Advertisement

Buntut Putusan MK Soal Pemilu dan Pilkada, DPR Bantah Ada Perdebatan

Newswire
Selasa, 01 Juli 2025 - 21:47 WIB
Maya Herawati
Buntut Putusan MK Soal Pemilu dan Pilkada, DPR Bantah Ada Perdebatan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Antara - Hafidz Mubarak A

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Buntut keluarnya putusan yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal membantah adanya perdebatan antara DPR dengan Mahkamah Konstitusi.

"Enggak, nanti enggak ada itu (DPR vs MK)," kata Cucun di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Advertisement

Menurut ia, yang terpenting baik MK maupun DPR sama-sama menjalankan tugas sesuai dengan kewenangannya.

Cucun mengatakan apabila MK bertugas sebagai penjaga konstitusi maka hendaknya lembaga itu tidak keluar dari jalur tersebut. Adapun DPR RI memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang.

"Yang penting semua on the track. Kalau MK penjaga konstitusi, jagalah konstitusi ya. Kalau konstitusinya, misalkan, mengatur pemilu lima tahun, ya harus konsisten dong dijaga pemilu lima tahun," ucapnya.

Ia menambahkan, "Bahwa putusannya sudah melebihi undang-undang, konstitusi. Konstitusi pemilu itu kan di kita lima tahun sekali, ya tinggal kembalikan, nanti publik kan bisa memahami. Masa penjaga konstitusi, konstitusinya dilanggar?"

Cucun juga menyinggung pelaksanaan pemilu yang dipisahkan antara pemilu nasional dengan pemilu lokal tidak sampai berimbas pada terjadinya perpanjangan masa jabatan kepala daerah ataupun anggota DPRD.

Hal tersebut sebagaimana perpanjangan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang pernah terjadi, sebagai imbas pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. "Itu kan banyak membuat sistem pemerintahan agak sedikit terganggu juga," katanya.

BACA JUGA: UGM Berduka, Satu Mahasiswa KKN Meninggal dalam Insiden Kecelakaan Kapal, Satu Orang Masih dalam Pencarian

Cucun juga mempertanyakan sejauh mana yurisprudensi dari putusan MK yang bersifat final dan mengikat (final and binding) apabila putusan MK terkait persoalan yang sama terus berubah-ubah.

"Karena final and binding ini, kalau kami melihat (gugatan uji materi ke MK terkait sistem pemilu) yang dulu saja kan ditolak, sudah final and binding, tapi sekarang malah diterima semua. Final and binding lagi gitu kan?" tuturnya.

Sebelumnya, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan pemilu nasional dan lokal masih dalam koridor tugas konstitusional karena sebatas menafsirkan norma undang-undang.

"Kalau dikatakan putusan MK itu melanggar konstitusi, saya tidak setuju. Apa yang mereka (MK) lakukan masih dalam tugas konstitusional mereka," kata Bivitri saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Selasa.

Dia menjelaskan Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang amarnya memerintahkan ada jeda waktu antara pemilu nasional dan lokal merupakan hasil dari penafsiran norma suatu pasal terhadap konstitusi.

​​Bivitri tidak setuju dengan pandangan yang menyebut putusan tersebut menjadikan MK sebagai positive legislator. Sebab, dalam putusan dimaksud, MK meminta pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional dalam hal mengatur masa transisi pemisahan pemilu nasional dan lokal.

"Mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang ‘kan, ‘bikin dong, rekayasa konstitusionalnya’, karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang. Mereka benar-benar cuma menafsirkan pasal yang diminta," kata Bivitri.

Sementara itu, pada Senin (30/6/2025), Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengemukakan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memisahkan model pemilu, antara pemilu nasional dan pemilu lokal bersifat kontradiktif dengan putusan sebelumnya.

"Putusan MK ini kita bandingkan dengan putusan MK sebelumnya terkesan kontradiktif karena sebelumnya pada 2019, MK memberikan putusan yang dalam pertimbangan hukumnya memberikan guidance kepada pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu," kata Rifqinizamy di kompleks parlemen, Jakarta.

Menurut ia, keserentakan pemilu sudah dilaksanakan pada 2024, namun MK tiba-tiba mengeluarkan putusan mengenai pemilu nasional dan lokal pada 2025.

"Bukan memberikan peluang kepada kami sebagai pembentuk undang-undang untuk menetapkan satu dari enam model di dalam revisi Undang-Undang Pemilu, tetapi MK sendiri yang menetapkan salah satu model," katanya.

Dia menilai bahwa penormaan MK tersebut berpotensi memberi tafsir bahkan melanggar konstitusi dan DPR sejauh ini belum menyatakan sikap resmi karena sedang menelaah putusan MK tersebut.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Jadwal Kereta Bandara YIA-Stasiun Tugu Jogja, Rabu 2 Juli 2025

Jogja
| Rabu, 02 Juli 2025, 03:17 WIB

Advertisement

alt

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah

Wisata
| Senin, 30 Juni 2025, 06:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement