Kasus KDRT Meningkat, KemenPPPA Dorong Revisi UU No 23/2024
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena dinilai banyak kelemahan dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga yang jumlahnya cenderung meningkat.
Oleh karenanya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menginisiasi revisi UU Nom23/2004 tersebut. "UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) harus lebih powerful. Ini akan diusulkan ke DPR. Harus masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dulu," kata Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Eni Widiyanti di Jakarta, dikutip Sabtu (16/11/2024).
Advertisement
BACA JUGA: Jumlah KDRT di Bantul Masih Tinggi Hingga Pertengahan Tahun Ini, Cek Datanya
Menurut dia, dari jumlah kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, sebagian besar adalah kekerasan dalam rumah tangga. "Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak), 74 persen kekerasan itu terjadi di rumah tangga. Pelakunya 54 persen adalah suami, 13 persen mantan pacar, kemudian ada orang tua, guru, saudara," kata Eni Widiyanti.
Padahal Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. "Kita sudah punya UU PKDRT yang usianya sudah 20 tahun, kenapa ini (KDRT) masih tinggi?" katanya.
Menurut Eni Widiyanti, terdapat beberapa kendala dalam menerapkan UU PKDRT. Pihaknya mencontohkan kasus KDRT yang dilaporkan ke polisi, berakhir secara restorative justice atau damai.
Selain itu, polisi tidak bisa menindaklanjuti kasus KDRT yang laporannya dicabut. "Beberapa kasus KDRT berujung meninggal. Ternyata dia (korban) sudah melapor, lalu (laporan) dicabut. Polisi sudah tidak bisa ngapa-ngapain (menindaklanjuti kasus) karena ini delik aduan," kata Eni Widiyanti.
Sementara situasi KDRT terus terjadi terhadap korban. "Siklus KDRT yang berulang itu kadarnya meningkat. Yang tadinya dipukuli, lama-lama digorok, meninggal-lah korban," katanya.
Pihaknya juga menyoroti kasus lainnya, di mana istri dari perkawinan siri tidak bisa diproses dengan menggunakan UU PKDRT. "Ini perbedaan penafsiran. Padahal suami, istri, anak, orang tua, kakek, nenek, paman, bibi, bahkan pekerja rumah tangga, supir, tukang kebun yang tinggal di rumah yang sama, bisa (diproses dengan UU PKDRT), termasuk istri siri," kata Eni Widiyanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- KPK Melacak Aliran Uang Korupsi Pembangunan Jalur Kereta Api ke Pejabat BPK
- Menteri Komdigi Setuju Pelajaran Coding Masuk ke Kurikulum Sekolah
- Empat Santri di Sukabumi Meninggal Dunia Tertimbun Tanggul Kolam yang Roboh
- Viral Suami Bacok Istri di Blitar, Pelaku Ditangkap
- Seorang Nenek Ditipu Rp500 Juta dengan Modus Ritual Mengusir Setan
Advertisement
Jadi Rujukan Wisata, Ini Cara Cawalkot Jogja di Pilkada Tingkatkan Lama Tinggal Wisatawan
Advertisement
Yogyakarta Marriott Hotel Ajak Tamu Nikmati Keajaiban Natal 2024 dan Tahun Baru 2025
Advertisement
Berita Populer
- Empat Kalurahan di Bantul Jadi Desa Siaga Tsunami
- Gunung Semeru Erupsi Disertai Letusan Setinggi 400 Meter
- Kementerian Kependudukan Gencarkan Kampanye Vasektomi
- Warga Jogja Diingatkan untuk Waspada DBD di Musim Hujan
- Komnas Perempuan Kampanyekan JITU di Pilkada 2024
- Gunung Semeru Beberapa Kali Erupsi pada Sabtu Pagi
- Dana Calon Jemaah Haji Indonesia Hampir Rp170 Triliun, BPKH: Perlu Inovasi Pengelolaan
Advertisement
Advertisement