Advertisement
Himalaya Terus Bertambah Tinggi, Ini Penjelasan Ilmuan

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Himalaya sebagai rangkaian pegunungan tertinggi di dunia, tidak terbentuk melalui satu tabrakan tektonik yang besar, seperti yang sebelumnya diyakini oleh para ilmuwan.
Sebelumnya, diasumsikan bahwa pegunungan ini terbentuk melalui satu tabrakan tektonik besar di mana lempeng tektonik India dan Eurasia bertabrakan langsung satu sama lain.
Advertisement
BACA JUGA: Puluhan Warga Kepuharjo Diare dan Muntah-Muntah, Dinkes Sleman: Bukan Keracunan Makanan!
Namun, penemuan baru ini mengungkap pegunungan Himalaya sebenarnya telah mencapai sekitar 60 persen dari ketinggian yang dimilikinya saat ini sebelum tabrakan antara lempeng tektonik India dan Eurasia benar-benar terjadi.
Dalam kata lain, pegunungan Himalaya tidak hanya terbentuk melalui satu tabrakan tektonik besar, tetapi juga melalui kombinasi dari berbagai proses tektonik yang terjadi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Proses ini dimulai sekitar 45 hingga 59 juta tahun yang lalu.
Berdasarkan penelitian yang diterbitkan pada 10 Agustus 2023 dalam jurnal Nature Geoscience, Ibarra dan timnya menemukan pegunungan Himalaya telah mencapai sekitar 60 persen dari ketinggian yang saat ini sebelum terjadi tabrakan antara lempeng tektonik benua.
"Studi kami menunjukkan bahwa tepi-tepi dari kedua lempeng tektonik ini sudah memiliki ketinggian yang cukup tinggi sebelum tabrakan yang menciptakan Himalaya terjadi, yaitu sekitar rata-rata 3,5 kilometer (2,2 mil)," ujar Page Chamberlain, seorang profesor ilmu Bumi dan planetari di Universitas Stanford yang merupakan penulis senior dari studi ini, dalam sebuah pernyataan.
Saat ini, ketinggian rata-rata Himalaya mencapai 20.000 kaki (6.100 meter) dan salah satu gunung tertingginya adalah Gunung Everest yang mencapai ketinggian 29.032 kaki (8.849 m) di atas permukaan laut.
Para peneliti merekonstruksi sejarah rangkaian pegunungan ini dengan mengukur jumlah berbagai versi, atau isotop, oksigen dalam batuan sedimennya — sebuah teknik analisis oksigen triple yang biasanya digunakan untuk mempelajari meteorit.
Dengan melacak perubahan ini, para peneliti dapat menentukan ketinggian sejarah batuan-batuan.
Mereka menemukan bahwa komposisi pada sekitar 62 juta tahun yang lalu sesuai dengan ketinggian sekitar 11.480 kaki (3.500 m).
"Itu jauh lebih tinggi dari yang banyak orang pikirkan," ujar Ibarra dalam pernyataan.
Lebih lanjut, tabrakan besar yang terjadi sekitar 45 hingga 59 juta tahun yang lalu pada akhirnya mendorong tepi lempeng tektonik India dan Eurasia naik sekitar 0,6 mil (1 km)
“Gaya tektonik ini terus berlangsung dan berkontribusi pada pertumbuhan pegunungan bahkan sampai hari ini,” ujarnya.
Adapun, dirinya menyebut temuan ini dapat menjadi menambah khazanah dalam fenomena iklim, termasuk pembentukan sistem musim monsun Asia Timur dan Selatan,
"Pemahaman baru ini dapat mengubah teori-teori tentang iklim dan keanekaragaman hayati di masa lalu," tutup Ibarra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Prakiraan BMKG, Mayoritas Wilayah Indonesia Diguyur Hujan
- Tok! Bunga KPR Subsidi Tetap 5 Persen
- Kuasa Hukum Ungkap Banyak Kejanggalan Terkait Kasus Pembunuhan Kacab Bank
- Daftar Lengkap Menteri dan Wamen Baru di Kabinet Merah Putih Prabowo
- Reshuffle Kabinet Prabowo, Ini Daftar Menteri dan Pejabat Baru
Advertisement
Pemkab Bantul Pasang CCTV di Titik Strategis untuk Perkuat Keamanan
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- Tiga Tersangka Korupsi Sritex Dilimpahkan ke Kejari Surakarta
- Kawal Demo Pengemudi Ojol, 6.118 Personel Gabungan Dikerahkan
- Kecelakaan Maut di Lereng Gunung Bromo, Jalur Penyelamat Perlu Ditambah
- Zulhas Dorong Pembentukan Kopdes Merah Putih di Pesantren
- Lelang KPK Terhadap Barang Rampasan Digelar, Ini Linknya
- Prabowo Dikabarkan Gelar Pelantikan Menteri Hari Ini
- Mantan Kapolda DIY Ahmad Dofiri Datangi Istana Presiden
Advertisement
Advertisement