Advertisement
Penegakan Hukum Kasus Pagar Laut Harus Berlandaskan Fakta dan Bukan Asumsi Apalagi Tekanan Politik
![Penegakan Hukum Kasus Pagar Laut Harus Berlandaskan Fakta dan Bukan Asumsi Apalagi Tekanan Politik](https://img.harianjogja.com/posts/2025/02/08/1203521/screenshot_20250206_081931_chrome.jpg)
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA–Penegakan hukum terhadap kasus pagar laut di perairan Tangerang, Banten harus berbasis fakta dan data, bukan sekadar asumsi atau tekanan politik semata.
Pengamat hukum dan politik Pieter Zulkifli mengatakan dari sisi hukum legalitas sertifikat tanah di wilayah perairan harus ditangani dengan pendekatan regulasi yang jelas karena kasus tersebut bukan hanya persoalan administrasi pertanahan.
Advertisement
"Ketika lembaga penegak hukum bertindak atas dasar asumsi tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin terkikis," kata Pieter dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (8/2/2025).
BACA JUGA: KKP Periksa 6 Kepala Desa Terkait Kasus Pagar Laut Tangerang
Mantan Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut menuturkan dalam perjalanan kasus itu, beredar surat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta data penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di Desa Kohod, Tangerang.
Surat tersebut, kata dia, diduga terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan sertifikat yang ramai diperbincangkan setelah kasus pagar laut mencuat.
Pieter mengingatkan agar Kejagung tidak tergesa-gesa berasumsi adanya tindak korupsi dalam kasus itu tanpa melakukan penyelidikan yang mendalam.
Jika dugaan tersebut tidak berdasar, menurut dia, konsekuensinya bukan hanya hanya mencederai kredibilitas institusi hukum, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum yang berdampak luas.
BACA JUGA: Kasus Pagar Laut Misterius di Tangerang, 4.000 Nelayan Rugi Rp24 Miliar
Dia mengungkapkan berdasarkan Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1960, hak atas tanah tidak hanya terbatas pada daratan, tetapi juga mencakup wilayah perairan atau perbatasan pesisir.
Proses pengajuan hak itu, sambung dia, bahkan harus melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Selain itu dalam Pasal 1 angka (7) PP Nomor 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah, disebutkan bahwa perizinan terkait kegiatan yang memanfaatkan ruang laut merupakan legalitas yang diberikan kepada badan usaha atau masyarakat untuk menjalankan usahanya di wilayah perairan pesisir dan laut.
Dengan demikian, kata Pieter, secara yuridis tanah di bawah air memang dapat disertifikatkan, sehingga, proses hukum dalam kasus pagar laut harus mengikuti kerangka regulasi tersebut, bukan didasarkan pada asumsi semata.
Untuk itu, dirinya berharap agar Kejaksaan bekerja secara profesional dan transparan, tanpa intervensi politik atau kepentingan tertentu. Kejaksaan, lanjut dia, harus membuktikan pelanggaran hukum dengan bukti dan fakta, bukan dugaan yang dikhawatirkan merugikan banyak pihak.
Di sisi lain, dia berpendapat agar pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap iklim investasi di Indonesia atas penanganan kasus tersebut. Menurutnya, program Investasi Nasional bisa terganggu jika para pejabat yang bertanggung jawab tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap regulasi yang berlaku.
"Transparansi dan profesionalisme dalam penyelidikan merupakan kunci utama untuk memastikan keadilan ditegakkan tanpa merugikan kepentingan nasional," kata dia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (31/1) membenarkan bahwa penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) mengirimkan surat kepada Kepala Desa Kohod yang berisi permintaan bantuan agar bisa memberikan buku Letter C Desa Kohod terkait kepemilikan atas hak di area pemasangan pagar laut.
Di dalam surat tersebut, tertulis bahwa permintaan bantuan itu dalam rangka penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan kepemilikan hak atas tanah berupa SHGB dan SHM di wilayah perairan laut Tangerang, Banten, tahun 2023-2024.
“Ya, surat yang beredar itu surat dari kami. Saya sudah konfirmasi ke teman-teman di Pidsus,” katanya.
Ia mengatakan bahwa dalam proses penyelidikan, Kejagung hanya mengumpulkan data dan keterangan. Meskipun tengah melakukan penyelidikan, Harli menegaskan bahwa Kejaksaan tetap mendahulukan kementerian/lembaga dalam hal pemeriksaan pendahuluan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Di Rakernas Golkar, Bahlil Sentil Ketua Komisi XI DPR RI Terkait Polemik LPG 3 Kg
- Taman Safari Seluas 225 Hektare Bakal Dibangun di IKN Akhir 2025
- Mau Ikut Pemeriksaan Kesehatan Gratis? Begini Cara Mendaftar Program PKG
- Imbas Pemangkasan Anggaran Infrastruktur, Gapensi: Ada 185 Sektor Industri Bakal Terdampak
- Dampak Kebijakan Imigrasi Donald Trump, 2 Orang WNI Ditangkap
Advertisement
![alt](https://img.harianjogja.com/posts/2025/02/08/1203529/embung-giwangan-oke.jpg)
Ini Kendala Pengembangan Wisata Jogja Selatan, dari Akses Jalan Hingga Lahan Parkir yang Terbatas
Advertisement
![alt](https://img.harianjogja.com/posts/2025/01/27/1202297/liburan-garut.jpg)
Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati
Advertisement
Berita Populer
- Dampak Kebijakan Imigrasi Donald Trump, 2 Orang WNI Ditangkap
- Imbas Pemangkasan Anggaran Infrastruktur, Gapensi: Ada 185 Sektor Industri Bakal Terdampak
- Rumah Ketum PP Digeledah KPK, Sekjend: Kami Hormati Proses Hukum
- Prabowo akan Memantau Program Cek Kesehatan Gratis secara Senyap
- Polisi Ungkap Kasus Pembuatan Rekening Nasabah Bank Menggunakan Identitas Orang Lain dengan Bantuan Artificial Intelligence
- Hore! Pemerintah Tanggung Pajak Penghasilan Pekerja di Sektor Padat Karya
- Satpo PP Temukan 24 Lokasi Vandalisme "Adili Jokowi" di Surabaya
Advertisement
Advertisement