Advertisement
Pembayaran Nontunai Picu Pemborosan

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Tren pembayaran nontunai alias uang elektronik makin meningkat. Konsumen dan pedagang menyebut sistem pembayaran ini memudahkan dan menggiurkan dengan banyaknya promo yang ditawarkan. Di sisi lain sistem yang memudahkan ini justru memicu sebagian orang menjadi lebih boros. Berikut ini ulasan wartawan Harianjogja.com, Salsabila Annisa Azmi dan Lajeng Padmaratri.
Garini Purwara Santi, 23, mengaku keranjingan menggunakan sistem belanja nontunai sejak setahun terakhir. Selain kartu debet, Garin juga menggunakan uang elektronik berbasis aplikasi transportasi, Gopay untuk memfasilitasi hobinya berbelanja makanan ringan.
Advertisement
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM) ini juga memiliki kebiasaan mencatat pengeluaran setiap akhir bulan. Terpantau sejak satu tahun terakhir saat dia mulai menggunakan Gopay, pengeluarannya naik sebesar 50%. "Jelas lebih boros sih, soalnya kalau pakai Gopay atau debet enggak terasa seperti mengeluarkan uang, jadi besoknya mau ngeluarin duit lagi sudah enggak ingat hari ini sudah ngeluarin duit," kata Garini.
Jika dengan transaksi tunai, Garini biasanya menghabiskan Rp200.000 dalam waktu tiga hari. Transaksi nontunai seperti Gopay membuatnya menghabiskan sekitar Rp300.000 selama tiga hari hanya untuk belanja makanan ringan. Macam-macam diskon dan promo yang hinggap di gerai-gerai kesayangan Garini semakin membuat pengeluarannya tak terkontrol.
Entah mengapa, Garini selalu tak sanggup jika mengabaikan diskon dan promo itu. Misalnya seperti promo cash back beberapa persen. Dia tidak yakin promo itu akan datang di lain hari. Sehingga dengan impulsif dia langsung membeli produk yang sedang promo atau diskon.
"Intinya jadi beli barang yang sebenarnya di hari-hari biasa aku enggak bakal beli. Misalnya beli Shihlin [gerai ayam goreng] kan [harganya] Rp40.000, terus promo cash back 20 persen. Sisa uang dari cash back ya buat transaksi pakai Gopay lagi," kata Garin belum lama ini.
Banyaknya diskon dari penggunaan uang elektronik juga menjadi daya tarik bagi Hercya Kirana Maharani, 21. Mahasiswi Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jogja ini bahkan punya beberapa uang elektronik. Bukan hanya kartu debet dari beragam bank, ia juga memiliki e-wallet T-Cash serta Doku. Tak hanya itu, ia juga punya dompet virtual dari dua layanan ride-sharing terbesar di Indonesia, yaitu Ovo dan Gopay.
"Zaman semakin modern, uang nontunai bikin hidup makin mudah. Misalnya kalau pakai uang tunai terus beli ke toko, keluarin uangnya, terus kalau enggak pas harus nunggu kembalian, kalau kembaliannya enggak ada? Endingnya kalau enggak disuruh beli barang lagi, dikasih permen, atau recehnya didonasiin. [Kalau pakai nontunai] tinggal gesek atau tap aja, uangmu terpotong sesuai apa yang kamu beli," ujarnya.
Rara juga mengaku lebih bisa mengontrol pengeluarannya jika menggunakan metode pembayaran elektronik. "Soalnya langsung bisa muncul saldonya di HP realtime tanpa harus ngitung di dompet kita sisa uangnya berapa. Aku aja paling sehari pegang uang cash enggak pernah di atas Rp100.000. Soalnya aku lebih enggak tahan pakai cash," ungkap mahasiswa yang sedang mengembangkan bisnis travel ini.
Dorongan belanja dengan uang elektronik pernah muncul dalam hasil survei dailysocial.id tahun lalu. Dalam survei yang melibatkan 912 responden dari rentang usia 16-45 tahun ada sekitar 3,4% yang rata-rata menghabiskan uang Rp1 juta per bulan menggunakan transaksi nontunai. Persentase terbesar yaitu 39,69% antara Rp100.000-Rp249.999.
Pedagang Senang
Dari sisi pedagang, keberadaan pembayaran nontunai juga dirasa menguntungkan secara pencatatan. Pinpin Maryanto, 40, pengusaha bubbletea dengan merk dagang Chachamilktea juga menyebutkan sangat terbantu dengan adanya e-payment. "Yang pertama karena enggak susah ngasih kembalian, kemudian secara pencatatan juga lebih mudah," ujarnya ketika ditemui oleh Harian Jogja pada Jumat (7/12) di gerai Chachamilktea Jalan Lempong Sari No.7, Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.
Usaha yang ia dirikan sejak Maret 2012 ini kini sudah memiliki 15 cabang dengan tujuh cabang di Jogja yang membidik segmen pelajar dan mahasiswa. Pinpin menuturkan mulanya ia melirik metode pembayaran elektronik sejak Agustus 2017. Saat itu, Gopay dari Gojek mulai masuk ke Jogja dan ia melihatnya sebagai peluang yang baik. Kini, sekitar 28-30% transaksi yang dilakukan di Chachamilktea bersumber dari pembayaran nontunai, yaitu Gopay, OVO, dan T-Cash.
Hal itu membuatnya menjadikan metode pembayaran nontunai menjadi perhatiannya saat mendirikan lini bisnisnya yang lain, yaitu Chatucha. Bisnis minuman ala Thailand ini ia fokuskan untuk nontunai sejak awal. Sejak November 2017, minuman yang diminati mahasiswa dan pelajar ini telah bekerja sama dengan penyedia dompet virtual dan menggunakan metode pembayaran nontunai dari Gopay, OVO dan T-Cash. "[Transaksi di Chatuca] sudah 30 persen nontunai dan 70 persen cash. Saya rasa ini angka yang tinggi dan bisa memperlihatkan kalau gerakan nontunai semakin jadi tren ke depannya," tuturnya.
Perlu Dididik
Pakar Ekonomi Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan adanya transaksi nontunai memang mendukung pertumbuhan sektor ekonomi di suatu daerah. Transaksi nontunai sekarang sudah sangat berkembang dan hal itu merupakan bentuk inovasi financial technology (fintech) alias teknologi finansial yang tak bisa dihalangi.
"Hanya saja transksi nontunai harus diatur. Masyarakat perlu dididik agar bisa mengendalikan konsumsinya sesuai kebutuhan dan sesuai kemampuan," kata Edy kepada Harian Jogja belum lama ini.
Edy mengatakan pengeluaran belanja nontunai akan menjadi impulsif apabila penggunanya masih remaja atau labil. Terlebih jika menggunakan fasilitas transaksi non tunai yang dibiayai oleh pihak lain. Edy mengatakan hal ini justru akan berbahaya dan menjatuhkan ekonomi orang itu.
Oleh karena itu, menurut Edy, penggunaaan transaksi nontunai seperti dua mata pisau. Dimana di satu sisi mendukung pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain juga bisa membahayakan perekonomian individu apabila tidak diatur porsi penggunaannya.
"Edukasi pada masyarakat, khususnya yang masih labil seperti remaja atau anak muda, perlu dilakukan. Karena mereka mudah distimulus promo dan diskon, edukasi penting agar mereka tidak memaksakan diri jadi konsumtif," kata Edy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Lajeng Padmaratri
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Debat Capres-Cawapres Pemilu 2024, Ini Format Lengkapnya
- Kasus Covid-19 Melonjak di Beberapa Negara, Kementerian Kesehatan: Akibat Varian Baru
- Google Doodle Menampilkan Kapal Pinisi Indonesia, Ini Asal Sejarahnya
- Jumlah Perokok Anak di Indonesia Makin Banyak, IDAI Sebut Akibat Tuyul Nikotin
- Empat Anak Tewas di Jagakarsa, Polisi Temukan Pesan Bertuliskan "Puas Bunda, tx for All" di TKP
Advertisement

Kormi Sleman Lestarikan Kreasi Budaya lewat Lomba Pacuan Kuda Kepang
Advertisement

Cari Tempat Seru untuk Berkemah? Ini Rekomendasi Spot Camping di Gunungkidul
Advertisement
Berita Populer
- Merapi Luncurkan Guguran Awan Panas, Boyolali Hujan Abu
- Dugaan Pelanggaran Etik Firli Bahuri Segera Disidangkan Dewas KPK
- Presiden Dapat Laporan Ada Jaringan TPPO dalam Arus Pengungsi Rohingya
- BPOM Temukan 181 Kosmetik Berbahaya, Pengguna Bisa Alami Iritasi hingga Kesehatan Janin pada Ibu Hamil
- 181 Jenis Kosmetik Terlarang Ditemukan BPOM
- Mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Diduga Terima Gratifikasi Rp18 Miliar
- AS Veto Resolusi DK PBB Terkait Tuntutan Gencatan Senjata di Gaza dapat Kecaman Dunia
Advertisement
Advertisement