Advertisement
Riset INDEF: 68 Persen Netizen Minta Lockdown

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA - Sebanyak 68% netizen atau warganet meminta pemerintah menerapkan penutupan wilayah secara total (lockdown) untuk mencegah penularan wabah virus Corona (Covid-19). Hal tersebut merupakan hasil riset big data yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF).
Peneliti INDEF-Datalyst Center Imam Maulana mengatakan pengumpulan data mining pada media sosial, utamanya twitter, dan portal media online. Pengumpulan data secara umum dilakukan sejak Januari 2020, tetapi khusus untuk penangan Covid-19 dikumpulkan sejak 27 Februari 2020 hingga 22 Maret 2020.
Advertisement
Dari situ, dihasilkan 145.000 percakapan (tweets) dari 135.000 pengguna.
"Hasilnya, 68 persen isi Tweets setuju lockdown dan 32 persen setuju dengan rapid test. Tren data di media sosial mengindikasikan lebih banyak perbicangan mengenai lockdown dibandingkan rapid test," katanya dalam diskusi virtual via Zoom Meetings, Minggu (5/4/2020).
Menurutnya, alasan dari yang setuju lockdown, antara lain: untuk mencegah keluar masuk manusia yang potensial menularkan Covid-19, mempermudah tracing dalam satu kota yang lockdown. Alasan utama lockdown merupakan keselamatan, bukan ekonomi.
Harapan publik agar pemerintah memberlakukan lockdown karena sudah banyak tokoh yang memberikan saran demi keselamatan masyarakat dimana gerak manusia dibatasi lebih ketat.
"Publik paham bahwa pergerakan manusia secara bersama dan berkumpul di transportasi umum dipahami sebagai media penularan yang sangat efektif," jelasnya.
Menurutnya, opini lockdown relatif besar sangat lumrah karena banyak tokoh-tokoh masyarakat dan opinion makers banyak menganjurkan lockdown, bahkan Jusuf Kalla tegas sekali agar pemerintah menerapkan lockdown demi keselamatan masyarakat luas.
"Namun, pemerintah ragu-ragu menjalankannya sehingga publik juga terbelah secara politik, dengan argumen politis. Bukan dari kepentingan obyektif keselamatan manusia," ungkapnya.
Imam memaparkan intensitas percakapan tentang covid-19 memang cukup tinggi hanya dalam 2-3 minggu. Dari 145 ribu percakapan tersebut, mayoritas membicarakan lockdown (38 persen), di rumah saja (12 persen), koordinasi presiden dan menkes blepotan (9 persen), jangan panik (8 persen), dan seterusnya.
Jagad maya dipenuhi oleh isu kontroversi kebijakan pemerintah dimana sentimen positif dan negatif yang bercampur-aduk di lini masa. Apalagi, kejadian ini memang tidak pernah dihadapi oleh pemerintah, kecuali pandemi lebih kecil flu burung beberapa tahun silam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Akreditasi SPPG Perlu Dilakukan untuk Cegah Keracunan
- Modus Korupsi di BPR Bank Jepara Artha, Bermula dari Kredit Macet
- Ledakan di Gaza Selatan, 4 Tentara Israel Dilaporkan Tewas
- Dosen FH Unissula Diskorsing Karena Diduga Jadi Pelaku Kekerasan
- Perpres No.79 Tahun 2025, Tidak Hanya Soal Kenaikan Gaji
Advertisement

Damkarmat Bantul Tangani 140 Kejadian Kebakaran hingga September 2025
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- 20 Ribu Koperasi Merah Putih Akan Peroleh Modal, Rp3 Miliar
- DPR RI Klaim Kelangaan BBM Shell BP Hanya di Jabodetabek
- DPR RI Setujui Revisi RAPBN 2026, Belanja Negara Rp3.842,7 Trilun
- PDIP Hormati Keputusan Prabowo Ganti Kepala LKPP
- Bareskrim Gelar Mediasi Ridwan Kamil dan Lisa Mariana
- PMI Ilegal Dijadikan Operator Judi Online di Kamboja
- Ditunjuk Jadi Menpora, Erick Thohir: Kita Harus Lakukan Terobosan
Advertisement
Advertisement