Advertisement

ISU PANGAN: Manajemen Harga Acuan Karut Marut

Newswire
Senin, 15 April 2019 - 07:17 WIB
Laila Rochmatin
ISU PANGAN: Manajemen Harga Acuan Karut Marut Pedagang sembako, Sanijem sedang berjualan di Pasar Sentolo, Desa Sentolo, Kecamatan Sentolo pada Selasa (9/4/2019). - Harian Jogja/Fahmi Ahmad Burhan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Kebijakan revisi maupun evaluasi terhadap harga acuan sejumlah komoditas pangan yang terjadi hampir bersamaan sepanjang awal tahun ini dinilai sebagai refleksi karut marut manajemen stok dan harga pangan nasional.

Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan maraknya isu revisi dan peninjauan ulang harga acuan sejumlah komoditas pangan di tingkat produsen maupun konsumen belakangan ini menandakan lemahnya koordinasi antarkementerian yang menangani barang kebutuhan pokok dan penting (bapokting).

Advertisement

Kondisi ini, menurut dia, telah dibiarkan sejak lama dan mencapai puncaknya pada tahun lalu. “Kelemahan lainnya adalah, Kementerian Perdagangan memang diberikan kewenangan untuk mengatur harga di tingkat petani atau peternak dan konsumen. Namun, mereka tidak memiliki sistem atau lembaga yang berfungsi sebagai [pengelola] buffer stock [stok penyangga] sehingga Kemendag hanya bisa bermain di ranah perubahan harga acuan,” kata dia, Minggu (14/4/2019).

Padahal, kata Enny, persoalan harga bapokting erat kaitannya dengan kondisi nyata di lapangan, yakni suplai dan permintaan. Dia melanjutkan ketika masalah pangan hanya ditinjau dari sisi perubahan harga acuan, efektivitasnya terhadap kestabilan harga pangan hanya dapat dirasakan dalam jangka pendek.

Berdasarkan catatan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI), sejumlah bapokting yang mengalami perubahan harga acuan pada 2019, baik di tingkat petani maupun konsumen, adalah komoditas telur dan daging ayam.
Harga kedua komoditas itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.96/2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, yang merupakan revisi dari Permendag No.58/2018.

Dalam beleid yang dilansir Oktober 2018 itu, batas bawah harga penjualan telur di tingkat peternak ditetapkan Rp18.000/kg dan batas atasnya Rp20.000/kg. Sementara itu, harga penjualan di tingkat konsumen Rp23.000/kg.

Harga penjualan ayam hidup tingkat peternak ditetapkan batas bawahnya Rp18.000/kg dan batas atas di Rp20.000/kg, sedangkan di tingkat konsumen menjadi Rp 34.000/kg.

Namun, awal tahun ini, peraturan tersebut kembali pada 29 Januari 2019 melalui Surat Edaran (SE) Menteri Perdagangan No 82/M-DAG/SD/1/2019 tentang Harga Khusus Daging Ayam Ras dan Telur Ayam Ras Periode Januari-Maret 2019.

Di surat edaran itu, harga khusus pembelian daging dan telur ayam di peternak direvisi batas bawahnya menjadi Rp20.000/kg dan batas atasnya menjadi Rp22.000/kg. Sementara itu, harga acuan pembelian daging ayam ras di konsumen menjadi Rp36.000/kg dan telur ayam menjadi Rp25.000/kg.
Otoritas perdagangan beralasan, kebijakan itu ditujukan untuk menyelamatkan harga daging dan telur ayam di tingkat peternak yang terus mengalami penurunan. Akan tetapi, pada saat bersamaan, harga jagung yang menjadi bahan baku pakan ternak mengalami kenaikan.

Belum lama ini pun, pemerintah mengembuskan wacana merevisi harga acuan komoditas jagung yang ada dalam Permendag No.96/2018. Revisi harga itu nantinya bakal disesuaikan dengan wilayah produksi.

Sebelumnya, harga acuan pembelian di petani untuk jagung dengan kadar air 15% adalah Rp3.150/kg, kadar air 20% senilai Rp3.050/kg, kadar air 25% sejumlah Rp2.850/kg, kadar air 30% sebesar Rp2.750/kg, dan kadar air 35% seharga Rp2.500/kg. Sementara itu, harga di tingkat konsumen (industri) untuk jagung dengan kadar air 15% adalah Rp4.000/kg.

Isu peninjauan harga acuan juga terjadi pada komoditas gula konsumen. Pada Februari 2019, Presiden Joko Widodo menjanjikan kenaikan harga pokok petani (HPP) gula kristal putih (GKP) menjadi Rp10.500/kg dari level saat ini senilai Rp9.700/kg.

Namun, baru-baru ini petani yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) merevisi usulannya terkait dengan kenaikan HPP GKP menjadi Rp10.900/kg. Usulan itu didasarkan kepada perhitungan terbaru biaya pokok produksi yang mencapai Rp10.800/kg.

Menanggapi fenomena tersebut, Enny menyatakan kebijakan revisi harga acuan merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengamankan gejolak harga Ramadan dan Idulfitri. Akan tetapi, kebijakan itu juga mengindikasikan upaya pemerintah mengamankan kondisi jelang Pemilihan Presiden 2019.

“Jadi kesannya wacana dan kebijakan revisi harga acuan ini gerudukan demi mengamankan Lebaran yang biasanya harga bapokting itu bergejolak dan kebetulan berdekatan dengan Pilpres 2019. Namun, ini langkah jangka pendek yang tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan utama, yakni tata kelola pangan yang kacau.”

Terus Berulang
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menjelaskan otak-atik harga acuan dan HPP akan menjadi kebijakan yang berulang tiap tahunnya.
Pemerintah akan terus sibuk melakukan evaluasi harga acuan ketika menjelang hari besar keagamaan dan gejolak pada sisi suplai dan permintaan.

“Persoalan terbesarnya ada pada data. Kalau pemerintah punya data yang valid dan saling terintegrasi terkait dengan suplai dan permintaan, maka otak-atik harga acuan tidak sesering terjadi saat ini. Sebab, simpul dari gejolak harga ada di pasokan dan permintaan,” katanya.

Dia khawatir kebijakan ini akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mereguk keuntungan dengan memanfaatkan kekacauan pasokan dan permintaan. Walhasil, permintaan untuk merevisi harga acuan akan terus terjadi dan akan semakin sering terjadi.

Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi mengatakan kebijakan SE Kemendag soal kenaikan harga acuan pembelian daging ayam dan telur sepanjang Januari-Maret 2019 yang dilanjutkan dengan instruksi penyerapan daging ayam oleh peritel cukup efektif mengerek harga kedua komoditas itu.

Namun, sambungnya, apabila kebijakan penyerapan daging ayam oleh peritel yang berjalan pada 1-21 April selesai, harga komoditas itu akan tertekan ke bawah kembali. Pasalnya, ketika SE penyerapan berakhir, periode awal puasa akan mulai berjalan dan permintaan konsumen naik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ini Dia 2 Nama yang Bakal Disurvei Golkar untuk Pilkada Gunungkidul

Gunungkidul
| Kamis, 18 April 2024, 21:17 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement