Advertisement
AS Siapkan Sanksi Baru untuk Negara yang Berdagang dengan Rusia
Donald Trump / Antara
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Partai Republik menyiapkan rancangan undang-undang berisi sanksi keras bagi negara mana pun yang tetap berbisnis dengan Rusia, memicu potensi tensi global baru.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Minggu (16/11/2025) waktu setempat. Pengumuman ini menandai eskalasi signifikan dalam upaya AS untuk menekan Kremlin di tengah konflik yang berlarut-larut di Ukraina.
Advertisement
Trump memberikan persetujuan penuh terhadap inisiatif partainya tersebut. "Saya dengar mereka sedang melakukannya, dan itu tidak masalah bagi saya," ujar Trump, dilansir Newsweek, Selasa (18/11/2025).
Langkah ini diambil setelah upaya Trump yang memposisikan dirinya sebagai "pembuat perdamaian" dalam konflik Ukraina-Rusia tidak membuahkan hasil, dan Presiden Rusia Vladimir Putin justru meningkatkan serangan.
BACA JUGA
Trump menekankan bahwa undang-undang yang sedang dipersiapkan ini akan memiliki cakupan yang sangat luas.
"Mereka sedang mengesahkan undang-undang, Partai Republik sedang mengajukan undang-undang yang sangat keras, memberi sanksi dan lain-lain pada negara mana pun yang berbisnis dengan Rusia," tegasnya. "Negara manapun yang berbisnis dengan Rusia akan dikenakan sanksi yang sangat berat."
Sanksi baru ini diperkirakan akan menimbulkan dampak luas, bahkan mencakup beberapa sekutu AS sendiri. Data menunjukkan bahwa pelanggan energi utama Rusia adalah China (pembeli batu bara dan minyak mentah dominan), Turki (pembeli produk minyak utama), dan Uni Eropa (pembeli gas alam cair/LNG terbesar). Selain itu, sekutu AS di Asia seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan juga tercatat membeli sejumlah kecil energi Rusia.
Selain energi, negara-negara seperti India, Iran, China, Vietnam, dan Mesir juga diketahui membeli senjata dari Rusia, yang membuat mereka berpotensi menjadi target sanksi AS. Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, sebelumnya pada Oktober telah bereaksi terhadap sanksi AS dengan menegaskan bahwa AS adalah musuh Rusia.
Sementara itu, China, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun, selalu menekankan bahwa penyelesaian krisis Ukraina hanya dapat dicapai melalui "dialog dan negosiasi, bukan paksaan dan tekanan." Kebijakan baru Partai Republik ini berpotensi memicu ketegangan diplomatik baru dengan sekutu AS dan mitra dagang utama Rusia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Dari Sabang-Merauke, 32.373 Bikers Jalin Persaudaraan di HBD 2025
- Lapak Kumuh di Parangtritis Ditertibkan Satpol PP Bantul
- Pengabdian UPN Rintis Agro-Geohidro Park, Hadirkan Kebun Durian
- PLN Hadirkan Promo Power Hero Diskon Tambah Daya 50 Persen
- Borobudur Marathon Naik Kelas, Jawa Tengah Bidik Ikon Marathon Dunia
- Viral Perampokan Jombor Dibongkar, Remaja Akui Berbohong
- BBM Stabil: Ini Daftar Harga Pertamina, Shell, bp, dan Vivo
Advertisement
Advertisement





