Advertisement
Singapura Eksekusi 17 Terpidana 2025, Rekor Hukuman Mati Terbaru
Ilustrasi hukuman (Freepik)
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Singapura mencatat 17 eksekusi hukuman mati sepanjang 2025, menjadi rekor tertinggi sejak 2003 dan kembali memicu sorotan terhadap kebijakan hukuman gantung untuk kasus narkoba.
Melansir Bloomberg pada Selasa (2/12/2025), dalam dua hari pekan lalu, sebanyak tiga terpidana kasus narkoba dijatuhi hukuman gantung, yakni Mohammad Rizwan bin Akbar Husain (44) warga Singapura, seorang terpidana lain asal Singapura yang identitasnya tidak diungkap, serta Saminathan Selvaraju (42) warga negara Malaysia.
Advertisement
Eksekusi tersebut berlangsung menjelang sidang pada 3 Desember mendatang, ketika sekelompok aktivis mengajukan gugatan uji konstitusionalitas terhadap hukuman mati.
Kementerian Dalam Negeri Singapura menyatakan seorang terpidana akan dijadwalkan menjalani eksekusi setelah menuntaskan seluruh jalur hukum yang tersedia terkait vonis dan hukumannya, termasuk proses banding serta permohonan grasi.
BACA JUGA
“Seorang narapidana yang menunggu hukuman mati akan dijadwalkan untuk dieksekusi setelah seluruh upaya hukum terkait putusan dan hukumannya ditempuh, termasuk banding dan proses permohonan pengampunan,” ujar Kementerian Dalam Negeri dalam pernyataan tertulis.
Kementerian menegaskan ketiga terpidana yang dieksekusi pekan lalu telah mendapatkan seluruh prosedur hukum yang berlaku, dan pelaksanaan hukuman dilakukan sesuai dengan sistem peradilan Singapura.
Kelompok masyarakat sipil Transformative Justice Collective, penggugat uji materi tersebut, menyatakan jika pengadilan mengabulkan gugatan mereka maka hal itu berarti ketiga terpidana tersebut serta seluruh terpidana kasus narkoba yang sebelumnya telah dieksekusi dianggap menjalani eksekusi secara tidak sah.
“Sebab itu, jika pengadilan memutuskan berpihak pada kami, itu berarti tiga pria ini, dan semua terpidana kasus narkoba yang telah dieksekusi sebelumnya, telah dieksekusi secara keliru,” ujar Kirsten Han, salah satu anggota kelompok tersebut.
Han bersama tiga aktivis lainnya serta tiga orang saudari dari warga Singapura yang sebelumnya telah dieksekusi mengajukan gugatan tersebut ke pengadilan.
Singapura selama ini mempertahankan penerapan hukuman mati untuk kejahatan narkoba dengan alasan sebagai efek jera serta upaya menjaga keamanan nasional sehingga negeri tersebut tetap menjadi salah satu negara teraman di dunia.
Pada 2024, Singapura melaksanakan sembilan eksekusi yudisial, delapan di antaranya terkait kasus narkoba. Pada tahun yang sama, Biro Narkotika Pusat mencatat penangkapan terhadap lebih dari 3.100 penyalahguna narkoba, dengan sekitar sepertiganya merupakan pelaku baru.
Mantan Perdana Menteri Lee Hsien Loong pada 2021 membela penerapan hukuman mati yang diberlakukan sejak 1975. Dia mengatakan kebijakan tersebut membuat para pengedar enggan menyelundupkan narkoba ke Singapura.
“Kini Singapura relatif bebas narkoba. Situasi kami jauh lebih terkendali dibandingkan banyak negara lain,” ujar Lee kala itu.
Tekanan internasional agar Singapura meninjau ulang kebijakan hukuman mati, khususnya untuk kasus narkoba, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama dari organisasi hak asasi manusia.
Seruan itu kian menguat sejak 2022, ketika pemerintah kembali melanjutkan eksekusi mati kasus narkoba setelah sempat dihentikan sementara selama pandemi Covid-19. Pada tahun yang sama, miliarder asal Inggris Richard Branson mengecam kebijakan tersebut dan menyebut Singapura berada di sisi sejarah yang keliru.
Pekan lalu, delegasi Uni Eropa mengeluarkan pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinan atas eksekusi yang dilakukan Singapura sepanjang 2025. Uni Eropa menegaskan bahwa penerapan hukuman mati untuk pelanggaran narkoba tidak sejalan dengan hukum internasional karena dianggap tidak masuk dalam kategori kejahatan paling berat.
Menurut Transformative Justice Collective, dalam 15 tahun terakhir sejumlah negara seperti Malaysia dan Pakistan telah menghapus hukuman mati wajib untuk kasus narkoba, sementara hampir 20 negara lain menghapus atau membatasi penerapan hukuman mati secara sebagian maupun menyeluruh.
Transformative Justice Collective merupakan organisasi masyarakat sipil berbasis di Singapura yang aktif mengampanyekan penghapusan hukuman mati. Pada tahun lalu, kelompok ini dikenai sanksi berdasarkan undang-undang penanggulangan berita palsu setelah dinilai menyebarkan sejumlah pernyataan fakta yang keliru, serta dijatuhi pembatasan penerimaan dana selama dua tahun dari aktivitas situs web dan media sosial mereka.
Han menilai lonjakan jumlah eksekusi tahun ini, yang menjadi angka tertinggi sejak 19 orang dijatuhi hukuman mati pada 2003, memunculkan tanda tanya besar atas sikap pemerintah.
“Pemerintah pada akhirnya harus menjawab mengapa mereka begitu bernafsu dan bertekad untuk melakukan pembunuhan melalui eksekusi,” ujar Han.
Dia menambahkan, seluruh proses itu dilakukan atas nama rakyat Singapura. “Karena itu, sangat penting bagi kita semua sebagai warga negara untuk merenungkan apa arti semua ini bagi masyarakat kita, bagi negara kita, dan bagi siapa kita sebagai sebuah bangsa,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pembelaan Korupsi TKD Maguwoharjo Makin Kuat di Tingkat Banding
Advertisement
KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona
Advertisement
Berita Populer
- Airlangga Sebut 66 Persen APBN 2026 untuk Program Prabowo
- Pelatih PSIM Jogja Bandingkan Libur Super League dengan Liga di Eropa
- Penguatan Desa Mandiri Budaya di Bantul Tingkatkan Ekonomi Warga
- 6 Warga Gunungkidul Meninggal karena AIDS
- Tips Cegah Serangan Jantung Saat Liburan Bersama Keluarga
- Ansor DIY Siapkan Badan Siber Hadapi Ancaman Digital
- Prabowo Janji Negara Hadir Bantu Korban Banjir Sumatera
Advertisement
Advertisement



