Advertisement
Studi: Pandemi Covid-19 Sangat Mengganggu Kesehatan Mental Masyarakat

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Sejak pandemi Covid-19, sebagian orang merasakan kecemasan. Pada Maret 2020, tercatat bahwa ada 3,4 juta orang melakukan pencarian di mesin pencari dengan kalimat “apakah saya mengalami serangan panik?”.
Dampak pandemi Covid-19 terhadap kesehatan mental tidak lagi diperdebatkan. Masyarakat memiliki rasa ketakutan yang tinggi terhadap penyakit, ketidakpastian, kesepian, perintah untuk tetap berada di dalam rumah, pengangguran, penutupan sekolah, dan lain sebagainya.
Advertisement
Satu tahun lebih telah berlalu, permasalahan Kesehatan mental masih terus berlanjut dan diperkirakan akan tetap ada bahkan setelah normalitas kembali. Hal itu dibenarkan oleh Ximena Goldberg, psikolog klinis dan peneliti di Barcelona Institute for Health.
“Bahkan jika kekebalan tercapai dan kita semua telah divaksinasi, masalah Kesehatan mental yang paling parah akan tetap ada. Mereka tidak akan hilang begitu saja, ada periode latensi yang diperlukan,” kata Ximena Goldberg melansir dari equaltimes.org, (13/7/2021).
Goldberg memperingatkan bahwa masalah Kesehatan mental diperkirakan akan meningkat selama tahun ini dan tahun depan terutama berlaku bagi orang tua, wanita, pengangguran, remaja, pasien dengan sakit kronis, pasien dengan Kesehatan mental yang dimiliki sebelumnya, dan mereka yang selama perawatannya terganggu saat pandemi.
Masih melansir equaltimes, antara 40 hingga 50 persen pasien yang berkonsultasi di pusat perawatan primes yang merupakan garis terdepan Kesehatan mental menemukan pasien mayoritas didiagnosis mengalami depresi, kecemasan atau gangguan somatisasi.
Untuk meminimalkan stigma seputar kesehatan mental, membuat janji dengan psikolog di pusat Kesehatan harus mudah. Koordinator kelompok kerja Kesehatan Mental di Spansih Society of Primary Care Doctors, Vicente Gasull mengatakan bahwa Kesehatan mental masih dianggap hal yang tabu dan merasa harus disembunyikan,
“Penyakit mental masih tabu, banyak yang takut mengakuinya, Sampai saat ini dianggap sebagai tanda kelemahan, kegagalan karakter, terutama dikalangan laki-laki. Mereka cenderung menyembunyikannya dan menjadi kronis,” kata Vicente Gasull.
Menghilangkan kata tabu ini merupakan salah satu cara untuk mencegah masalah di masa depan. Masyarakat harus memahami bahwa pengobatan untuk Kesehatan mental adalah sebuah hak.
Di beberapa negara memiliki pendekatan yang lebih maju terhadap permasalahan kesehatan mental. Dalam masa pandemi standarisasi kerja jarak jauh harus memastikan bahwa pekerja tetap dilindungi, merancang dan menciptakan ruang untuk saling membantu di antara anggota masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Penerima Bansos Terlibat Judol, Wakil Ketua MPR: Layak Diganti
- Top Ten News Harianjogja.com, Sabtu 12 Juli 2025: Dari Tom Lembong Sampai Harganas
- Pangkas Birokrasi Federal, Donald Trump Pecat 1.300 Pegawai Departemen Luar Negeri
- Jumlah Penduduk Indonesia Capai 286,69 Juta Jiwa per Juni 2025, Terbanyak Laki-Laki
- Kasus Chromebook, Kejaksaan Agung Menggeledah Kantor GoTo dan Menyita Ratusan Dokumen
Advertisement

Jalan Trisik Penghubung Jembatan Pandansimo di Kulonprogo Rusak Berat Akibat Truk Tambang
Advertisement
Tren Baru Libur Sekolah ke Jogja Mengarah ke Quality Tourism
Advertisement
Berita Populer
- BGN Minta Anggaran Makan Bergizi Gratis Ditambah Jadi Rp335 Triliun
- Polda Metro Jaya Targetkan Penyelidikan Kasus Kematian Diplomat Staf Kemenlu Rampung dalam Sepekan
- Hasil Penulisan Ulang Sejarah Bakal Diuji Publik 20 Juli 2025
- Tersangka Korupsi Minyak Mentah Riza Chalid Diduga Sudah Berada di Singapura, Kejagung Masukkan ke Daftar Cekal
- Kasus Chromebook, Kejaksaan Agung Menggeledah Kantor GoTo dan Menyita Ratusan Dokumen
- Jumlah Penduduk Indonesia Capai 286,69 Juta Jiwa per Juni 2025, Terbanyak Laki-Laki
- Jaksa Sebut Tom Lembong Tak Terima Uang, Tapi Kebijakannya Untungkan 10 Pihak
Advertisement
Advertisement