Advertisement

Begini Nasib Bengkel Becak yang Tersisa di DIY

Ujang Hasanudin
Selasa, 04 September 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Begini Nasib Bengkel Becak yang Tersisa di DIY Ngadino, pekerja di bengkel Sinar Laut menyelesaikan pembuatan becak mini pesanan dari salah satu hotel Jogja, Selasa (21/8) lalu. - Harian Jogja/Ujang Hasanudin

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Sinar Laut masih bertahan sebagai bengkel becak. Bengkel ini kondang hingga mancanegara di tengah pergeseran fungsi becak yang tidak lagi menjadi moda transportasi, tetapi bagian dari industri pariwisata. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Ujang Hasanudin.

Bengkel di tepi Jl. Bantul Km. 4,5, Sewon, Bantul, itu dipenuhi batang-batang besi berkarat, cat dan papan kayu yang berdebu. Ini adalah bengkel yang sepi, dengan tulisan Sinar Laut dipasang di bagian muka. Namun bengkel tersebut sangat kondang di mata sebagian besar pengayuh becak di DIY.

Advertisement

Pada dekade 1980, Sinar Laut merakit banyak becak, bisa sampai 30 dalam satu purnama.

Sekarang bengkel itu dikelola Augustine Chen, 56, dan tidak lagi memproduksi becak yang dipakai untuk moda transportasi.

“Sudah tidak ada pesanan,” ujar Augustine, Selasa (21/8/2018) lalu.

Ia hanya menerima jasa pengelasan dan pembuatan becak untuk pajangan.

Masa kejayaan Sinar Laut adalah saat dikelola Liem Hwa Kok, mertua Augustine. Liem Hwa Kok adalah pengusaha bengkel bubut di Jakarta. Setelah menikah dengan Setyawati yang berasal dari Jogja, Liem hijrah dari Ibu Kota pada 1971 dan menetap di Dongkelan, Sewon, Bantul. Menurut Augustine, mertuanya memiliki delapan anak yang sebagian besar membuka bengkel bubut dan konstruksi baja.

Sinar Laut kemudian diwariskan kepada suami Agustine, Lim Kim Liong, anak ketiga Liem Hwa Kok. Lim meninggal enam tahun lalu sehingga bengkel dipegang Augustine.

Augustine bercerita, awalnya Liem Hwa Kok tidak memiliki keahlian merakit becak. Sekitar 1972, ia dimintai tolong oleh juragan becak yang butuh uang untuk membeli becak-becaknya. Sepuluh becak yang sudah ditulisi nama Sinar Laut pada bumpernya dibeli Liem Hwa Kok. “Dari situ nama Sinar Laut digunakan sebagai nama bengkel,” ucap Augustine.

Liem Hwa Kok kemudian menyewakan 10 becak itu. Sekitar 30 tahun silam, becak merupakan moda transportasi yang banyak digemari masyarakat. Bengkel-bengkel becak bertebaran di Jogja dan Bantul.

Liem Hwa Kok kemudian mulai mempelajari cara merakit becak. Hasil rakitannya banyak disukai tukang becak sehingga bengkel Sinar Laut semakin dikenal. Meski pandai merakit becak, Liem Hwa Kok selama hayatnya tidak pandai mengendarai becak. Begitu juga pekerja-pekerjanya.

“Bertahun-tahun merakit becak saya tidak pernah mengayuh becak, karena tidak bisa,” ucap Ngadino, pekerja di Sinar Laut yang belajar merakit becak dari Liem Hwa Kok.

Sinar Laut sempat tidak memproduksi becak pada era 2000-an. Bengkel ini hanya menerima jasa pengelasan dan pembuatan teralis besi dan sejenisnya. Namun pada 2010, Sinar Laut menerima order dari Pemerintah Kota Jogja untuk 10 becak yang akan dikembangkan menjadi becak bertenaga Surya. Sayangnya, proyek itu mandek.

“Waktu itu pemerintah mau pesan banyak becak listrik dengan panel Matahari tapi sampai sekarang tidak ada kelanjutannya,” ujar Augustine.

Sejak beberapa tahun terakhir, Sinar Laut mulai menerima banyak pesanan. Sebagian besar order datang dari pengusaha hotel, rumah makan, dan pehobi barang antik yang ingin memiliki becak untuk dipamerkan.

Becak yang dipajang di Bandara Adisutjipto, menurut Agustine, adalah hasil rakitan bengkel Sinar Laut. Dua pekan lalu pemilik warung makan di Cikarang, Jawa Barat juga memesan becak ukuran besar yang bisa memuat empat orang.

Pesanan juga datang dari Bali, Jakarta, Medan, Makassar, bahkan luar negeri, seperti India, Jerman, Prancis, Belanda, Singapura, dan Malaysia.

“Pesanan dari luar negeri datang melalui tukang becak dan biro wisata. Dari India pesan empat becak pada 2014, dari Prancis satu, dari negara lain saya lupa harus buka catatan dulu,” kata Agustine sambil membuka-buka dokumen pesanan di tumpukan kertas yang sudah lusuh.

Harga becak standar seperti yang digunakan tukang becak sebagai alat transportasi dipatok Rp7,5 juta. Jika pemesan menginginkan kayu jati, Sinar Laut meminta tambahan Rp1 juta. Sementara becak mini dibandrol Rp5 juta-Rp6 juta, dan becak besar Rp9 juta-Rp9,5 juta.

Augustine masih mempertahankan bengkelnya karena sudah tidak ada lagi bengkel di DIY yang menerima jasa perakitan dan servis becak. Dia bahkan punya rencana lain untuk Sinar Laut.

“Saya ingin membuka showroom becak di depan bengkel.”

Nasib Tukang Becak

Menurut penulis buku The Becak Way: Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becak, Blasius Haryadi, hanya ada dua bengkel di DIY yang masih menerima pesanan merakit becak, yakni Sinar Laut dan Jaya Pasti. Padahal pada era 90-an masih ada sekitar 10 bengkel becak kategori besar.

“Bengkel becak tidak mampu bertahan karena sudah tidak ada lagi yang memesan,” kata dia saat ditemui di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, Minggu (26/8/2018) malam.

Sebagian pemilik becak bisa membetulkan becaknya sendiri-sendiri ketika rusak. Termasuk dirinya. Pria yang akrab disapa Harry Van Yogya ini adalah salah satu pengayuh becak sejak 1990. Hingga saat ini, ayah tiga anak ini masih setia mengayuh becak.

“Dulu becak jadi tumpuan, alat transportasi yang digemari dengan penghasilan yang menjanjikan. Sekarang tidak bisa bersaing dengan taksi dan ojek online,” ucap dia

Pada 1990 saat Harry Van Yogya mulai mengayuh becak, dalam sehari ia bisa membawa uang lebih dari Rp100.000. Nominal itu tentu sangat besar kala itu. Ia menggenjot becak keliling Bantul hingga Malioboro. Saking besarnya penghasilan ia sampai terbuai hingga meninggalkan bangku kuliah saat masih semester IV di salah satu kampus swasta di Jogja.

Masa kejayaan tukang becak lambat laun surut pada 2000 seiring maraknya kendaraan pribadi. Gempa Bumi 2006 membuatnya terpuruk. Selain penghasilan becak yang tidak menentu, rumahnya ambruk terkena lindu, istri tercintanya meninggal dunia. Ia terpaksa membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil sendirian.

Untuk mencari penghasilan tambahan, ia membantu menulis penelitian-penelitian para penulis di salah satu penerbit buku. Dari situ ia terpikir membukukan kisah hidupnya dan pekerjaannya mengayuh becak hingga terbit pada 2011 lalu. Buku The Becak Way tidak sekadar membahas soal becak, tetapi juga menjadi memoar Harry Van Yogya.

“Sehari-hari saya tetap narik becak.”

Ia bersyukur pemerintah mulai memperhatikan kembali tukang becak dengan mengeluarkan aturan perlindungan becak dan andong sebagai alat transportasi tradisional yang menjadi ciri khas di DIY. Namun upaya tersebut belum maksimal karena tidak ada jaminan kesejahteraan bagi tukang becak.

“Saya termasuk orang yang ingin kebebasan. Dengan menjadi tukang becak saya merdeka bisa mencari penumpang kapan saja, bisa istirahat semau saya.”

Harry Van Yogya sekarang memakai becak bukan untuk mengantar penumpang, melainkan menarik minat wisatawan mancanegara. Ia memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk membangun jaringan dengan biro wisata hingga turis secara pribadi.

Kini ia juga memiliki biro wisata. Sebagian besar wisatawan yang ke Jogja melalui bironya ingin jalan-jalan menggunakan becak. Jika wisatawan yang datang lebih dari seorang, ia ajak teman-temannya sesama tukang becak untuk ikut.

Ia meyakini meski banyak alat transportasi daring, becak tidak akan pernah punah, karena sudah menjadi ciri khas DIY dan banyak digemari oleh para wisatawan. “Wisatawan merasa belum lengkap tanpa naik becak atau andong,” kata pria yang pernah mengayuh becak dari Jogja-Jakarta pada 2014 lalu ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Perpanjangan SIM di Bantul, Senin 12 Mei 2025

Bantul
| Senin, 12 Mei 2025, 09:47 WIB

Advertisement

alt

Amerika Serikat Keluarkan Peringatan Perjalanan untuk Warganya ke Indonesia, Hati-Hati Terorisme dan Bencana Alam

Wisata
| Sabtu, 10 Mei 2025, 20:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement