Advertisement

Promo November

Staf Khusus Presiden, Siti Ruhaini Sebut Indonesia Bisa Seperti Suriah, Jika…

Sunartono
Senin, 25 Maret 2019 - 09:57 WIB
Sunartono
Staf Khusus Presiden, Siti Ruhaini Sebut Indonesia Bisa Seperti Suriah, Jika… Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin. - Harian Jogja/Sunartono.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Potensi perpecahan di Indonesia sangat mungkin terjadi jika semua pihak tidak bisa menjaga dan merawat keberagaaman dengan baik. Pemerintah tidak bisa sendiri, butuh dukungan masyarakat hingga ormas untuk menjadikan Indonesia tetap menjadi negara demokratis dan  tercipta suasana saling menghargai perbedaan. Hal itu disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam diskusi di Kota Jogja, Minggu (24/3/2019).

Ia mengatakan selama aktif di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sebelumnya anggota OKI tidak pernah membayangkan jika Suriah akan cepat menjadi negara yang hancur seperti sekarang ini akibat perpecahan. Mengingat Suriah termasuk negara moderat dan tidak berkeinginan menjadi negara industri yang masyarakatnya cenderung merasa cukup dengan hasil bidang agraris. Negara ini juga tidak melakukan invasi kemanapun selain membela Palestina.

Advertisement

“Dulu orang di OKI, kami enggak akan mengatakan itu [bisa hancur akibat perpecahan], karena Syiria itu moderat, orangnya santai semua, agraris, mereka nggak mau menjadi negara industri besar, karena perpecahan, tetapi habis enggak sampai setahun,” katanya.

Ruhaini tidak menampik, Indonesia bisa pecah seperti Suriah jika semua pihak tidak bisa merawat kebangsaan dan keberagaman dengan baik. Potensi perpecahan sangat bisa terjadi dengan konflik berbasis agama. Apalagi Indonesia negara kepulauan, yang seringkali soal politik bisa memunculkan primordialisme seperti sebutan putra daerah dan sejenisnya.

“Saya yakin bisa [Indonesia seperti Suriah] karena sudah mulai [ada potensinya] , mereka [Suriah] muncul dari dikotomi, yang kafir dan enggak kafir, Islami dan tidak, di sini [Indonesia] sekarang sudah ada dikotomi ulama, itu sudah mulai, eksklusivitas akan dibangun seperti itu, dipakai untuk dagang politik,” ujar wanita yang pernah aktif di Komisi HAM OKI ini.

Apalagi saat ini kelompok tidak moderat harus diakui mulai ada di Indonesia dengan melakukan mobilisasi massa tidak tampak karena menggunakan kecanggihan teknologi, seperti medsos. Berbeda dengan zaman dahulu, revolusi bisa diketahui lebih awal karena ada mobilisasi massa secara nyata yang terjadi lebih dari satu titik.

Di sisi lain, Indonesia menjadi surga bagi semua kelompok tak terkecuali kelompok transnasional yang mengarah pada radikalisme. Kelompok radikalisme dari luar negeri yang sudah banyak ditindas dan tidak diberi tempat di negara asalnya justru bisa bergerak ke Indonesia. “Kelompok transnasional ini kan di negaranya sudah tidak ditoleransi lagi mereka bergerak ke negara demokratis seperti Indonesia karena mereka punya ruang untuk berkembang, ini penting,” ucap Dosen UIN Sunan Kalijaga ini.

Oleh karena itu, lanjutnya, untuk mengantisipasi hal itu, penting bagi negara untuk menguatkan kembali khazanah yang telah terbukti mampu memberikan konsep dasar tentang pemahaman perbedaan. Sehingga seluruh masyarakat bisa saling memahami perbedaan dan karakter masing-masing tanpa ada yang mempersoalkan. Serta terus melakukan perbaikan ekonomi untuk mengurangi kesenjangan.

Ia sepakat dalam kondisi apapun Indonesia memiliki kewajiban tetap menjaga, bahwa secara keagamaan harus moderat dan stabil. Namun dalam pertemuan dengan banyak kalangan, harus diakui bahwa dalam kontestasi politik seringkali agama menjadi bahan. 

Ruhaini mengatakan, banyak negara yang menaruh harapan besar terhadap Indonesia dalam penanganan manajemen mengatasi konflik agama. Indonesia masih menjadi representasi masyarakat muslim yang demokratis dibandingkan negara-negara Arab. Bahkan permintaan dialog bilateral hingga saat ini tercatat ada 45 negara yang mengajukan ke Indonesia untuk membahas tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan perbedaan dalam agama agar tidak memunculkan perpecahan yang lebih luas. “Karena dengan 714 suku, kita ini gampang pecah, tetapi kita bisa merawatnya dengan baik, ini harus kita pertahankan,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal SIM Keliling Bantul Selasa 26 November 2024

Jogja
| Selasa, 26 November 2024, 05:57 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement