Perampasan Aset Koruptor Tanpa Melalui Tuntutan Pidana
Advertisement
Harianjogja.com, SURABAYA—Salah satu hambatan utama penegakan hukum di Indonesia adalah sulitnya aparat penegak hukum mengidentifikasi jejak dan asal-usul hasil kejahatan, khususnya terkait aset.
Karena itu, diperlukan upaya percepatan reformasi hukum yang difokuskan pada pengambilalihan aset tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana yang rumit.
Advertisement
Demikian disampaikan Shri Hardjuno Wiwoho, Mahasiswa Program Doktor Program Studi Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya saat merilis hasil penelitiannya dengan judul “Prinsip Kepastian Hukum Pada Akselerasi Reformasi Hukum Terhadap Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non- Conviction Based Asset Forfeiture)"
Hasil riset tersebut disampaikan Hardjuno didampingi penasehat akamademiknya, Prof. Mas Rahmah, tim pengujinya yaitu Prof. Mas Rahmah, Prof. Muhamad Nafik Hadi Ryandono, Prof. Suparto Wijoyo, Prof. Badri Munir Sukoco, Doktor Faizal Kurniawan dan Doktor Prawita Thalib.
BACA JUGA: Ditanya Soal Pilkada Sleman, Begini Kata Bupati Sleman Kustini
Hardjuno berharap pendekatan ini dapat menjadi alat yang efektif dalam menyelamatkan aset negara dengan lebih efisien, sambil tetap menjaga prinsip kepastian hukum. Apalagi, pemerintah Indonesia telah merumuskan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) sejak tahun 2012.
Bahkan Naskah Akademik sebagai dasar pembentukan RUU tersebut telah disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Meskipun RUU PATP telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015-2019, namun hingga kini belum mengalami pembahasan oleh DPR.
Padahal Presiden Joko Widodo telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) tertanggal 4 Mei 2023 kepada DPR RI, meminta agar lembaga legislatif segera memprioritaskan pembahasan RUU tersebut.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa jumlah laporan yang diterima PPATK terus meningkat jumlahnya. Oleh karena itu, penanggulangan Tipikor memerlukan pendekatan yang extraordinary (luar biasa).
Apalagi, kerugian negara akibat Tipikor dan pencucian uang ini sangat besar. Salah satu cara penanganan terhadap kejahatan tersebut adalah melakukan perampasan aset untuk memulihkan kondisi semula.
Saat ini jelasnya, perampasan aset telah menjadi fokus global, sesuai dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003. Masyarakat global sepakat tentang pentingnya menyita aset dari hasil kejahatan tanpa melibatkan tuntutan pidana.
“Mekanisme perampasan aset tindak pidana dianggap sebagai norma dalam UNCAC, dengan tujuan mengoptimalkan upaya merampas aset hasil kejahatan tanpa harus melibatkan proses tuntutan pidana,” terangnya.
Hardjuno menegaskan konsep Perampasan Aset tanpa Pemidanaan atau yang dikenal sebagai Non-Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah ide restitusi kerugian negara.
Tujuannya adalah mengembalikan kerugian negara yang timbul akibat tindak kejahatan tanpa perlu menghukum pidana terlebih dahulu terhadap pelakunya.
Adapun kategori aset yang dapat disita menggunakan metode NCB asset forfeiture melibatkan aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau diubah menjadi kekayaan pribadi, pihak lain, atau korporasi.
Hal ini menjadi penting karena tindak pidana dengan motif ekonomi, seperti korupsi atau pencucian uang, dapat mengakibatkan kerugian bagi negara.
Dia menguraikan konsep perampasan aset tanpa melibatkan tuntutan pidana merupakan bagian dari skema hukum yang memungkinkan aset negara yang diambil secara tidak sah oleh pelaku tindak pidana dapat disita dan dikembalikan kepada negara sebagai upaya pemulihan aset negara.
Perampasan aset menjadi sangat penting mengingat pendekatan penegakan hukum di Indonesia yang menerapkan strategi follow the money atau penelusuran aliran dana untuk mengungkap tindak kejahatan.
Dalam konsep kepastian hukum yang diterapkan pada perampasan aset tanpa tuntutan pidana, prinsip utamanya adalah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang memiliki hak properti (right to property) melalui mekanisme recovery asset yang dilakukan oleh negara.
Jika aset tersebut diperoleh melalui tindakan pengayaan yang tidak adil atau unjust enrichment, negara berhak merampas aset tersebut tanpa melibatkan prosedur penuntutan dalam ranah hukum pidana.
Sebagai gantinya, proses perampasan aset dilakukan melalui jalur hukum perdata. “Jadi, model perampasan aset tanpa tuntutan pidana diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang kuat bagi masyarakat,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan
- Polisi Tembak Polisi hingga Tewas di Solok, Polda Sumbar Dalami Motifnya
- Eks Bupati Biak Ditangkap Terkait Kasus Pelecehan Anak di Bawah Umur
- Profil dan Harta Kekayaan Setyo Budiyanto, Jenderal Polisi yang Jadi Ketua KPK Periode 2024-2029
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
Advertisement
Pilkada 2024, Kampanye Akbar di Sleman Hanya Dilakukan Dua Kali
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Desk Pemberantasan Judi Online Ajukan Pemblokiran 651 Rekening Bank
- Diskop UKM DIY Raih Juara III Kompetisi Sinopadik 2024 di Palangkaraya
- Ketua MPR: Presiden Prabowo Disegani Saat Tampil di G20 Paparkan Hilirisasi SDA
- BRIN Usulkan Pemanfaatan Data Satelit dan Kecerdasan Buatan untuk Penanganan Bencana
- Anies Baswedan Diprediksi Mampu Dongkrak Elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno
- Inggris Dukung Indonesia Tambah Kapal Tangkap Ikan
- Presiden Prabowo dan PM Inggris Sepakat Dukung Gencatan Senjata di Gaza
Advertisement
Advertisement