Advertisement

1,2 Juta Pekerja Kena PHK Gara-Gara Corona, Kemiskinan Akan Meningkat

Feni Freycinetia Fitriani
Kamis, 16 April 2020 - 21:27 WIB
Budi Cahyana
1,2 Juta Pekerja Kena PHK Gara-Gara Corona, Kemiskinan Akan Meningkat Foto ilustrasi. - JIBI/Bisnis Indonesia/Rahmatullah

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Sebanyak 1,2 juta pekerja, baik di sektor formal dan informal, mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak pandemi Corona (Covid-19) di Indonesia.

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan jumlah pekerja yang di PHK atau dirumahkan terus melonjak tajam setelah imbauan pertama kerja dari rumah (KDR) yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 16 Maret 2020.

Advertisement

Adapun, sektor yang paling rentan terdampak COVID-19 di Indonesia adalah sektor-sektor yang terlibat pada rantai pasokan global atau aktivitasnya memerlukan kehadiran atau interaksi fisik, seperti sektor pariwisata, transportasi, restoran, retail, dan manufaktur.

"Pemerintah perlu mencatat bahwa korban PHK tidak memiliki sumber pendapatan untuk waktu yang belum bisa ditentukan. Kelompok ini rentan masuk dalam garis kemiskinan atau kategori masyarakat miskin," katanya seperti dikutip dalam riset CSIS, Kamis (16/4/2020).

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per 7 April 2020, pekerja yang paling banyak di-PHK dan dirumahkan datang dari sektor formal, di mana sebanyak 1.010.579 pekerja dirumahkan dan PHK oleh total 39.977 perusahaan.

Sementara itu, sebanyak 189.452 pekerja sektor informal terpaksa dirumahkan oleh 34.453 perusahaan. Tidak adanya lapangan pekerjaan baru di tengah pandemi, lanjutnya, membuat masyarakat sangat ketergantunngan pada bantuan sosial dari pemerintah dan donasi.

Yose Rizal menilai kebutuhan bansos di tengan pandemi Covid-19 berskala besar lataran banyaknya jumlah pekerja informal dan korban PHK di Indonesia.

"Belum lagi jika ditambah rumah tangga yang sudah tergolong miskin dari sebelum pandemi. Besaran nominal dan jumlah bantuan sosial yang dibutuhkan pun semakin tinggi karena pendapatan mereka turun drastis," ungkapnya.

Dia menambahkan basis data bansos yang dimiliki Kementerian Sosial pada umumnya hanya mencakup 40% kelompok masyarakat miskin. Padahal, data pekerja informal, pekerja formal yang di-PHK, dan bisnis mikro yang memerlukan bantuan mungkin belum terekam.

Padahal, pemerintah membutuhkan data mereka sesuai nama dan alamat untuk mendistribusikan bansos. Dia menyarankan pemerintah berkolaborasi dengan lembaga atau pihak swasta, misalnya Gojek dan Grab untuk pekerjaan seperti sopir transportasi online, tukang pijat, dan penyedia jasa pembersihan rumah; WarungPintar untuk bisnis mikro; HARA untuk pekerja di sektor agrikultur; dan lain-lain.

Ketersediaan data NIK pekerja dari perusahaan yang kemudian dikombinasikan dengan BDT diharapkan dapat menambah cakupan penerima. Yose mengatakan pemerintah seharusnya memperluas pendataan secara mandiri. Paling tidak untuk sebulan pertama sebelum data yang lebih valid dapat tersedia.

"Selama proses pemetaan ini prinsipnya lebih baik menolong orang yang mampu, dari pada mengabaikan mereka yang butuh pertolongan. Penggunaan nomor HP untuk menyederhanakan proses juga bisa dilaksanakan," jelasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total penduduk. Jumlah tersebut berkurang 530.000 jiwa dibandingkan posisi September 2018 dan menyusut 805.000 jiwa dibandingkan posisi Maret 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Tanggapi Putusan MK, PSHK FH UII Minta Peraturan Netralitas ASN hingga Bansos Disempurnakan

Sleman
| Rabu, 24 April 2024, 20:57 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement