Advertisement
Pemilu Serentak Dinilai Timbulkan Banyak Korban, Sejumlah Organisasi Ajukan Uji Materi

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA-- Pemilu 2019 yang dilakukan serentak untuk presiden dan wakil presiden, DPD, DPR RI dan DPRD menimbulkan banyak korban jiwa dari petugas penyelenggara.
Sejumlah organisasi pemantau Pemilu mengajukan permohonan uji materi Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait frasa "Pemilu serentak", karena dianggap telah menimbulkan banyak korban.
Advertisement
"Fakta empiris menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu serentak 2019 memakan banyak korban penyelenggaraan Pemilu, artinya desain penyelenggaraan pemilu dengan lima kotak perlu diuji dan dipertimbangkan kembali konstitusionalitasnya," ujar kuasa hukum pemohon Yohanes Mahatma di Gedung MK Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Pemohon berpandangan sistem kerja dalam penyelenggaraan pemilu serentak telah melanggar hak konstitusional pemohon, yang harus bekerja dengan tekanan yang cukup tinggi dari segi fisik dan psikis serta honorarium yang tidak sesuai.
Pemohon juga menilai bahwa penerapan sistem kerja dalam penyelenggaraan pemilu serentak dapat dikatakan tidak manusiawi, karena sistem penyelenggaraan Pemilu yang berat dan banyak tekanan.
"Hal ini akibat digabungkannya beban penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan Pemilu Legislatif," tutur Yohanes.
Pemohon juga menyoroti besaran anggaran penyelenggaraan pemilu serentak yang berdasarkan perhitungannya naik hingga Rp9,8 triliun atau meningkat hingga 61 persen.
Lebih lanjut pemohon menyampaikan bahwa maksud pengajuan pengujian aturan tersebut tidak untuk menyatakan Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 terkait penyelenggaraan pemilu serentak telah keliru, tetapi untuk mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak yang baru selesai dilaksanakan.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih kemudian mempertanyakan kedudukan hukum para pemohon yang mengaku sebagai organisasi pemantau pemilu.
"Tapi apakah yang bersangkutan ini memiliki surat sertifikasi sebagai pemantau, saya belum tahu. Tapi yang terpenting apakah pengurus organisasi ini secara AD/ART memang yang berwenang untuk mewakili organisasi, itu perlu diketahui," ujar Enny.
Hakim Konstitusi juga meminta pemohon untuk memperjelas uraian kerugian yang dialami sehingga dapat membuktikan bahwa pemohon memiliki kedudukan hukum untuk menguji peraturan tersebut.
"Apa kerugian yang dirasakan oleh para pemohon, karena pemohon mengkaitkan kerugian dengan sejumlah pasal, tetapi uraian yang menunjukkan letak kerugian konstitusional sesuai dengan Peraturan MK itu tidak nampak," ujar Enny.
Adapun perkara dengan nomor registrasi 37/PUU-XVII/2019 itu diajukan oleh pengurus Badan Arjuna Pemantau Pemilu, Badan Pena Pemantau Pemilu, Badan Srikandi Pemantau Pemilu, Badan Luber Pemantau Pemilu, seorang staf legal, dan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Dewan Pers: Wartawan Aman dari Jeratan UU ITE jika Patuh Kode Etik
- Kasus Riza Chalid, Kejagung Kejar Aset hingga Perusahaan Afiliasi
- Politik Jepang, Takaichi Incar Posisi Perdana Menteri
- Ribuan Orang Unjuk Rasa di London Tolak Kunjungan Donald Trump
- Deretan Selebritas Dunia Galang Dana untuk Palestina
Advertisement

Manunggal Fair Kulonprogo Targetkan 100 Ribu Pengunjung Tahun Ini
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- KPK Segera Umumkan Tersangka Dugaan Kasus Korupsi Kouta Haji
- Tugas ke Luar Kota, Wapres Gibran Tak Hadiri Acara Pelantikan Menteri Baru
- Pengamat Kritisi Kasus Pagar Laut Bekasi yang Hanya Berhenti di Tersangka
- Kuasa Hukum Ungkap Banyak Kejanggalan Terkait Kasus Pembunuhan Kacab Bank
- Putus Jaringan Komunikasi, Militer Israel Semakin Brutal Serang Gaza
- Tok! Bunga KPR Subsidi Tetap 5 Persen
- Trump Perpanjang Tenggat Larangan TikTok hingga 16 Desember 2025
Advertisement
Advertisement