Advertisement

Toleransi di Lapisan Bawah Masyarakat Mengkhawatirkan

Rheisnayu Cyntara & Abdul Hamid Razak
Rabu, 19 Desember 2018 - 09:25 WIB
Budi Cahyana
Toleransi di Lapisan Bawah Masyarakat Mengkhawatirkan Makam Albertus Slamet Sugihardi yang dipotong salibnya, di TPU Purbayan Kotagede. - Harian Jogja/Abdul Hamied Razak

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kasus intoleransi terjadi di wilayah Jogja. Salib di pusara penduduk RT 53 RW 13, Purbayan, Kotagede, digergaji warga, Senin (17/12). Kearifan lokal dijadikan alasan. Ini menunjukkan problem besar intoleransi bersemayam di lapisan bawah.

Insiden ini berselang dua pekan setelah Setara Institute mengeluarkan hasil penelitian yang menyebut Kota Jogja tidak lagi berada di 10 besar kota dengan indeks toleransi rendah. Jumat (7/12) lalu, Setara Institute, organisasi yang mengampanyekan keberagaman, merilis Indeks Kota Toleran 2018. Kota Jogja yang tahun lalu berada zona merah intoleransi alias di 10 besar kota dengan toleransi terendah tahun ini membaik.

Advertisement

Direktur Setara Institute, Halili, mengatakan Kota Jogja berada di zona oranye karena pemerintah cukup sigap dalam merespons kasus intoleransi, contohnya dalam penyerangan Gereja St. Lidwina di Sleman, Februari lalu. Penyebab lain naiknya peringkat adalah toleransi di daerah lain yang memburuk.

Namun, penggergajian salib di Tempat Permakaman Umum (TPU) Jambon, Purbayan, Kotagede, mencoreng tingkat toleransi di Kota Jogja.

 “Ini menjadi sebuah cerminan, bahwa masalah intoleransi di Jogja masih berlangsung dalam masyarakat. Ini sebenarnya intoleransi yang paling kritis, pada lapis sosial terbawah,” ujar Halili kepada Harian Jogja, Selasa (18/12) malam.

Menurut kajian Setara Institute, ada dua simulasi yang mungkin terjadi dalam kasus ini, yakni provokasi dari eksternal maupun permasalahan internal masyarakat.

“Ini sangat kami sayangkan karena sebenarnya Indonesia ada karena semangat toleransi. DNA kita adalah toleransi, tetapi dalam beberapa tahun terakhir konservatisme agama jadi penyebab masalah intoleransi timbul di level sosial terbawah,” ucap dia.

Ada tiga hal krusial yang harus segera dilakukan untuk merawat kebinekaan. Pertama, penanaman pemahaman agama yang moderat di tingkat formal.  “Hal ini sering diabaikan,” kata dia.

Kedua, peran tokoh-tokoh agama dalam memahami agama secara moderat dan menyebarkan nilai-nilai universal, bukan lantas menyebarkan paham konsevatif yang sempit. Ketiga, pemerintah harus mengambil peran dengan dua cara, yakni berpihak kepada kelompok minoritas dengan mengeluarkan pernyataan publik yang kuat agar kejadian serupa tak terulang kembali

“Jangan sampai terjadi lagi viktimisasi [menyalahkan korban]. Ini jadi ujian terberat pemerintah, bagaimana mereka bersikap dan ada di mana mereka berdiri,” ucapnya.

Halili menyayangkan adanya surat pernyataan yang ditulis oleh keluarga almarhum yang menyatakan ikhlas terhadap penggergajian salib. Menurut dia, inilah yang terjadi manakala konservatisme terus dipupuk hingga subur. Logika yang bermain dalam kasus ini adalah logika mayoritas yang terus menekan minoritas untuk tunduk.

“Padahal yang harusnya terjadi, hak-hak minoritas wajib dilindungi oleh mayoritas.”

Penggergajian Salib

Salib di pusara mendiang Albertus Slamet Sugihardi, di TPU Jambon, Purbayan, Kotagede, dipotong pada Senin kemarin sekitar pukul 14.00 WIB. Sebelum meninggal di usia 60 tahun, Slamet dirawat di RS PKU Muhammadiyah Jogja karena mendadak sakit saat sarapan bubur kacang ijo sekitar pukul 08.00 WIB. “Meski sempat dibawa ke rumah sakit, nyawanya tidak tertolong. Kemudian keluarga berembuk rencana pemakaman,” kata Albertus Sunarto, Humas Gereja Santo Paulus Pringgolayan Banguntapan, Bantul, Selasa (18/12).

Narto mengatakan awalnya keluarga meminta untuk memakamkan jasad Slamet di TPU dekat gereja. Sayangnya, hal itu tidak bisa dilakukan karena Slamet bukan warga sekitar.

“Setelah ada rembukan dengan warga di sekitar rumah Pak Slamet, disepakati Pak Slamet dimakamkan di makam kampung [TPU Jambon] yang tidak jauh dari rumahnya,” kata Narto.

Sunarto ikut mengurus proses pemakaman salah satu anggota jemaatnya. Dia juga yang ikut berembuk dengan salah seorang tokoh masyarakat di Purbayan, Bedjo Mulyono, agar Slamet bisa dimakamkan di TPU Jambon.

“Awalnya tidak ada masalah. Karena itu makam kampung, siapa saja bisa dimakamkan di sana. Sampai akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, ada semacam reaksi dari warga kampung. Mereka tidak membolehkan Slamet dimakamkan di tengah pemakaman tetapi di bagian pinggir,” kata Sunarto.

Warga juga meminta agar keluarga almarhum tidak melantunkan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah hingga proses pemakaman di TPU. Keluarga menyanggupi permintaan tersebut asal jasad Slamet segera dikebumikan. “Keluarga juga sepakat. Proses pemakaman berjalan, sampai akhirnya saya mendengar kalau saat salib ditancapkan ke pusara, ada warga yang memotong salib dengan cara menggergaji,” ujar dia.

Salib yang digergaji tetap ditancapkan, meskipun hanya berbentuk huruf  T. Itu menjadi penanda makam Slamet. Saat beranjak malam, keluarga  dan kolega Slamet, mantan sopir di PMI Jogja, mulai berdatangan untuk menggelar doa di rumah duka. Masih ada warga yang menolaknya. “Akhirnya, pembacaan doa-doa dilakukan ke gereja ini,” kata Sunarto.

Tak hanya itu, prosesi pemakaman Slamet juga tidak seperti pada umumnya. Tidak ada kursi bagi pelayat, tidak ada tenda untuk tempat berteduh. Pengurus kampung beralasan, saat itu semua kursi dan tenda sedang digunakan untuk kegiatan lain.

Tanggapan Masyarakat

Salah seorang tokoh masyarakat RT 53 RW 13 Purbayan Kotagede, Bedjo Mulyono, mengatakan sudah ada kesepakatan antara warga yang diwakili Ketua RT 53 Sholeh Rahmad Hidayat serta Ketua RW 13 Slamet Riyadi dan keluarga mendiang Slamet. Bahkan, kata Bedjo, Maria Sutris Winarni, 63, istri Slamet menandatangani kesepakatan tersebut secara tertulis. “Pernyataan tertulisnya hari ini [Selasa] dengan materai, tetapi kemarin sudah disepakati secara lisan,” kata Bedjo.

Bedjo menampik kesepakatan itu adalah bentuk intoleransi. Menurut dia, apa yang dilakukan warga sudah sangat toleran karena jenazah Slamet bisa dikebumikan di TPU  tersebut.

“Warga bahkan ikut membantu pemakaman, tetapi memang tidak diperbolehkan untuk menggunakan simbol agama,” ujar dia.

Nur Hudin, tokoh masyarakat lainnya, mengatakan keluarga Slamet sebenarnya sudah ikhlas dan tidak mempersalahkannya.

“Ini jadi viral karena ada orang luar yang memviralkan. Keluarga itu sudah ikhlas. Kasihan mereka masih berduka,” ujar dia.

Ketua RT 53 RW 13 Soleh Rahmad Hidayat mengakui warga sepakat dan meminta keluarga untuk tidak melakukan ibadah dan mendoakan jenazah Slamet di rumahnya. Soleh berdalih itu dilakukan agar tidak memicu adanya konflik. Meski itu melanggar konstitusi, Soleh berkilah kearifan lokal juga harus dihormati. “Kampung ada aturannya. Ada istiadat. Kuburan itu 99 persen kuburan Islam, baru ini saja yang non-Islam. Ini kesepakatan warga dan pengurus kampung,” ucap dia.

Menurut dia, warga juga meminta tidak ada simbol Kristen di kompleks permakaman itu karena mereka berencana menjadikan permakaman itu khusus muslim. Simbol agama tidak diperbolehkan ada di makam karena menjadi aturan tak tertulis. Jika aturan itu dilanggar, dia khawatir akan menimbulkan konflik di masyarakat. “Ke depan, TPU tersebut akan dijadikan TPU muslim sebagai bagian dari kesepakatan warga,” ujar Soleh.

Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman mengatakan pemotongan salib tersebut sudah disepakati warga dan keluarga, sebagai bagian dari kesepakatan tidak adanya simbol agama di permakaman.

“Keluarga setuju. Tetapi di luar muncul isu-isu yang lain-lain,” ucap Rochman di Pesantren Nurul Umahat, Kotagede.

Menurut dia, persoalan ini sudah selesai dan tidak perlu dihebohkan.

Adapun Ketua Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) Jogja Abdul Muhaimin heran dengan konflik di Purbayan karena wilayah tersebut merupakan kompleks perumahan. 

Dia mengatakan masalah tersebut tidak akan selesai dengan pendekatan keamanan. “Kami akan ada langkah simultan untuk menyadarkan masyarakat secara bertahap,” kata dia.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Ini Rekayasa Lalu Lintas yang Disiapkan Polres Bantul Untuk Atasi Kemacetan saat Libur Lebaran

Bantul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 19:17 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement