Advertisement

Subsidi Program Biodiesel Dinilai Untungkan Korporasi Besar

Bhekti Suryani
Selasa, 07 Februari 2023 - 22:47 WIB
Bhekti Suryani
Subsidi Program Biodiesel Dinilai Untungkan Korporasi Besar Petugas memperlihatkan contoh bahan bakar biodiesel saat rilis Road Test Penggunaan Bahan Bakar B30 (campuran biodiesel 30% pada bahan bakar solar) pada kendaraan bermesin diesel di Jakarta, Kamis (13/6). / JIBI/Bisnis Indonesia - Abdullah Azzam

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA–Subsidi salah "kamar” diduga terjadi pada program biodiesel. Anehnya pemerintah telah meluncurkan kenaikan dari B30 menjadi B35 yang tidak diikuti dengan rekomendasi perbaikan tata kelola sebagaimana yang diingatkan oleh masyarakat selama ini. Hal itu disampaikan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) melalui rilis, Selasa (7/2/2023).

Pasalnya, program ini hanya dinikmati oleh segelintir korporasi besar. Dalam program ini, SPKS menyebut justru korporasi sawit penguasa hulu hilir industri sawit yang menikmati untung.

Advertisement

Serikat Petani Kelapa Sawit melalui rilisnya meluncurkan laporan baru untuk merespons peluncuran B35 tersebut dan sekaligus mengingatkan pemerintah dalam perbaikan tata kelola biodiesel yang selama ini dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan petani skala kecil dalam rantai pasok.

Dalam laporan SPKS tersebut ditemukan, sepanjang 2019-2021 Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana pungutan ekspor CPO senilai Rp70,99 triliun.

Dalam waktu yang sama, sekitar Rp66,78 triliun mengalir untuk subsidi biodiesel atau 94,07% dari dana yang terhimpun. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan penggunaan dana Perkebunan Kelapa Sawit, bahwa penghimpunan dana ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

Tujuan Program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan antara lain adalah mendorong penelitian dan pengembangan, promosi usaha, meningkatkan sarana prasarana pengembangan industri, pengembangan biodiesel, replanting, peningkatan jumlah mitra usaha dan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor, serta edukasi sumber daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.

Namun alokasi anggaran untuk program-program tersebut tidak proporsional. Laporan SPKS menunjukkan bahwa pada tahun 2019 realisasi belanja BPDPKS terbesar adalah untuk pembayaran selisih harga biodiesel yaitu 97,09%.

Sedangkan untuk dana riset 0,10%, promosi kelapa sawit 0,16%, pengembangan SDM kelapa sawit 0,12%, penyaluran dana peremajaan kebun kelapa sawit 2,51%, sarana dan prasarana 0,02%, dan penghimpunan dan pengelolaan dana 0,01%.

Dalam kegiatan launching report “Raksasa Penerima Subsidi” yang diselenggarakan oleh SPKS, Anggota komisi VI DPR RI yang juga merupakan ketua panitia kerja pembentukan UU nomor 39 tahun 2014 tentang Penghimpunan Dana dari Pelaku Usaha Perkebunan, Herman Khaeron mengatakan bahwa “tujuan awal dibentuknya BPDPKS adalah untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit rakyat dan kemandirian petani dalam membentuk koloninya untuk memperkuat hilirasiasi. Penggunaan dana ini untuk biodisel merupakan pelanggaran keuangan yang dilakuakan oleh pemerintah, karena sejatinya dana tersebut bukan untuk biodisel," kata dia, seperti dikutip dari rilis SPKS, Selasa (7/2/2023).

Industri Nikmati Untung

Alokasi subsidi biodiesel mayoritas dinikmati oleh korporasi raksasa, menurut temuan SPKS. Terdapat 12 kelompok korporasi raksasa yang menikmati subsidi selisih harga minyak dan biodiesel tersebut, antara lain Wilmar, Best Industry, Darmex Agro, First Resources, Jhonlin, KPN Corp, Louis Dreyfus, Musim Mas, Permata Hijau, Royal Golden Eagle, Sinar Mas, dan Sungai Budi.

Wilmar menjadi korporasi paling besar menerima subsidi diantara kelompok korporasi lain. Selama periode Januari 2019 hingga September 2021, jumlah subsidi yang telah diterima oleh Wilmar mencapai Rp22,14 triliun.

Jumlah tersebut dua kali lipat lebih besar dari jumlah subsidi yang diterima oleh Musim Mas, penerima subsidi terbesar kedua sebesar Rp11,15 triliun. Hampir empat kali lipat lebih besar dari penerima subsidi terbesar ketiga, yakni Royal Golden Eagle sebesar Rp6,29 triliun. 

Pertanyaan besar dari kebijakan ini adalah B35 untuk siapa? Bercermin dari implementasi mandotori B30, terbukti bahwa kebijakan tersebut meningkatkan harga produk turunan sawit.

Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit, Manseutus Darto mengatakan bahwa dampak dari kebijakan B35 ini adalah dapat meningkatkan harga pangan termasuk minyak goreng, selain itu harga tandan buah segar di tingkat petani juga akan tergerus karena mengikuti harga CPO.

BACA JUGA: Pertumbuhan Ekonomi RI Capai Rekor Tertinggi selama 8 Tahun, Bagaimana dengan Jogja?

Dalam acara “launching report” yang juga turut hadir Janses E. Sihaloha, mengatakan bahwa “Ada indikasi persaingan usaha tidak sehat terjadi pada penunjukan perusahaan yang mendapat subsidi biodiesel. Kondisi ini harus di respons oleh KPPU selaku yang memiliki wewenang dalam mengawasi hal tersebut, bahkan bisa meminta bantuan pihak kepolisian dalam menindak lanjutinya,” kata Janses.

Kebijakan B35 menurut SPKS meningkatkan potensi terjadinya kerusakan lingkungan karena permintaan CPO yang semakin tinggi. Dalam Kegitan yang sama Juru Kampanye Hutan GreenPeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan kebutuhan CPO untuk B35 sebanyak 13 juta ton K/L, ini mengharuskan untuk pembukaan lahan baru melalui doferestasi dan pelanggaran HAM dibagian hulu.

“Petani sawit harus berada pada posisi strategis dalam struktur industri sawit, terutama dalam komposisi BPDPKS sehingga memiliki peran penting dalam tatakelola industri sawit dari hulu sampai hilir” kata Arie Rompas. (**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Joko Pinurbo Meninggal, Kemendikbudristek: Penyair Legendaris Tuai Beragam Penghargaan

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 20:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement