Advertisement

BPOM Diminta Transparan, Penyebab Kematian karena Zat Etilen Glikol Bukan BPA

Abdul Hamied Razak
Kamis, 27 Oktober 2022 - 11:57 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
BPOM Diminta Transparan, Penyebab Kematian karena Zat Etilen Glikol Bukan BPA Galon air - Ist

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA- Rencana BPOM untuk mengeluarkan kebijakan pelabelan zat kimia Bisphenol A (BPA) pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon berbahan polikarbonat kembali disoal sejumlah pihak. Pasalnya, kemasan Plastik polyethylene terephthalate (PET) untuk galon sekali pakai yang menggunakan zat kimia berbahaya etilen glikol (EG), tidak dilabeli ‘Berpotensi Mengandung Etilen Glikol’.

“Kalau saya melihat memang ada gap atau semacam kesenjangan dimana kemudian saya melihat ini yang menjadi bagian dari pembenahan tata kelola BPOM, karena kan pada akhirnya publik juga yang jadi korban,” kata pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah melalui rilis yang diterima Harian Jogja, Rabu (26/10/2022).

Advertisement

Berdasarkan Peraturan BPOM No.20/2019 menyebutkan tentang risiko bahaya zat kimia dalam kemasan, dan untuk kemasan plastik PET seperti yang digunakan pada galon air minum sekali pakai potensi zat berbahaya yang dikandungnya adalah Etilen Glikol dan Dietilen Glikol. Kedua zat inilah yang ditemukan dalam sirup obat batuk dan menyebabkan gagal ginjal akut pada 244 anak Indonesia.

Sejumlah pengamat kebijakan melihat preferensi BPOM melakukan rencana pelabelan BPA ini menunjukkan sebuah kebijakan yang janggal dan diskriminatif mengingat risiko bahaya Etilen Glikol dan Dietilen Glikol yang telah memakan banyak korban, lebih berbahaya dibanding BPA yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Baca juga: Serikat Buruh Jogja Perjuangkan Upah Layak Rp4,2 Juta untuk UMK 2023

Glikol yang digunakan pada proses pembuatan kemasan Plastik PET ini lebih jelas dan nyata dibanding bahaya BPA yang belum ada kesepakatan bulat diantara para ahli. Dengan demikian, katanya, Alasan BPOM ingin menyematkan label BPA dalam galon isi ulang lantaran diyakini dapat menyebabkan infertilitas, gangguan kesehatan pada janin, anak dan ibu hamil.

Di sisi lain, BPOM belum melakukan penelitian spesifik terkait dampak tersebut. Pelabelan itu didorong dengan hanya mengacu pada survei BPOM terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatan regulasi BPA di luar negeri. Artinya, tanpa melakukan penelitian khusus.

"Sikap berbeda ditunjukan BPOM saat disinggung keberadaan etilen glikol dalam air galon kemasan polyethylene terephthalate (PET) atau galon sekali pakai berbahan PET. BPOM hingga saat ini masih bungkam terkait hal tersebut," kritik Trubus

International Agency for Research on Cancer (IARC) yang merupakan Lembaga bagian dari WHO belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik pada manusia. Sementara, acetaldehyde yang ada dalam kemasan sekali pakai atau PET seperti yang ada pada galon sekali pakai justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia, sebagaimana saat ini diduga menjadi penyebab ginjal akut pada anak.

“Hingga sekarang, IARC, badan yang di bawah WHO masih mengategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B. Kalau acetaldehyde, justru masuk ke grup 2B itu sejak lama,” kata Dosen dan Peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha E. Suyatma.

Beri Label

Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait meminta BPOM memberikan peringatan berupa pelabelan berpotensi mengandung etilen glikol terhadap kemasan-kemasan pangan berbahan etilen glikol. “Saya kira kalau memang sudah positif WHO mengatakan yang di Afrika itu bahwa sirup obat batuk itu mengandung etilen glikol dan itu mengakibatkan banyak anak di Afrika meninggal karena gagal ginjal, itu kan sebuah data yang dikeluarkan oleh badan dunia tentang kesehatan,” ujarnya.

Karenanya, lanjut Arist, meski di Indonesia belum ditemukan sirup obat batuk seperti yang digunakan di Afrika, kandungan etilen glikol itu ada juga di salah satu produk air minum dalam kemasan. “Karena itu, saya kira BPOM perlu melakukan penelitian terhadap produk-produk yang mengandung etilen glikol itu, seperti pada air minum kemasan galon sekali pakai,” katanya.

Menurutnya, penelitian itu wajib dilakukan negara dalam hal ini pemegang regulasi Badan POM supaya jauh-jauh sebelumnya bisa diantisipasi agar masyarakat memahami betul bahaya etilen glikol itu. "Karena plastik-plastik yang dipakai seperti galon sekali pakai, ketika dia mengandung etilen glikol maka isi dari kemasan itu bisa bermigrasi dan berbahaya bagi kesehatan anak,” tukasnya.

Pernyataan serupa disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo. Dia juga meminta BPOM untuk melakukan penelitian ulang terhadap semua kemasan pangan yang mengandung bahan etilen glikol. "Terhadap kemasan pangan yang mengandung etilen glikol, karena itu bisa menyebabkan bahaya kesehatan pada anak-anak seperti yang terjadi di Gambia, BPOM perlu melakukan suatu kajian atau penelitian lagi untuk mengetahui kadar etilen glikol di dalam produknya,” ujarnya.*

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Alasan Gerindra Bantul Belum Buka Pendaftaran Penjaringan Pilkada

Bantul
| Jum'at, 26 April 2024, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement