Advertisement
Jokowi Pidato soal Lingkungan di Konferensi Perubahan Iklim, Walhi Beberkan Fakta di Tanah Air

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Pidato Presiden Joko Widodo di konferensi perubahan iklim dikirik Walhi.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan tidak ada hal yang baru dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berpidato di KTT COP26. Menurut Walhi, pernyataan Jokowi di KTT COP 26 sering disampaikan di berbagai forum.
Advertisement
"Kami tak mendapatkan suatu yang baru dari pidato itu. Karena itu seringkali Pak Jokowi menyampaikan di berbagai forum," ujar Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (2/11/2021).
Bahkan kata Yuyun, pesan yang disampaikan Jokowi sama yakni mendorong tanggung jawab dari negara-negara maju dalam hal pendanaan.
BACA JUGA: Otoritas Bandara YIA Belum Terapkan Syarat Antigen untuk Penerbangan Jawa-Bali, Ini Alasannya
"Di forum G20 message-nya sama. Jadi menyampaikan capaian yang sudah dilakukan, terus kemudian mendorong tanggung jawab dari negara maju dari konteks pendanaan. Dan tentu saja ini adalah posisi yang sama di negara-negara berkembang dan yang terakhir adalah jualan utang," ucap dia.
Tak hanya itu, yang menjadi fokus Walhi pada pidato Jokowi yakni dalam kontes transisi menuju energi baru terbarukan dari energi fosil. Jokowi kata Yuyun tak menjelaskan kapan Indonesia akan beralih ke energi baru terbarukan.
"Tidak dijelaskan kapan Indonesia akan meninggalkan energi kotor terutama batubara dan mempenisunkan PLTU-PLTUnya. Karena kalau kita lihat didokumen-dokumen RUPTL PLN yang diklaim sebagai RUPTL hijau, sampai 2030 masih akan dibangun sektiar 13,8 GigaWatt sumber energi yang berasal dari Batubara," tutur Yuyun.
Dalam konteks menuju transisi energi baru terbarukan, Yuyun mengatakan Jokowi tak menjelaskan secara detil bagaimana tahapan-tahapan transisinya.
"Disebut sebagai ekosistem mobil listrik, tapi perlu kita tahu bahwa peralihan dari energi kotor ke energi terbarukan atau climate ghost metal. Ini juga salah satu hal yang akan menyebabkan kerusakan lignkungan yang parah tetrutama di negara-negara yang mempunyai cadangan penting bagi pengembangan industri berbasis baterai ini," kata dia.
Ia pun menyebut Sulawesi, Papua akan menjadi ladang penghancuran lingkungan baru melalui tambang tambang nikel. Karena itu kata Yuyun, transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan harus dimulai dari transisi awal yakni transisi materialnya.
"Itu akan menjadi ladang-ladanh penghancuran lingkungan baru melalui tambang-tambang nikel, jika kemudian kita tak hati-hati dan menerapkan konsep transisi yang betul. Bagi kami di Walhi, transisi yang adil dari fosil menuju energi terbarukan harus dimulai dari awal yaitu, transisi dari materialnya. Karena apa kalau tak begitu dia aakan meyebakan kerusakan baru," tutur Yuyun.
Tak hanya itu, Yuyun menyebut bahwa dalam pidato di KTT COP 26, Jokowi tak membahas soal pendekatan pengakuan hak atas korban perubahan iklim. Pasalnya kata Yuyun, korban perubahan iklim sudah ada. Sehingga kata dia siapa yang harus bertanggung jawab membayar kerugian para korban perubahan iklim.
"Korban atas perubahan iklim sudah ada. Bahwa krisis iklim sudah terjadi, korban sudah ada, bagaimana mengakui hak korban ini? siapa yang membayar kerugian yang tidak bisa dipulihkan dan kerusakan yang tak bisa dipulihkan akibat krisis ini? Tentu saja adalah pada poluters itu", kata Yuyun.
"Jadi kalau Jokowi tak punya stand (Posisi) kuat terhadap hal ini, saya kira dia tak melihat realitas di dalam negeri bahwa krisis iklim sudah terjadi," sambungnya.
Lebih lanjut, Yuyun menyebut bahwa saat ini Dewan PBB pun sudah mengakui bahwa hak atas lingkungan hidup yang aman. Yakni aman dari bencana akibat krisis iklim, bersih, sehat, dan berkelanjutan itu adalah hak asasi manusia.
"Kita sudah mencantumkan itu dalam konstitusi dan legislasi kita. Tapi tak pernah itu jadi dasar dalam pelaksanaan kebijakan maupun rencana pembangunan kita yang rendah karbon itu," kata Yuyun.
Jokowi sebelumnya mengatakan perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Hal ini dikatakan Jokowi saat berbicara pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021).
"Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global juga merupakan kunci," ujar Jokowi.
Jokowi menyebut bahwa dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus memberikan konstribusinya dalam penanganan perubahan iklim. Bahkan kata Jokowi, Kebakaran hutan di Indonesia turun 82 persen di tahun lalu.
"Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020," tuturnya.
Tak hanya itu, Indonesia kata Jokowi juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, terluas di dunia. Jokowi juga mengatakan Indonesi telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.
"Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030," imbuhnya.
Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara.
Selain itu, kata Jokowi, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
"Tetapi, hal itu tidak cukup. Kami, terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi dihijaukan serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju," jelas Jokowi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memastikan bahwa Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif seperti pembiyaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau.
Menurut Jokowi, penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju, merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.
"Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?" tegasnya.
Selain itu, Kepala Negara melanjutkan, carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan dan berintegritas, inklusif dan adil harus diciptakan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Suara.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Ulang Tahun ke-90, Dalai Lama Ingin Hidup hingga 130 Tahun
- Kementerian HAM Menjadi Penjamin Pelaku Persekusi Retret, DPR Bertanya Alasannya
- Kementerian Sosial Pastikan Pembangunan 100 Sekolah Rakyat Dimulai September 2025
- KPK akan Pelajari Dokumen Terkait Kunjungan Istri Menteri UMKM ke Eropa
- Donald Trump Ingin Gelar UFC di Gedung Putih
Advertisement

Jadwal KRL Solo Jogja Hari Ini, Senin (7/7/2025), Naik dari Stasiun Palur, Jebres, Purwosari dan Solo Balapan
Advertisement

Jalur Hiking Merapi di Argobelah Klaten Kian Beragam dengan Panorama Menarik
Advertisement
Berita Populer
- Nurmala Kartini Sjahrir, Adik Luhut yang Diunggulkan jadi Dubes Indonesia di Jepang, Berikut Profilnya
- Sekolah Rakyat Dibangun Mulai September 2025, Dilengkapi Dapur dan Asrama
- 29 Penumpang Belum Ditemukan, Manajemen KMP Tunu Pratama Jaya Minta Maaf
- DPR RI Bentuk Tim Supervisi Penulisan Ulang Sejarah
- Kemensos: Anak Jalanan Jadi Target Utama Ikuti Sekolah Rakyat
- Banjir di DKI Jakarta Rendam 51 RT
- Kementerian PKP Siapkan Rp43,6 Trilun untuk Merenovasi 2 Juta Rumah Tak Layak Huni
Advertisement
Advertisement