Advertisement

Tertekan di Rumah Akibat Corona, Anak Bisa Alami Gangguan Jiwa

Mutiara Nabila
Senin, 20 Juli 2020 - 19:27 WIB
Sunartono
Tertekan di Rumah Akibat Corona, Anak Bisa Alami Gangguan Jiwa Siswa Sekolah Dasar didampingi orang tua melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem daring pada hari pertama tahun ajaran baru 2020-2021 di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (13/7/2020). Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Pendidikan menginstruksikan sekolah untuk melakukan sistem PJJ di awal tahun ajaran baru hingga September mendatang sebagai antisipasi penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah. ANTARA FOTO - Feny Selly

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA – Berada di dalam rumah dalam waktu lama, belajar dan beraktivitas semua di dalam rumah ketika pandemi Covid-19 ternyata bisa berpotensi membuat anak mengalami gangguan jiwa. Salah satu faktornya adalah karena harus mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Fidiansjah mengatakan bahwa saat ini jumlah anak di populasi Indonesia ada sekitar 30,1 persen atau sekitar 79,5 juta.

Advertisement

Adapun, selama penerapan PJJ saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hanya 68 persen anak yang punya akses.

“Berarti 32 persen lainnya tidak punya sarana, mereka harus belajar sendiri. Dari sini, 37 persen anak akhirnya tidak bisa mengetahui waktu belajar, 30 persen anak kesulitan memahami pelajaran, dan 21 persen tidak memahami instruksi guru,” jelas Fidiansjah, Senin (20/7/2020).

BACA JUGA : Survei: Anak Muda Yakin Pandemi Covid-19 di Indonesia

Selain itu, dengan berada di rumah, belajar harus didampingi oleh orangtua. Ternyata, hal ini juga membawa dampak psikososial bagi anak yang jumlahnya cukup mengkhawatirkan.

Berdasarkan survei Kementerian Kesehatan saat ini 47 persen anak bosan tinggal di rumah, 35 persen anak merasa khawatir ketinggalan pelajaran, dan 34 persen takut terpapar Virus Corona walaupun sudah berada di rumah.

“Hal ini karena harus belajar dengan cara yang tidak seperti biasa,” imbuhnya.

Sementara itu, 20 persen anak rindu dengan teman-temannya, 10 persen khawatir tentang penghasilan orangtuanya, 11 persen merasakan kekerasan fisik, dan 62 persen anak mengalami kekerasan verbal karena proses belajar mengajar yang tidak lazim.

Pemerhati kesehatan jiwa anak dari UNICEF Ali Aulia Ramly mengonfirmasi bahwa jumlah kejadian kekerasan pada anak di Indonesia memang tinggi dan mengkhawatirkan.

BACA JUGA : Anak 15 Tahun Asal Berbah Terinfeksi Corona, Ini Data

Pada survei UNICEF dengan responden sekitar 1000-1200 orang, ternyata 200-300 di antaranya mengalami kekerasan ketika menjalani pembelajaran secara daring.

“Kita punya kesempatan pendidikan secara daring tapi juga menimbulkan risiko. Persoalan bukan hanya karena anak diam di rumah, tapi ada tekanan psikologis ketika kekerasan meningkat di dalam rumah, ini harus jadi perhatian bersama,” kata dia.

Contoh kekerasan verbal yang kadang tak disadari orangtua atau lingkungan sekitar anak misalnya adalah menjelekkan atau merendahkan anak ketika tidak bisa melakukan tugasnya seperti menyalakan komputer atau mengerjaakan tugas dari guru.

Belum lagi, kadang orangtua suka melakukan kekerasan fisik seperti mencubit untuk mendisiplinkan karena tida bisa mengerjakan tugasnya. Ini bisa masuk dalam kekerasan fisik dan mengganggu kejiwaan anak.

“Ini perlu kita perhatikan dan kita cegah,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Perayaan Paskah 2024, Tim Jibom Polda DIY Melakukan Sterilisasi Sejumlah Gereja di Jogja

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 01:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement