Akal-akalan Pajak di Indonesia Ternyata Sudah Ada Sejak Zaman Belanda
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Persoalan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena kasus penganiayaan oleh Mario Dandy Satriyo, anak eks pegawai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Rafael Alun Trisambodo, berbuntut panjang.
Nama-nama lain kini ikut terseret. Wahono Saputro, misalnya, Kepala Kantor Pajak (KPP) Madya Jakarta Timur tersebut saat ini tengah menjadi sorotan karena diduga memiliki afiliasi dengan Rafael Alun.
Advertisement
Terseretnya nama-nama pegawai pajak dalam pusaran harta kekayaan tak wajar seolah mengembalikan ingatan publik pada pegawai pajak, yang tertangkap melakukan pencucian uang dan menerima gratifikasi, seperti Gayus Tambunan hingga Angin Prayitno.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan reformasi birokrasi pajak tak akan pernah berjalan sempurna. Sebagai konsekuensinya, timbul celah yang dimanfaatkan oknum untuk mencari kepentingan sendiri.
Menurutnya, celah tersebut biasanya terjadi ketika adanya interaksi antara petugas pajak dan Wajib Pajak (WP) saat melakukan pemeriksaan.
Interaksi tentang perhitungan pajak, kata Prianto, seringkali berbeda antara petugas pajak dan WP karena perbedaan sudut pandang penafsiran aturan pajak yang kompleks. Satu sisi WP ingin pajak seminimal mungkin, sementara petugas menginginkan utang pajak optimal.
“Ketika WP tidak punya pilihan lain untuk bersengketa, WP kadang ambil jalan pintas. Caranya dengan kongkalikong penentuan utang pajak,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (12/3/2023).
Kongkalikong itu setidaknya memberikan win-win solution antara WP dengan petugas pajak. Dalam hal ini WP ‘diuntungkan’ karena utang pajak turun, sedangkan oknum petugas juga mendapatkan imbalan dari WP karena telah membantu menurunkan utang pajak.
Prianto menuturkan kondisi tersebut sudah berlangsung sejak kolonialisme Belanda. Saat itu, ketentuan pajak Indonesia mengacu pada Ordonansi Pajak Perseroan 1925.
“Pajak ditentukan dengan sistem official assessment. Artinya, petugas pajak tentukan utang pajak dari wajib pajak. Di saat itu, terjadi negosiasi seperti uraian di atas,” tutur Prianto.
Dia berpendapat bahwa jika diibaratkan seperti gunung es, tidak ada satu orang pun yang tahu sejauh mana praktik tersebut marak. Pasalnya, kongkalikong tersebut menguntungkan dua belah pihak, sehingga proses identifikasi menjadi sulit.
Di sisi lain, Prianto menilai langkah Kemenkeu saat ini sudah tepat dan responsif. Akan tetapi, dia juga mengemukakan bahwa langkah tersebut tidak dapat menjamin bahwa kondisi serupa tidak akan terjadi pada masa-masa mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Berada di Lokasi Terpencil, 9 Kelompok Masyarakat Ini Alami Isolasi Genetik
- JK Kembali Dilantik Jadi Ketua Umum PMI, Tegaskan Tidak Ada Dualisme Kepengurusan
- Update Kasus Perundungan Mahasiswi PPDS Undip Semarang, Polisi Belum Juga Tetapkan Tersangka
- Anggota DPR Dukung Usul Prabowo Tambah Jam Olahraga di Sekolah
- Diperiksa Sebagai Saksi terkait Kasus Judi Online, Budi Are:Berhenti Memfitnah dan Memframing
Advertisement
Berduel Malam Ini, Berikut Susunan Pemain Persija vs PSS Sleman
Advertisement
Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup
Advertisement
Berita Populer
- Berada di Lokasi Terpencil, 9 Kelompok Masyarakat Ini Alami Isolasi Genetik
- Maxus Resmikan Dealer Pertama di Indonesia, Inovasi MPV Premium Ramah Lingkungan
- Jadwal KA Prameks Selama Libur Nataru, 20 Desember 2024-5 Januari 2025, dari Stasiun Tugu dan Stasiun Kutoarjo
- Menko Polkam Budi Gunawan jadi Menteri Terbaik di Kabinet Merah Putih
- Dukung Program Makan Bergizi Gratis, Kemenekraf Menggelar Program Pelatihan Juru Masak
- 918 Ribu Pekerja Migran Indonesia Bekerja di Luar Negeri dalam 4 Tahun Terakhir
- Terbongkar! 18 Anggota Polisi Peras Warga Malaysia hingga Rp32 Miliar di Konser DWP
Advertisement
Advertisement