Advertisement

LONG-FORM: Kampung Kejam Mencoba Ramah Anak

I Ketut Sawitra Mustika
Senin, 04 Juni 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
LONG-FORM: Kampung Kejam Mencoba Ramah Anak

Advertisement

RW 04 Kelurahan Bener, Tegalrejo, Kota Jogja, dikenal sebagai permukiman yang kejam bagi anak-anak. Mereka ditelantarkan dan dipekerjakan. Pengurus kampung kemudian berusaha mengembalikan hak-hak mereka sebagai anak, meski terlihat musykil.

Setiap gelap tiba, entah ditemani cahaya purnama atau gerimis yang jatuh perlahan, di Perempatan Jetis, seorang bocah laki-laki selalu setia menunggu uluran tangan manusia yang mengasihaninya. Ketika lampu lalu lintas berubah jadi merah, ia mulai bergerak menari, hanya bergerak maju mundur sembari mengayun-ngayunkan jari jemari yang dilentikkan sebisa mungkin.

Advertisement

Setelah melakukan gerakan yang tidak bisa dikatakan indah itu, si bocah akan berusaha berjalan dengan tangannya. Dan tak pernah berhasil. Satu dua langkah saja, keseimbangannya sudah goyah. Cara jatuhnya tangkas. Tak pernah pantatnya menyentuh aspal. Setelah beberapa kali percobaan yang gagal, ia kembali berusaha menari.

Baru kemudian si bocah mendekati dan menengadahkan tangan kepada para pengguna jalan. Kadang ada yang memberi receh, kadang juga tidak. Anak ini disebut-sebut merupakan salah satu produk RW 04 Kelurahan Bener. RW 04, khususnya RT 13 dan 14, terkenal sebagai penghasil anak jalanan di Kota Jogja.

RT 13 dan RT 14 adalah permukiman padat menjurus kumuh, yang terletak di pinggir Kali Winongo. Berbeda dengan tetangganya, kedua RT ini punya gang-gang sempit yang dihimpit rumah-rumah beratap rendah, kecil dan bahkan ada yang semi permanen. Beberapa hunian punya tingkat kesumpekan di atas rata-rata. Hasil kombinasi barang dengan penghuni yang melimpah dan luas rumah yang tak seberapa.

Sekretaris Kampung Ramah Anak RW 04, Wahyu Hasanah menuturkan, bahkan ada satu rumah dihuni dua sampai tiga keluarga. Mereka adalah para pendatang yang terdesak di kampung halaman dan ingin mencari penghidupan lebih baik di kota besar, tetapi tak berbekal banyak keterampilan.

“Jadi enggak seimbang antara gede rumah dan penghuninya. Akhirnya marak kekerasan seksual, kekerasan pada anak, KDRT [kekerasan dalam rumah tangga] dan penelantaran,” ujar Wahyu, Minggu (3/6).

Dari data yang dimiliki Wahyu, pada 2015 di RW 04 terjadi 18 kasus, yang terdiri dari KDRT, pelecehan seksual pada anak dan penelantaran anak. Kemudian pada 2016 berkurang jadi 14 kasus. Pada 2017 lalu, kasus yang ditemukan tinggal dua.

Hingga kini ada tujuh anak yang ditinggal begitu saja oleh orang tuanya. Ada yang terpaksa tidur di pinggir kali. Ada juga yang tinggal sendiri. Ada juga yang tinggal bersama warga yang bersedia menampung mereka. Tak punya banyak pilihan, sebagian hidup di jalanan.

Anak-anak di kedua RT itu, tentu saja tidak semua, dilatih sejak dini untuk jadi peminta-minta. Dua tempat favorit mereka untuk mengais rezeki adalah simpang empat Jetis dan Simpang Tiga Borobudur Plaza.

Wahyu menjelaskan, periode antara 2012 dan 2014 merupakan tahun terbanyak anak-anak dari kedua RT itu turun ke jalan. Setelah beberapa pendekatan, pada 2016 jumlahnya menyusut drastis. Sekarang tinggal tersisa empat orang yang saban hari turun ke jalan. Sementara 15 anak lainnya, jadi anak jalanan musiman.

Kemiskinan

Sebanyak 15 anak ini biasanya berburu rezeki ketika Lebaran, saat-saat orang-orang berzakat dan rajin bersedekah. Jika saat hendak Salat Idulfitri di Alun-Alun Utara dan bertemu anak-anak yang mengacung-acungkan gelas kosong, besar kemungkinan mereka berasal dari Kelurahan Bener. Sebanyak 11 anak bahkan sudah mulai beroperasi mulai pertengahan Bulan Puasa.

“Saya sebenarnya malu karena daerah ini disebut sebagai penyetor utama perempatan. Kami sudah melakukan berbagai cara. Program bantuan dari pemerintah semua sudah diberikan, tapi tetap saja masih ada yang turun ke jalan, karena memang dasarnya sudah kayak gitu. Susah,” jelas Wahyu.

Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Perlindungan Anak Kota Jogja Octo Noor Arafat mengatakan, memang ada faktor kemiskinan dan kemudahan mendapatkan uang yang terus mendorong orang tua merampas haknya.

Namun, akar utama masalah ini, sambungnya, adalah ketidakmampuan orang tua untuk memahami dan memenuhi hak anak, utamanya dalam memberikan pengasuhan di lingkup keluarga. Anak-anak yang hidup di jalanan, besar kemungkinan tak punya banyak waktu untuk belajar, berkebudayan maupun liburan.

Wahyu melanjutkan, di RT 13 dan RT 14, hak anak-anak begitu dipreteli. Karena sudah terkenal jadi daerah yang kejam terhadap anak-anak, bahkan ada yang sampai diperkosa oleh ayah tirinya, Pemkot Jogja kemudian menunjuk RW 04 jadi Kampung Ramah Anak. Harapannya, akan semakin sedikit anak yang turun ke jalan, kekerasan kepada anak berkurang dan tak ada lagi anak yang ditelantarkan.

Setelah dideklarasikan pada 2016 lalu, Kampung Ramah Anak RW 04 punya berbagai program dan fasilitas untuk memenuhi dan mengembangkan bakat anak-anak di sana. Ada ruang terbuka hijau (RTH) untuk bermain, ada sanggar seni, ada jam belajar masyarakat (JBM), larangan merokok di ruang publik yang biasa disambangi anak-anak dan angkringan literasi.

“Kami juga akan membuat tempat bermain. Proposal bantuan sudah diterima. Dalam beberapa bulan dananya akan segera turun,” jelas Wahyu.

Angkringan Literasi

Pamor RW 04 sebagai daerah penghasil anak jalanan bahkan sampai menggerakkan Arizka Setya Windhiarti, mahasiswi Jurusan Pendikan Teknik Sipil dan Perencanaan UNY dan teman-temannya untuk membuat program bernama Angkringan Literasi.

Angkringan Literasi mulai eksis sejak akhir April 2018. Ide awalnya adalah mengubah tabiat anak jalanan dengan jalan literasi. Gagasannya adalah memperbaiki karakter si anak terlebih dahulu, supaya lebih sopan dan halus dalam bertingkah laku. Menarik mereka dari dunia meminta-minta tentu perlu langkah lain lagi.

Kegiatan Angkringan Literasi biasa diselenggarakan saban Sabtu dan Minggu. Beberapa buku akan ditaruh di gerobak khas angkringan. Setiap anak yang bisa menyelesaikan satu buku akan diberi makanan. Bukunya tipis-tipis saja dan banyak gambarnya, karena itu bisa diselesaikan dengan cepat. Makanan yang disediakan, biasanya adalah jajanan pasar, dan diusahakan bukan produk olahan.

Selain diajak membaca, anak-anak di RW 04 juga diajak untuk melakukan permainan sederhana, biar enggak kaku.

Wahyu memandang positif keberadaaan Angkringan Literasi ini, sebab anak-anak di sana punya gaya bahasa yang cenderung kasar dan tidak sopan. Ia berharap dengan semakin banyak membaca, anak-anak punya tata bahasa dan perilaku lebih baik.

Namun, tujuan awal berdirinya Angkringan Literasi ini masih jauh dari yang direncanakan. Anak-anak jalanan aktif maupun musiman hanya sempat datang pada awal-awal saja. Selebihnya tak tampak lagi. Mereka yang rajin datang malah anak-anak yang tak pernah ke jalanan.

Arizka kemudian tahu, di antara anak-anak yang biasa dan jalanan ada sekat yang sulit dirobohkan. Mereka tak mau saling berbaur. Anak-anak yang hidup di keluarga normal cenderung merundung dan merendahkan anak jalanan.

“Memang perlu disentuh kedua-duanya. Tidak bisa yang anak jalanan saja,” katanya. Arizka juga mulai paham, anak jalanan agak tidak tertarik dengan kegiatan membaca, yang terlihat tidak menggairahkan. “Nanti akan kami ubah pendekatannya, mereka soalnya suka yang gerak-gerak dan nyanyi,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pegagan Berpotensi Memperbaiki Daya Ingat, Guru Besar UGM: Meningkatkan Dopamin

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 13:27 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement