantuan tunai bagi masyarakat yang paling rentan.

Banerjee menambahkan, bahwa pemerintah India harus lebih liberal dalam membelanjakan uang untuk menyelamatkan orang-orang yang mungkin menghadapi kemiskinan karena kehilangan pendapatan.

"Saya tahu ada kekhawatiran bahwa apa gunanya memberikan uang kepada orang-orang ketika pasar ditutup. Tetapi, untuk memulainya, Anda dapat memberi tahu orang-orang bahwa uang akan datang dan menciptakan suasana permintaan," katanya. "Orang-orang perlu diyakinkan. Dan pemerintah harus proaktif dalam meyakinkan orang."

Sebenarnya memang cukup aneh kala pemerintah India hanya memberi stimulus sebesar US$23 miliar. Sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar ketiga di dunia, jumlah tersebut terhitung kecil. Bandingkan dengan Indonesia, di mana pemerintah menggelontorkan Rp405 trilun.

Hal tersebut disadari Banerjee. Menurutnya, pemerintah India tak perlu takut untuk mencetak uang demi mendanai perluasan manfaat kesejahteraan.

Ia memberi contoh Amerika Serikat. Menurut Banerjee, Pemerintahan AS tak ragu mencetak uang dan membelanjakannya. Lantas, kenapa India tidak melakukan demikian.

"Mungkin ada ketakutan akan inflasi, ketika persediaan barang dan jasa tidak banyak. Tetapi India harus melakukan sesuatu untuk [menjembatani] kesenjangan pendapatan yang telah diciptakan. Pemerintah harus lebih agresif dalam membelanjakan uang," ucapnya.

Ekonomi India sekarang diperkirakan hanya tumbuh antara 1,5-2,8 persen pada 2020-21, menurut Bank Dunia. Pengangguran meningkat tajam, menurut penilaian independen.

Pekerja migran, tulang punggung industri jasa utama, telah meninggalkan tempat kerja mereka yang tertutup atau terdampar di pusat-pusat gelandangan di kota-kota.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cara Membeli Tiket KA Bandara Jogja via Online

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 00:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement