Benarkah Posisi Utang Pemerintah Berada di Titik Nadir? Simak Ulasannya!
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA -- Utang pemerintah per Agustus 2021 tembus di angka Rp6.625,4 triliun. Sementara rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) telah melonjak jadi 40,84 persen.
Angka rasio utang tersebut memang masih jauh dari batas aman yang ditetapkan oleh undang-undang yakni 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Advertisement
Namun jika melihat kinerja pengelolaan fiskal secara keseluruhan, peningkatan rasio utang tanpa disertai kemampuan pemungutan pajak tentu merupakan sinyal bahaya bagi pemerintah.
Bagaimana bisa?
Mari kita runtut satu persatu. Sebelum pandemi, tepatnya pada tahun 2019 dan tahun-tahun sebelumnya, rasio utang pemerintah selalu berada di angka 30 persen ke bawah.
Angka rasio utang mengonfirmasi tentang perbandingan total outstanding utang milik pemerintah dengan jumlah PDB. Dalam kacamata fiskal, peningkatan rasio utang bukan sebuah kabar baik.
Pasalnya, melonjaknya rasio utang akan memperkecil fleksibilitas pemerintah dalam mengelola anggaran. Hal ini kemudian bisa berdampak pada berkurangnya kualitas belanja untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Celakanya, rasio utang terhadap PDB pemerintah setiap tahun terus melonjak. Ini diakibatkan oleh kinerja pendapatan negara yang tak pernah mampu menutup kebutuhan belanja pemerintah.
Kas negara terus mencatatkan defisit. Bahkan atas nama pandemi, ruang defisit sengaja disetel lebih dari 3 persen.
Bisnis telah mencatat perbandingan rasio utang pemerintah sebelum pandemi sampai posisi pandemi. Tahun 2017 atau 3 tahun sebelum pandemi, rasio utang pemerintah tercatat sebanyak 29,39 persen.
Namun saat pandemi, tahun 2020, rasio utang pemerintah melesat menjadi 39,35 persen. Sementara tahun ini jika melihat pergerakan PDB dan agresifitas penarikan utang, rasio utang bisa berada di kisaran 44 persen - 45 persen.
Di sisi lain, nasib rasio pajak justru kebalikannya. Setiap tahun penerimaan pajak dan rasio pajak tak pernah sesuai ekspektasi. Rasio pajak dengan basis penghitungan yang cukup luas yaitu dengan memasukan penerimaan pajak dan pendapatan non pajak, hanya di kisaran 11 persen.
Sedangkan OECD pada 2020 lalu, dalam kajian yang berjudul Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies, menyebutkan rasio pajak Indonesia berada di angka 11,9 persen (basis penghitungan tahun 2018). Angka ini terendah se-Asia Pasifik.
Rasio pajak Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan Tokelau dan Samoa, dua negeri kecil di Samudra Pasifik yang rasio pajaknya masing-masing sebesar 18,1 persen dan 25,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Capaian rasio pajak ini juga masih jauh dibandingkan dengan rata-rata negara Afrika yang di atas 17,2 persen, negara kawasan rata-rata LAC sebesar 23,1 persen atau rata-rata OECD yang nilainya 34,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka rasio pajak RI bisa semakin jeblok jika menghitungnya dari sisi penerimaan pajak non migas semata. Dalam simulasi yang dilakukan Bisnis, rasio pajak (Ditjen Pajak) dalam pengertian tersebut hanya berada di kisaran 8 persen. Sangat jauh dari ideal.
Apa Konsekuensinya?
Peningkatan rasio utang di tengah jebloknya rapor pemungutan pajak sangat berbahaya. Pasalnya, keseimbangan antara pendapatan negara dengan utang semakin tidak ideal.
Akibatnya, pemerintah bisa terus tekor. Gali lobang tutup lobang. Utang baru dibuat menambal atau membayar utang lama. Praktik ini terkonfirmasi dari angka keseimbangan primer yang terus mencatatkan defisit.
Praktik gali lobang tutup lobang ini sejatinya pernah dibenarkan oleh beberapa pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan. Istilah itu memang memiliki tendensi yang negatif.
Tetapi praktik itu mau tak mau terus dilakukan untuk menjaga supaya belanja optimal di tengah kinerja penerimaan pajak yang dalam sejarah tak pernah sesuai ekspektasi.
Meskipun ada konsekuensi besar yang harus ditanggung, pemenuhan belanja melalui utang akan membahayakan pengelolaan fiskal pada kemudian hari. Utang bisa semakin membumbung. Kualitas anggaran jeblok. Hal ini bisa menjadi bom waktu bagi pemerintah.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya bagi pemerintah untuk menyelamatkan kredibilitas pengelolaan fiskal adalah meningkatkan penerimaan pajak. Memang ini pekerjaan yang tidak mudah. Tetapi tidak mustahil untuk dicapai. Pasti bisalah.
Toh para pengambil kebijakan di bidang fiskal bukan orang sembarangan. Mereka rata-rata adalah tamatan sekolah mentereng di dalam dan di luar negeri. Punya banyak gelar dan penghargaan.
Rasanya sayang jika beragam titel tersebut tak mampu membawa rasio pajak Indonesia keluar dari zona paling bawah. Ya setidaknya jangan kalah sama Samoa dan negara-negara miskin di Afrika. Malu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Berada di Lokasi Terpencil, 9 Kelompok Masyarakat Ini Alami Isolasi Genetik
- JK Kembali Dilantik Jadi Ketua Umum PMI, Tegaskan Tidak Ada Dualisme Kepengurusan
- Update Kasus Perundungan Mahasiswi PPDS Undip Semarang, Polisi Belum Juga Tetapkan Tersangka
- Anggota DPR Dukung Usul Prabowo Tambah Jam Olahraga di Sekolah
- Diperiksa Sebagai Saksi terkait Kasus Judi Online, Budi Are:Berhenti Memfitnah dan Memframing
Advertisement
Puncak Dies Natalis Ke-69 Sanata Dharma: Menguatkan Komitmen Bersama Merawat Semesta
Advertisement
Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup
Advertisement
Berita Populer
- Kemenpar Bukukan Potensi Nilai Devisa Rp25,4 Triliun Sepanjang Pemasaran 2024
- Jasamarga Nusantara Tollroad Catat Peningkatan Signifikan Pengguna Tol Jelang Hari Raya Natal
- Gunung Kerinci Berpotensi Erupsi Mendadak
- ASDP Operasikan 24 Unit Kapal Penyeberangan Merak
- Kronologi Ojol Selamat dari Aksi Begal Bersajam
- KPK Periksa Sekda Kota Semarang Terkait Dugaan Korupsi
- MA Tolak Kasasi Sritex, Begini Respons Wamenaker
Advertisement
Advertisement