Advertisement

FEATURE: Trauma Terbang Kembali Menyergap saat Terjadi Bencana Aviasi

Nugroho Nurcahyo
Jum'at, 02 November 2018 - 09:05 WIB
Budi Cahyana
FEATURE: Trauma Terbang Kembali Menyergap saat Terjadi Bencana Aviasi Suharti, Direktur Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta 2018. - Dokumen Suharti

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Mengalami trauma terbang bukan hal yang mudah untuk dilawan. Insiden pesawat jatuh bisa membangkitkan kembali trauma lama yang sudah mulai bisa dikendalikan. Berikut laporan yang dihimpun wartawan Harian Jogja Nugroho Nurcahyo.

Senin (29/10/2018), pesawat Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT610 rute Jakarta-Pangkalpinang jatuh di Teluk Karawang, 13 menit selepas meninggalkan landasan Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng, Tangerang, Banten. Bencana aviasi itu merenggut 189 nyawa yang ada di dalam Boeing 737 Max 8, pesawat yang usia operasinya belum juga genap tiga bulan.

Advertisement

Tragedi di pagi cerah dan laut nan biru tenang itu, membuat Suharti, Direktur Rifka Annisa Women Crisis Center Yogyakarta, kembali teringat kengerian naik pesawat berlogo kepala singa. Apalagi sepanjang hari kejadian, berita tentang pesawat nahas disiarkan bertubi-tubi hampir sepanjang hari di televisi.

Sudah sewindu lebih ia tidak pernah betul-betul tenang jika harus naik pesawat. Ia punya pengalaman traumatis naik pesawat dan telah berusaha melawannya. Pekerjaannya sebagai aktivis yang persisten dalam isu perlindungan perempuan dan anak, mengharuskannya memiliki mobilitas tinggi untuk menghadiri sejumlah acara dan proyek ini itu di luar kota, luar pulau, bahkan lintas negara.

Pada Rabu (31/10/2018) Suharti harus ke Jakarta menghadiri sebuah acara. Untuk perjalanan yang masih bisa ditempuh melalui jalur darat, ia memilih naik kereta. “Kalau pesawat pilih-pilih juga selama masih ada pilihan,” kata mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada itu.

Insiden PK-LQP membuat banyak orang yang semula hendak bepergian naik pesawat, beramai-ramai beralih ke jalur darat. Tiket kereta untuk pulang balik ke Jogja pada Jumat (2/11/2018) pun sudah ludes. “Pulangnya aku enggak kebagian tiket. Akhirnya terpaksa naik pesawat,” kata dia. “Siap-siap ketakutan [lagi] dan keringat dingin [lagi].”

Ketakutan terbang Suharti bukan tanpa alasan. Pada 2010, warga Siliran, Karangsewu, Galur, Kulonprogo, DIY, ini pernah mengalami kejadian mengerikan saat terbang ke Bandung naik pesawat ATR twin turbopropeler alias berpendorong mesin baling-baling.

Begitu roda pesawat touch down dengan keras ke landasan, alih-alih kecepatannya melambat, pesawat justru dipacu kian kencang. Getaran dan guncangan bodi merambat hebat di kursi penumpang. Tak disangka, moncong pesawat kembali diarahkan ke atas dan meninggalkan landasan.

Jantung Suharti serasa mau copot. Tiga temannya sama-sama ikut kalut. Banyak penumpang histeris, sebagian merapalkan doa-doa. Dunia serasa mau berakhir pada detik-detik itu. “Maaf kendali sudah di tangan lagi,” kata pilotnya setelah pesawat berhasil take-off.

Suharti pun berkata dalam hati, jika pilot bilang kendali sudah di tangan lagi, artinya sempat ada beberapa saat pesawat berada di luar kendali. Badannya pun mendadak lemas.

Setelah beberapa saat berputar-putar di langit Bandung, pesawat akhirnya bisa landing dengan mulus. Sejak kejadian itu, Suharti tidak berani lagi naik pesawat ke Bandung.

Sewindu berselang sejak insiden penerbangan traumatis itu, Suharti belum bisa tenang tiap kali harus naik pesawat. Keringat dingin selalu keluar begitu masuk ke lorong pesawat.

Insiden gagal landing di Bandung terjadi pada saat critical eleven atau Plus Three Minus Eight dalam dunia penerbangan. Istilah ini merujuk saat genting ketika kecelakaan pesawat sering kali terjadi, yakni tiga menit pertama dan delapan menit terakhir penerbangan.

Menit-menit itu menjadi sangat penting dalam penerbangan karena pilot yang bertugas harus berkomunikasi intensif dengan menara kontrol.

Tiga menit pertama digunakan untuk mencari posisi stabil dan mengendalikan kecepatan ketika pesawat mulai menanjak naik ke angkasa menuju ketinggian jelajah. Sementara delapan menit terakhir digunakan untuk menurunkan kecepatan dan mengarahkan pesawat dengan tepat ke landasan. Oleh sebab itulah, selama rentang waktu critical eleven, awak kabin dilarang berkomunikasi dengan kokpit kecuali ada hal darurat.

Waktu critical eleven inilah yang selalu terasa mencekam bagi Suharti. Di waktu take off atau menjelang landing, jika sedang terbang bersama teman, Suharti harus memegangi tangan temannya untuk menenangkan diri. Jika pergi sendirian, ia mengalihkan cengkeraman tangan pelepas ketegangannya ke kursi penumpang di depannya. “Saya tidak pernah bisa tidur di pesawat. Pernah saya naik pesawat 15 jam sekali pun, tidak tidur selama perjalanan,” ujarnya.

Baru pada Juli 2018 kemarin, setelah tiga bulan mengerjakan proyek di Australia, Suharti mulai tenang di dalam burung besi. Selama perjalanan balik ke Indonesia naik Qantas Airlines, ketakutannya seakan menguap entah ke mana. Ia bisa tertidur selama penerbangan.

Namun bibit ketakutan terbang kembali bersemi awal Oktober ini, sebelum tragedi Lion Air PK-LQP terjadi. Saat terbang dari Uganda ke Kenya menghadiri suatu meeting tahunan proyek lintas negara, pesawat yang ia tumpangi mengalami turbulensi.  “Waktu itu saya tambah panik karena saat kejadian banyak penumpang menghidupkan telepon genggam,” kata dia.

Belum sempat memulihkan ketakutan yang mulai bersemi, pada pengujung Oktober, pesawat Lion Air terjatuh. Di Indonesia pula. Fobia terbang Suharti membesar lagi. Padahal di akhir tahun, banyak proyek luar kota yang harus dikerjakan, kadang bisa mengharuskannya terbang tiga kali dalam sebulan.

 

Tips Atasi Trauma

Trauma juga dialami Laura Lazarus, eks pramugari Lion Air yang pernah mengalami kecelakaan dua kali dengan pesawat yang sama. Laura ada dalam pesawat yang keluar landasan bandara di Palembang, pada Juli 2004. Kecelakaan kedua dia alami saat Lion Air mendarat di Bandara Adi Sumarmo, di Solo, November 2004.

Kedua kecelakaan tersebut, membuat Laura Lazarus harus berkali-kali menjalani operasi. Bahkan dia sempat divonis harus diamputasi meski akhirnya dibatalkan. Lantaran kejadian itu, dia selalu waswas setiap kali naik pesawat.

Melalui website-nya, lauralazarus.net, Laura harus melawan trauma ketika harus naik pesawat lagi satu tahun setelah kecelakaan terjadi.

Dia menceritakan beberapa malam tidak bisa tidur. “Hatiku berdegup kencang karena takut,” kata dia.

Laura sukses melewati ketakutan dan sekarang menjadi motivator yang kerap memberikan tips-tips mengatasi ketakutan terbang.

Ada tujuh kiat yang dia tawarkan untuk orang-orang yang selalu cemas berada di pesawat: berdoa, mencari kegiatan positif, menyadari semua telah berlalu, menghadapi trauma, mengambil napas sebelum bertindak agar emosi terkendali, menulis buku harian yang bisa menceritakan kekhawatiran dan kecemasan, serta fokus pada memori menyenangkan.

Pengalaman itu dia uraikan dalam salah satu buku populer, Unbroken Wings, yang menceritakan tentang perjalanan hidup Laura menjadi seorang pramugari dan mengalami musibah kecelakaan pesawat yang nyaris merenggut nyawanya serta pengalaman dekat dengan kematian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Bus Damri dari Jogja-Bandara YIA, Bantul, Sleman dan Sekitarnya

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 04:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement