Advertisement

Bahu Membahu Meningkatkan Produksi dan Pasokan untuk Ketahanan Pangan

Media Digital
Selasa, 15 Oktober 2024 - 15:07 WIB
Maya Herawati
Bahu Membahu Meningkatkan Produksi dan Pasokan untuk Ketahanan Pangan Presiden Joko Widodo mengecek langsung kegiatan panen raya di Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Jumat (13/10/2023). Foto: BPMI Setpres - Vico

Advertisement

JOGJA—Mempertahankan produksi tanaman pangan adalah target utama para petani di empat kabupaten di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka juga menyerap dengan baik beragam program yang diberikan pemerintah. 

Tanjung, petani di Padukuhan Ngestiharjo, Kapanewon Wates, Kabupaten Kulonprogo semringah. Penuh semangat ia bercerita tentang panen padi kedua pada 2024 di wilayahnya yang hasilnya di luar dugaan. Awalnya ia berkecil hati karena serangan hama.

Advertisement

"Bagi kami ini berkah tersendiri, berbagai upaya untuk menyelamatkan tanaman padi sebelum panen ternyata cukup berhasil," jelasnya Minggu (4/8/2024).

Salah satu hama yang cukup mengkhawatirkan di Ngestiharjo, kata Tanjung, adalah serangan keong sawah. "Keong-keong ini memakan batang dan akar padi, kami jadi khawatir lalu kami atasi dengan cara-cara organik hasilnya ternyata lumayan," ujar dia.

Selain dengan cara-cara organik, Tanjung menyebut mendapatkan fasilitas pupuk, pestisida dan cara-cara lain untuk mengantisipasi hama dari pemerintah. 

Tanjung belum dapat mengalkulasi secara pasti jumlah produksi padi di wilayahnya. "Belum kami hitung, kemarin baru awalan saja, tetapi kami jamin hasilnya cukup memuaskan," ujar dia.

Saking memuaskannya hasil panen padi ini, lanjut Tanjung, warga di Ngentak, Ngestiharjo hingga membuat acara syukuran di lahan pertanian. "Ini bagian melestarikan adat dan bentuk syukur kami karena diberi panen yang baik dan melimpah," ujar dia.

Berdasarkan catatan Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Kulonprogo, panen pertama musim kedua di Kulonprogo terjadi di Kapanewon Wates, Panjatan, dan Pengasih. Produksinya selama Juli ini sebesar 6.715 ton. Total luas lahan di tiga wilayah yang panen ini seluas 1.761 hektare. Sedangkan prediksi kami untuk Agustus hasilnya 11.650 ton.Penyediaan bibit, pupuk dan sarana lain tetap akan dilanjutkan DPP Kulonprogo untuk musim tanam ketiga tahun ini. 

Jauh hari sebelumnya, kegembiraan panen raya juga terjadi di Gunungkidul. Para petani kedelai Kalurahan Sidorejo, Kabupaten Gunungkidul panen kedelai seluas 40 hektare dengan produktivitas 1,8 ton wose per hektare.

Ketua Kelompok Tani Sri Rejeki Sumilan di Gunungkidul, mengatakan lahan kedelai 40 hektare digarap oleh 133 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sri Rejeki.

"Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementerian Pertanian dan Pemkab Gunungkidul yang telah memberikan bantuan, serta memberikan harga yang layak untuk kedelai," kata Sumilan, Sabtu (29/4/2023). 

Kelompok Tani Sri Rejeki menerapkan sistem panen korporasi. Panen korporasi sendiri adalah sebuah program di mana korporasi kedelai dengan harapan ketersediaan benih kedelai untuk suatu daerah utamanya di daerah Sidorejo, Ponjong.

Ia juga mengaku sebelumnya hasil panen kedelai  hanya dihargai Rp6.000 sampai Rp7.000 per kilogram. Setelah dibantu oleh Kementerian Pertanian kini harga kedelai dihargai sampai Rp13.000. "Kami juga ucapkan terima kasih atas bantuan benih dan sumur bor dan memberikan harga layak untuk hasil panen kedelai," kata Sumilan.

Berdasarkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Nasional yang disusun Badan Pangan Nasional pada 2022, lima provinsi urutan skor terbaik adalah Bali (85,19), Jawa Tengah (82,95), Sulawesi Selatan (81,38), Kalimantan Selatan (81,05) dan Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY (80,88). 

Masuknya DIY dalam urutan skor tertinggi IKP Nasional dipertahankan di tengah gempuran alih fungsi lahan dan perubahan iklim dalam 10 tahun terakhir. 

Plt Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY, R.  Hery Sulistio Hermawan mengatakan rata-rata produksi padi dalam lima tahun terakhir berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY lima tahun terakhir rata-rata sekitar 500.000 sampai 560.000 ton Gabah Kering Giling (GKG).  "Secara umum produksi tanaman pangan tetap terjaga," ucapnya, Selasa (17/9/2024).

Dia menjelaskan beberapa upaya dilakukan untuk meningkatkan hasil pertanian. Di antaranya menggunakan bibit unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik, pengendalian hama penyakit, pemanfaatan teknologi budi daya, pemanfaatan alat dan mesin pertanian (alsintan), serta budi daya pertanian ramah lingkungan.

Lebih lanjut dia mengatakan beberapa tahun terakhir juga dilakukan upaya percepatan tanam. Agar setelah panen lahan bisa segera ditanami kembali, dengan menyiapkan persemaian di luar lahan.

Menurutnya hal ini bertujuan agar lahan tetap bisa dioptimalkan untuk budi daya. 

BACA JUGA: 7 SD dan 2 TK di Sleman Jadi Percontohan Makan Bergizi Gratis

Di sisi lain pengamatan tetap rutin dilakukan untuk mengendalikan hama penyakit dan juga meningkatkan penggunaan pupuk organik. "Upaya yang dilakukan [menjaga produktivitas] dengan melaksanakan intensifikasi pertanian," tuturnya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) DIY menyampaikan ketahanan pangan selama 10 tahun terakhir di DIY tercatat masih bagus. Kepala BPS DIY, Herum Fajarwati menjelaskan bicara terkait dengan produksi padi dan palawija memang terus menurun setiap tahun, hal ini dikarenakan alih fungsi lahan untuk perkantoran, swasta, rumah sakit, restoran, hotel dan lainnya.

Akan tetapi bicara ketahanan pangan, kata Herum, tidak semata-mata dari produksi sendiri. Impor juga membuat ketahanan pangan terjaga dengan baik. Sejauh ini menurutnya tidak ada aksi protes terkait dengan kelangkaan pangan, yang artinya menandakan ketahanan pangan baik.

"Ketahanan pangan masih bagus tapi memang bukan dari produksi sendiri," ucapnya di The Phoenix Hotel, Jogja, Jumat (13/9/2024).

Dia menjelaskan meski ada alih fungsi lahan yang mengurangi luas lahan pertanian di DIY, di sisi lain berdampak pada investasi yang meningkat cukup tinggi.

Lebih lanjut Herum mengatakan pertanian tidak menjadi sektor yang dominan di DIY. Namun sektor industri, akomodasi, restoran, dan lainnya. Secara pertumbuhan ekonomi baik, akan tetapi memang sektornya berbeda dengan daerah agraris. 

"Kalau dibedah sesungguhnya Gunungkidul yang masih agraris, peran pertanian masih 20 persen lebih, daerah lain semua di bawah 20 persen perannya," tuturnya. Herum mengatakan kemungkinan alih fungsi lahan di Kabupaten Gunungkidul tidak semasif daerah lain. Seperti Kabupaten Sleman dan Kulonprogo, apalagi Kota Jogja. 

Ketahanan Pangan Nasional

Ketahanan pangan Indonesia memang menghadapi tantangan besar dalam 10 tahun terakhir atau dua kali periode masa pemerintahan Jokowi.

Kondisi ketahanan pangan global yang goyah akibat pandemi Covid-19, memunculkan tantangan pada penyediaan pasokan pangan. Meski demikian pemerintah tetap mampu menjaga ketahanan pangan seperti perintah Undang-Undang No.18/2012 tentang Pangan. 

Pada periode  pertama pemerintahan Presiden Jokowi, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pertanian berada pada angka baik. Rerata pertumbuhan menurut data Kementerian Pertanian sebesar 3,7% per tahun selama 2014-2018. Sedangkan PDB pertanian meningkat dari Rp880,4 triliun menjadi Rp1.005,4 triliun. 

Angka ini tentu telah memenuhi ekspektasi ketahanan pangan sesuai UU Pangan yang mensyaratkan terpenihunya pasokan pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. 

Ketahanan pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun mutu. Aspek keterjangkauan dan pemerataan pun dijadikan landasan untuk mengukur ketahanan pangan suatu negara. 

Definisi serupa pun dipakai oleh Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) yang menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi ketika setiap orang, sepanjang waktu, memiliki akses fisik, sosial, dan ekonomi terhadap makanan bergizi dan cukup untuk dapat menjalani aktivitas dan hidup yang sehat. 

Berdasarkan catatan survei The Economist Intelligence Units (EIU) dalam Global Food Security Index (GFSI) sejak 2014 hingga 2022, indeks ketahanan pangan Indonesia terus naik, hingga dihantam pandemi Covid-19. Pada 2014 skor GFSI Indonesia di angka 54,7. Lalu pada 2015 skor GFSI Indonesia sebesar 55,6; 2016 sebesar 55,8; 2017 di angka 57,1 dan 2018 di titik tertinggi yaitu 62,4. 

Setelah 2018 hingga saat ini skor GSFI Indonesia turun. Terlihat pada tahun pandemi Covid-19 di 2019, skor GSFI Indonesia turun di angka 60,4, lalu naik tipis pada 2020 sebesar 61,4. Skor GSFI pada 2021 anjlok menjadi 59,2. 

Meski demikian angka ini masih lebih tinggi dibanding kurun waktu periode pertama masa jabatan Presiden Jokowi. Catatan GSFI pada 2022  sebesar 60,2. Skor ini naik dibanding tahun sebelumnya dan Indonesia berada di peringkat 63 dari 113 negara yang disurvei. 

Indikator besar untuk mengukur ketahanan pangan 113 negara dalam GSFI yaitu keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi dan keamanan pangan, serta ketahanan sumber daya alam. (Advetorial)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Sumber: harianjogja.com, antaranews.com, ekon.go.id, setkab.go.id, pertanian.go.id

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pemda DIY Menyiapkan Masyarakat Agar Kuat Saat Terdampak Overtourism

Jogja
| Selasa, 15 Oktober 2024, 17:07 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Tempat Wisata Paling Populer di Thailand, Cek Daftarnya

Wisata
| Sabtu, 12 Oktober 2024, 13:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement