Advertisement

PERILAKU DUNIA MAYA: Riuh Diksi, Miskin Esensi

Newswire
Senin, 18 Februari 2019 - 07:25 WIB
Laila Rochmatin
PERILAKU DUNIA MAYA: Riuh Diksi, Miskin Esensi CEO Bukalapak, Achmad Zaky, bertemu Jokowi. - Suara.com/Ummi Hadyah Saleh

Advertisement


Harianjogja.com, JAKARTA -- Minggu (17/2/2019), dua calon presiden yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto dijadwalkan kembali bertemu di panggung debat. Hal yang ditunggu adalah gagasan orisinal dari masing-masing calon presiden (capres) untuk membangun Indonesia selama lima tahun ke depan. Dalam debat kali ini, tema yang diusung menyoal energi, pangan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, serta infrastruktur.

Namun, hingga sehari menjelang debat, khalayak media sosial tidak banyak menyorot seperti apa program kerja yang ditawarkan oleh kedua calon pemimpin nasional itu.

Advertisement

Kesibukan ‘maha kuasa netizen’ yang paling baru justru memperdebatkan pernyataan CEO Bukalapak Achmad Zaky di akun Twitter-nya yang berbagi cerita mengenai informasi belanja riset dari setiap negara.

Sebagai bos salah satu unicorn di Tanah Air, sejatinya Zaky ingin menggugah kesadaran, termasuk para paslon capres-cawapres, terhadap rendahnya belanja riset dan pengembangan (research & development/R&D) di Tanah Air dibandingkan dengan sejumlah negara lain.

Hanya, netizen tidak menyoroti soal esensi belanja riset itu. Pengguna media sosial justru banyak ‘menyerang’ Zaky karena dalam salah satu bagian kalimatnya menyebut ‘presiden baru’. “Mudah-mudahan presiden baru bisa naikin.” Begitulah yang tertulis dalam akun Twitter Zaky.

Jika secara utuh mencerna, Zaky dalam akun pribadinya menyampaikan keprihatinan atas kecilnya belanja R&D Indonesia. Sebagai pemain di industri digital, sejatinya tulisan itu merupakan cerminan dari keinginan Zaky terhadap siapa pun pemimpin negara ke depan, agar bisa memperjuangkan kenaikkan belanja riset tersebut.

Akan tetapi, pernyataan itu lantas digiring ke arena politik. Diksi ‘presiden baru’ dengan cepat digoreng dan disangkut-pautkan dengan arah dukungan politik. Presiden baru diasosiasikan mendukung Prabowo, dan sebaliknya presiden lama sebagai bentuk dukungan ke Joko Widodo (Jokowi).

Entah siapa yang memulai, warganet kemudian mendorong para pengguna aplikasi Bukalapak untuk menghapus (uninstall) aplikasi itu di telepon genggam masing-masing. Mereka menyematkan tagar #UninstallBukalapak sebagai bentuk respons negatif terhadap pernyataan Zaky.

Tagar itu menjadi salah satu yang terpopuler di Twitter Indonesia. Tagar tandingan yaitu #DukungBukalapak pun muncul, disusul kemudian dengan #UninstallJokowi.

Sadar bahwa cuitannya mengundang kontroversi, Zaky menghapus cuitan itu dan meminta maaf. “Saya, Achmad Zaky selaku pribadi dan sebagai salah satu pendiri Bukalapak, dengan ini menyatakan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas pernyataan yang saya sampaikan di media sosial. Saya sangat menyesali kekhilafan tindakan saya yang tidak bijaksana tersebut, dan kiranya mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.”

Terbiasa Heboh
Pada dasarnya, siapapun yang terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April, dan dilantik pada Oktober 2019, akan dihadapkan pada kenyataan tentang terbentuknya pemerintahan yang baru, menteri baru, anggota DPR, DPRD, dan DPD yang tentu juga muncul wajah baru.

Belakangan, memang yang sering muncul dan menjadi pergunjingan di dunia maya adalah perang diksi tanpa esensi. Lihat saja, Jokowi momong cucu ramai. Prabowo mau salat Jumat, heboh.

Padahal, jika berkaca dari kicauan Achmad Zaky, terlepas datanya benar atau salah, mestinya semua pemangku kepentingan di republik ini perlu menaruh perhatian pada urusan riset, dan pengembangan sebagai urat nadi membangun perekonomian nasional.

Jika mengutip data World Economic Forum (WEF) 2018, nilai belanja R&D terbesar adalah Amerika Serikat(US$476,5 miliar), disusul oleh Tiongkok (US$370,6 miliar), Jepang (US$170,5 miliar), Jerman (US$109,8 miliar), dan Korea Selatan (US$73,2 miliar).

Indonesia, nilai belanja R&D hanya sebesar US$2,1 miliar, masih di bawah Singapura (US$10,1 miliar), Malaysia (US$9,7 miliar), dan Thailand (US$5,2 miliar) di level Asia Tenggara.

Jika dilihat dari persentase belanja R&D terhadap PDB, negara yang mengalokasikan anggaran terbesar adalah Korea Selatan (4,3% terhadap GDP), Israel (4,2%), Jepang (3,4%), Swiss (3,2%), dan Finlandia (3,2%).
Indonesia, berdasarkan dari data WEF itu masih tercatat 0,1% dari GDP, sedangkan Singapura tercatat 2,2% dari GDP, Malaysia (1,3% dari GDP), dan Thailand (0,5% dari GDP).

Di sisi lain, indeks inovasi Indonesia pada tahun lalu masih di peringkat 85, kalah dari sesama negara ASEAN lain Filipina (73), Brunei Darussalam (67), Thailand (45), Malaysia (35), dan Singapura (5). Indeks itu dibuat oleh World Intelectual Property Organization (WIPO), dan INSEAD dengan salah satu parameternya adalah belanja R&D.

Capres, cawapres, dan tim pemenangan, pastinya tidak bisa menutup mata dengan data itu. Upaya menambah porsi dana riset, tentu saja harus tetap di kedepankan dengan harapan negara ini kian sejajar dengan negara-negara lain.
Kemudian, negara ini akan dikenal sebagai bangsa dengan terobosan teknologi, produk, atau apapun yang berbasis riset kualitas tinggi. Bukan sekadar negara yang jago bikin trending topic karena urusan cebong dan kampret.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Muncul Wacana Pilihan Lurah di Gunungkidul Tahun Depan Digelar Dua Kali

Gunungkidul
| Jum'at, 26 April 2024, 13:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement