Advertisement

Fenomena 'Stop Izin FPI' Makin Kencang, FPI Harus Hilangkan Kesan Sangar

Aziz Rahardyan
Jum'at, 10 Mei 2019 - 00:37 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Fenomena 'Stop Izin FPI' Makin Kencang, FPI Harus Hilangkan Kesan Sangar Massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan longmars menuju Bareskrim dan Balai kota di Jakarta, Jumat (14/10/2016). - Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Penolakan lewat petisi bertajuk 'Stop ijin FPI' telah ditandatangani nyaris 300.000 orang, menyusul adanya informasi viral bahwa izin FPI akan berakhir pada 20 Juni 2019. Wacana agar izin ormas FPI tidak diperpanjang oleh Kementerian Dalam Negeri pun kian berhembus kencang.

Pengamat Sosial Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno berpendapat, fenomena ini merupakan konsekuensi atas citra negarif FPI yang telanjur mengakar di masyarakat.

Advertisement

Padahal, bagaimana pun FPI juga punya sisi positif, misalnya divisi kemasyarakatan mereka yang selalu tanggap membantu ketika ada bencana alam, di samping aksi-aksi politiknya yang kontroversial.

"Yang perlu diperbaiki kesan 'sangar' FPI yang selama ini melekat. Kan kesan itu yang selalu disematkan ke FPI misalnya seperti aktivitas melakukan sweeping jalanan yang kerap meresahkan," jelas Adi kepada Bisnis, Kamis (9/5/2019).

"Meski sudah jarang melihat FPI sweeping, tapi kesan itu masih membekas. Artinya, secara perlahan stigma semacam ini harus dihilangkan dengan memperbanyak aktivitas sosial kemasyarakatan," tambahnya.

Sebab itulah, menurut Adi, apabila FPI kembali diberi kesempatan memperpanjang izin ormas yang teregistrasi dengan nomor SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 ini, FPI mesti mengagendakan perbaikan internal.

Terlebih, kini muncul ketentuan baru dalam UU 16/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang memuat mekanisme pembubaran ormas yang tidak lagi melalui pengadilan.

FPI bisa terganjal dengan regulasi tersebut, sebab di dalamnya menyebutkan omas dilarang melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), penistaan agama, mengganggu ketertiban umum, hingga melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.

"Agresifitas verbal yang kerap menyalahkan bahkan mengkafirkan orang lain sejatinya dihilangkan. Soal kafir mengkafirkan biar urusan Tuhan, manusia cukup berikhtiar melakukan kebaikan di muka bumi," tambah tambah pria yang juga Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.

"Hidup di tengah masyarakat plural yang tidak berdasarkan hukum agama, mengkafirkan orang lain tentu menjadi problem serius yang bisa memancing hubungan tak harmonis dengan pihak lain," tutup Adi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

PKS dan PAN Bantul Belum Bisa Pastikan Berkoalisi dengan Partai Lain di Pilkada Bantul

Bantul
| Rabu, 24 April 2024, 20:37 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement