Advertisement

Pengamat: Seharusnya Survei AMDK YLKI Tidak untuk Kampanye Menolak Produk

Abdul Hamied Razak
Kamis, 07 April 2022 - 13:37 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Pengamat: Seharusnya Survei AMDK YLKI Tidak untuk Kampanye Menolak Produk Galon air - Ist

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA- Pengamat Komunikasi Satrio Arismunandar mengkritisi survei dan rekomendasi yang dibuat Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terhadap produk air minum dalam kemasan (AMDK). Dia menilai, apa yang dilakukan YLKI tidak berdasarkan penelitian ilmiah tetapi lebih pada asumsi, dugaan, kecurigaan, prasangka, ataupun memiliki misi tertentu.

"Sebagai lembaga perlindungan konsumen yang sudah memiliki nama, YLKI seharusnya tidak melakukan survei yang tujuannya untuk suatu kampanye menolak produk tertentu," ujarnya melalui surat keterangan yang diterima, Kamis (7/4/2022).

Advertisement

Menurutnya, bila survei yang dilakukan cuma basa-basi agar dianggap ilmiah dan tidak substantif dengan yang diteliti maka ini bisa berdampak negatif dan merugikan banyak pihak termasuk masyarakat. Terutama, jika argumen yang dibangun lemah dan rekomendasi yang diajukan juga terkesan dipaksakan dan mengada-ada," ujar pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.

Salah satu yang disoroti Satrio adalah objek yang disurvei YLKI terkait AMDK. Dia mengatakan, populasi survei post market adalah toko yang menjual AMDK galon, meliputi supermarket, minimarket, agen, dan warung. "Seharusnya, populasi penelitian survei konsumen adalah seluruh konsumen yang pernah atau berlangganan dalam pengkonsumsian AMDK dan bukan toko penjualnya," katanya.

Baca juga: Ini Tips Aman Konsumsi Air Minum dalam Kemasan

Ia melihat ada beberapa kerancuan dan kelemahan dalam penelitian yang dilakukan YLKI. Menurutnya, survei YLKI dilakukan hanya untuk membuat opini negatif terhadap AMDK galon guna ulang. Menurutnya, survei YLKI yang menyimpulkan bahwa AMDK galon guna ulang yang terpapar sinar matahari akan menimbulkan migrasi zat BPA ke air minumnya, itu tidak bersifat objektif.

"Kesimpulan seperti itu kan harus diukur dengan alat tertentu, dan bukan sekadar opini. Bahkan, untuk mengukur keterpaparan sinar matahari pun juga perlu ketersediaan alat ukur dan penguasaan teknis tersendiri, yang masyarakat awam tidak paham dan tidak bisa melakukannya. Ini harus dilakukan oleh orang yang ahli atau profesional di bidangnya," katanya.

Dia mencontohkan apakah terpapar matahari pada pukul 6.30 pagi bisa disamakan dengan terpapar matahari pukul 12.00, berapa lama AMDK galon guna ulang harus terpapar sinar matahari dan berapa sebetulnya suhu maksimal yang bisa terjadi sehingga bisa dikategorikan berisiko bagi kesehatan konsumen.

"Hal-hal semacam ini lazim dalam penelitian ilmiah, tetapi tidak tercakup dalam survei YLKI itu. Karenanya, survei itu tidak bisa dijadikan landasan untuk membuat kesimpulan ataupun rekomendasi," tukasnya.

Klaim YLKI

Satrio membandingkan klaim-klaim YLKI dengan pernyataan pakar yang kompeten menyoroti soal BPA dalam galon AMDK. Dia menyebut pakar polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin, yang menyatakan galon AMDK berbahan PET yang digunakan untuk galon sekali pakai lebih berisiko jika terkena sinar matahari dan benturan, dibandingkan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat.

Hal itu karena galon PET memiliki temperatur transisi gelas (Tg) yang jauh lebih rendah dibanding yang berbahan Polikarbonat. Suhu transisi gelas adalah suhu di mana suatu polimer mengalami perubahan dari liquid (yang mengalir, walaupun mungkin sangat lambat) menjadi bentuk solid.

Menurut Ahmad Zainal Abidin, galon berbahan PET memiliki temperatur transisi gelas pada 80 derajat Celcius, sedang galon Polikarbonat pada 150 derajat Celcius. Dengan demikian, menurutnya, galon berbahan PET akan lebih berisiko jika terkena sinar matahari daripada Polikarbonat.

"Pertanyaan saya, secara logika sederhana, jika pada suhu 150 derajat Celcius, galon guna ulang itu tidak mungkin bisa disentuh dengan tangan saking panasnya, lebih panas dari air mendidih. Artinya, klaim bahwa bahan Polikarbonatnya mengalami perubahan [dan memicu migrasi BPA] akibat terpapar sinar matahari, lebih terdengar seperti klaim yang mengada-ada atau asbun [asal bunyi]," kata Satrio.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

AJARAN AGAMA: Generasi Milenial Dinilai Penting Belajar Fikih

Bantul
| Rabu, 24 April 2024, 21:37 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement