Advertisement

Cerita di Balik Aksi 22 Mei

Lalu Rahadian
Jum'at, 24 Mei 2019 - 18:32 WIB
Budi Cahyana
Cerita di Balik Aksi 22 Mei Seorang pria melintas di depan gedung Sarinah, Jakarta, pascarusuh polisi dan massa, Kamis (23/5/2019) dini hari. - Antara/Prasetyo Utomo

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA --  Aksi 22 Mei beberapa hari lalu sempat tegang setelah buka puasa. Ketegangan berlanjut sampai dini hari sebelum situasi Jakarta benar-benar pulih.

Kawasan Sarinah di Jakarta Pusat dipadati banyak orang menjelang Magrib, Rabu (22/5/2019). Berdasarkan hitungan kasar, mungkin ada ribuan orang yang saat itu berada di Sarinah, untuk kepentingan berbeda-beda.

Advertisement

Mayoritas di antara mereka berada di kawasan itu untuk mengikuti aksi protes terkait Pemilu 2019. Ada juga para aparat yang bertugas menjaga keamanan selama demonstrasi dan banyak jurnalis yang mencari berita langsung dari titik nol peristiwa.

Lepas Magrib dan berbuka puasa, para demonstran yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) langsung menunaikan salat berjemaah di tengah Jalan M.H. Thamrin.

Ketika mayoritas pendemo menunaikan ibadah, sejumlah massa lain bersama polisi dan tentara lahap menyantap hidangan buka puasa yang sudah dibagikan beberapa menit sebelum azan Magrib berkumandang. Hal yang sama dilakukan sejumlah wartawan. Beberapa dari mereka menyambi mengetik berita.

Setelah waktu makan dan salat lewat, massa GNKR kembali bergeliat. Awalnya, kami--para jurnalis--menduga mereka hendak beristirahat sebelum menunaikan salat tarawih berjemaah.

Massa melakukan perlawanan ke arah petugas di depan kantor Bawaslu di kawasan Thamrin, Jakarta, Selasa (21/5/2019)./Antara-Muhammad Adimaja

Maklum, sehari sebelumnya, massa yang sama melakukan hal tersebut di lokasi demonstrasi. Pada Selasa (21/5), seusai menunaikan salat maghrib dan berbuka puasa, massa GNKR diberi toleransi oleh aparat untuk menunaikan ibadah tarawih di lokasi aksi sebelum kembali ke kediaman masing-masing.

Tetapi, hal berbeda ternyata terjadi hari itu. Seusai menunaikan salat magrib, massa diimbau pulang. Imbauan disampaikan seorang orator dari atas mobil komando.

"Kita sama-sama membubarkan barisan. Kita kembali ke tempat masing-masing, yang utara ke utara, selatan ke selatan. Silakan kembali, silakan dadah-dadah ke aparat," kata orator tadi.

Mendengar seruan tersebut, saya bersama rekan jurnalis lain langsung mendekati batas antara massa aksi dan aparat. Kami berkumpul di pos polisi Sarinah yang menjadi lokasi pengeboman pada Januari 2016.

Kami berkumpul di sana supaya bisa mendengar lebih jelas pernyataan orator tersebut dan melihat serta mengambil gambar massa yang hendak pulang.

Awalnya, kegiatan itu kami lakukan tanpa rasa waswas. Gambar dan video diambil. Beberapa teman juga mengetikkan pernyataan-pernyataan orator dengan cepat di gawai masing-masing.

Kami bahkan sudah mulai bisa tertawa karena merasa bisa pulang lebih awal dari yang dibayangkan.

"Semalam gue tidur nih di sini [pos polisi Sarinah]. Sampe agak pagi gitu balik. Sekarang udah mau selesai aja nih, semoga enggak ada rusuh," ujar seorang teman yang bekerja di salah satu radio terkemuka di Indonesia.

Namun, keadaan berubah dengan cepat.

Kericuhan mulai terjadi setelah sejumlah orang melemparkan batu dan botol plastik ke arah aparat. Tak hanya itu, massa juga mulai mendorong pagar kawat berduri yang dipasang membentang di Jalan M.H. Thamrin.

Kerusuhan yang berlangsung tiba-tiba tersebut mengagetkan aparat dan wartawan yang berada di baris depan. Suasana tenang yang sempat hadir langsung berganti takut.

Kami pun berlari mencari tempat berlindung, khawatir terkena timpukan batu atau benda apapun dari arah massa.

Saat menghindari kerusuhan itu, saya tidak berpikir apa-apa lagi selain secepat mungkin lari lurus ke arah selatan Jalan M.H. Thamrin. Sejumlah teman berlari bersama saya.

Tetapi, ada beberapa teman jurnalis yang justru memilih lari ke arah tenda di barisan depan. Niat mereka baik: ingin berlindung di dalam tenda.

Tapi nyatanya, salah seorang di antara mereka malah terkena timpuk kerucut lalu lintas berwarna oranye, alias traffic cone, yang dilempar massa.

Massa melakukan perlawanan ke arah petugas di depan kantor Bawaslu di kawasan Thamrin, Jakarta, Selasa (21/5/2019)./ANTARA FOTO-Muhammad Adimaja

Beruntung kerucut itu dibuat dari bahan yang tidak keras, sehingga tak ada luka yang diderita jurnalis dari salah satu media daring itu. Tetap saja, hal itu cukup membuatnya kaget.

"Wah, kena cone tadi. Untung aja cuma cone. Udah deg-degan juga," ujarnya.

Suasana yang menegang terus berlanjut sepanjang malam. Setelah kerusuhan dimulai, para jurnalis langsung berkumpul dan saling berbagi pasta gigi untuk dioleskan di wajah masing-masing untuk mengurangi dampak gas air mata yang ditembakkan aparat.

Setelah itu, para wartawan pun langsung sibuk berkoordinasi, baik dengan sesama wartawan atau oleh si wartawan dengan kantor masing-masing.

Harapan para wartawan untuk bisa pulang lebih cepat pun tinggal angan. Kami harus siaga di lokasi untuk terus mengabarkan kondisi terkini dari lokasi kerusuhan hingga Kamis (23/5) dini hari.

"Yah enggak apa-apa deh, hitung-hitung bekal cerita buat anak cucu ntar," celetuk seorang teman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Catat! Ini Jadwal dan Lokasi SIM Keliling di Jogja Sabtu 27 April 2024

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 05:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement