Advertisement

Pasal Rancu, MK Diminta Perjelas Sanksi Keterlibatan Pejabat Daerah dan TNI/Polri dalam Pikada

Newswire
Kamis, 03 Oktober 2024 - 18:37 WIB
Arief Junianto
Pasal Rancu, MK Diminta Perjelas Sanksi Keterlibatan Pejabat Daerah dan TNI/Polri dalam Pikada Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Mahkamah Konstitusi (MK) diminta memperjelas aturan sanksi pidana dalam Pasal 188 Undang-Undang (UU) No. 1/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Pilkada) bagi pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral.

Permintaan tersebut diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, dalam perkara uji materi yang teregister dengan No. 136/PUU-XXII/2024.

Advertisement

Dalam petitumnya, Syukur meminta agar frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” dimasukkan ke dalam Pasal 188 UU No. 1/2015. “Pasal 188 UU No. 1/2015 … tidak memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil terhadap pemilihan demokratis yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” ucap Syukur dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Menurut dia, Pasal 188 UU No. 1/2015 tidak sesuai dengan Pasal 71 UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 1/2015.

Dia menjelaskan, Pasal 71 UU No. 10/2016 dan Pasal 188 UU No. 1/2015 merupakan norma hukum yang berpasangan. Ketentuan Pasal 71 UU No. 10/2016 merupakan norma hukum primer, sementara Pasal 188 UU No. 1/2015 merupakan norma hukum sekunder.

Norma hukum primer, imbuh Syukur, adalah norma hukum yang berisi larangan sehingga menimbulkan akibat hukum apabila dilanggar. Adapun norma hukum sekunder berisi akibat hukum yang berupa ancaman pidana atas pasal yang dilanggar.

Salah satu larangan yang diatur dalam Pasal 71 UU No. 10/2016, yakni pada ayat 1, bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Namun, frasa “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri” yang diatur dalam Pasal 71 UU No. 10/2016 tidak ada di dalam Pasal 188 UU No. 1/2015. Padahal, kata Syukur, Pasal 188 tersebut merupakan norma sekunder dari Pasal 71.

“Ketiadaan frasa ‘pejabat daerah’ dan ‘anggota TNI/Polri’ dalam Pasal 188 UU No. 1/2015, tidak menjamin pejabat daerah dan anggota TNI/Polri dalam mematuhi larangan yang disebutkan dalam Pasal 71 ayat 1 UU No. 10/2016, sehingga pelanggaran dalam jabatan a quo berpotensi tidak dapat ditindak dan diproses secara hukum,” ujar dia.

BACA JUGA: Putusan soal Pilkada, Megawati Puji Mahkamah Konstitusi dan Mahasiswa

Atas dasar itu, Syukur meminta kepada MK agar frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" dimasukkan ke dalam Pasal 188, sehingga pasal tersebut menjadi berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."

Selain itu, Syukur juga mengajukan petitum provisi agar permohonannya menjadi prioritas pemeriksaan perkara di MK. Hal ini mengingat jadwal pelaksanaan kampanye Pilkada 2024 telah dimulai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

13 Jembatan Rusak di Sleman Segera Diperbaiki

Sleman
| Kamis, 03 Oktober 2024, 21:57 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Jogja lewat Diorama

Wisata
| Rabu, 02 Oktober 2024, 22:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement