Advertisement

Jelajah Kuliner: Cara Clorot Purworejo Merawat Tradisi Bersama Teknologi

Sirojul Khafid
Kamis, 29 September 2022 - 17:17 WIB
Sirojul Khafid
Jelajah Kuliner: Cara Clorot Purworejo Merawat Tradisi Bersama Teknologi Suasana proses clorot di Desa Roworejo, Grabag, Purworejo, Senin (19/9/2022). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, PURWOREJO—Retno Widiati berusia 56 tahun. Setiap hari dia berjibaku dengan janur atau daun kelapa, berbagai adonan tepung, dan proses pengukusan. Ninik, panggilan akrabnya, sekarang menjadi pengusaha clorot. Makanan khas Purworejo ini dia kenal sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Di umur belasan tersebut, Ninik baru pindah dari Sumatra ke Desa Roworejo, Grabag, Purworejo.

Sejak tinggal di wilayah sentra pembuatan clorot, Ninik terlibat dalam proses pembuatan clorot. Di sela-sela waktu, orang tuanya mengajari Ninik membuat clorot, mulai dari pembuatan urung (bungkus) clorot sampai proses pemasakan.

Advertisement

Mungkin kala itu dia tidak menyangka, puluhan tahun ke depan akan menjadi pengusaha makanan yang dia buat dari tangannya sendiri. Bisa jadi juga, dia tidak menyangka, makanan yang dahulu populer, kini semakin susah ditemukan pembuatnya.

Meski sudah mengenal clorot sejak SMP, Ninik terjun dalam usaha ini baru di 2019. Motif menambah pemasukan menjadi yang utama. Ninik belum memproduksi sendiri dan masih mengambil dari produsen clorot yang berada di desa atau sekitarnya.

“Awalnya kami menjual clorot produksi tetangga. Kecamatan Grabag, terutama Desa Roworejo memang sentra clorot. Menurut sejarah lisan, clorot awalnya dari Kecamatan Grabag, tapi enggak tahu siapa yang pertama kali bikin, yang jelas produk asli sini,” kata Ninik, saat ditemui Tim Jelajah Kuliner: Merawat Masakan Warisan Leluhur di Desa Roworejo, Grabag, Purworejo, Senin (19/9/2022).

Jelajah Kuliner ini merupakan kerja sama antara Harian Jogja, Badan Otorita Borobudur, dan Alfamart. Sistem ini cukup mudah dijalankan. Terlebih produsen clorot di Desa Roworejo masih tergolong banyak. Ada setidaknya 10 rumah produksi. Ninik menjual produk tetangga sekitar tiga tahun. Setelah itu, Ninik bersama anaknya memproduksi clorot secara mandiri di rumahnya.

Agar masyarakat semakin mengenal, hasil produksinya dia namai Clorot Cemethut. Sejak saat itu, rumah tidak jarang riuh dengan produksi clorot dari hulu ke hilir. Hal ini sedikit banyak mengingatkan Ninik saat kecil dulu, ketika orangtuanya mengajarinya membuat clorot.

Pertama, Ninik perlu membuat urung clorot. Berbahan janur, satu clorot setidaknya membutuhkan dua helai janur ukuran sedang. Satu clorot untuk membuat urung bagian bawah. Sementara janur satunya untuk membuat semacam bentuk pipa. Urung clorot harus rapat dan tidak menyisakan celah.

Hal ini berpengaruh pada proses selanjutnya. Dalam proses adonan, bahan yang perlu disediakan berupa tepung beras, gula jawa, gula merah, tepung tapioka, vanili, dan kapur sirih. Kapur sirih berguna sebagai pembentuk unsur kenyal dalam adonan.

Selain gula jawa, semua adonan dicampur. “Kalau zaman dulu, sudah jadi adonan kental. Caranya dengan ditaruh di lumpang kayu, ditumbuk, dulu belum pakai tepung tapioka. Sekarang enggak perlu ditumbuk lagi. Cukup diwadahi baskom, ditepuk-tepuk pakai telapak tangan sekitar 10-15 menit,” kata Ninik.

Setelah cukup kenyal, adonan ditambah cairan gula yang direbus. Gula ditambahkan agar encer dan memberi rasa pada clorot. Adonan akhir kemudian dimasukkan ke urung clorot untuk kemudian dikukus. Selain penambahan tepung tapioka, seluruh bahan masih sama dengan resep dari para leluhur. Proses pengukusan juga masih menggunakan kayu bakar. Ninik pernah menggunakan bungkus selain janur, atau perapian selain kayu, rasanya ternyata berbeda.

Dalam sehari, rata-rata Ninik memproduksi 300-500 clorot. Dia menjulanya di pasar. Namun produksi itu bisa lebih banyak apabila ada pesanan khusus. Pernah suatu Ketika, Ninik bersama pegawainya bisa memproduksi 1.500 clorot dalam sehari.

Punya Cerita

Clorot biasanya muncul dalam momen-momen khusus, seperti hajatan atau suguhan untuk tamu yang datang dari jauh. Namun seiring berjalannya waktu, clorot juga menjadi cemilan pagi hari. Biasanya disandingkan dengan teh atau kopi.

“Karena clorot rasanya sudah manis, biasanya teh atau kopinya tidak terlalu manis,” kata Ninik.

Dari segi bungkus, pemakaian janur memiliki makna khusus. Janur bisa berarti nur atau cahaya. “Cahaya dari yang Maha Kuasa, mengingatkan kita agar memanfaatkan pemberian Tuhan dengan baik,” katanya.

Sementara cara makannya dengan mendorong bagian bawah clorot. Biasa dorongan menggunakan satu jari, bisa jempol atau jari telunjuk. Dengan didorong dari bawah, isi clorot yang kenyal dan lembut akan keluar dari bungkusnya. Jadi cara makannya bukan dengan membuka bungkus clorot.

“Filosofinya, setiap makhluk hidup punya masalah, apapun masalahnya, kita pasrahkan ke yang di atas atau Tuhan,” kata Ninik.

Makanan khas suatu daerah berpotensi mendatangkan keuntungan. Orang yang hendak membawa oleh-oleh khas Purworejo misalnya, bisa membeli clorot. Sayangnya, clorot hanya bisa bertahan satu sampai dua hari. Padahal, oleh-oleh biasanya dibawa dalam perjalanan berhari-hari. Kemudian bagaimana dengan clorot hari ini?

BACA JUGA: Jelajah Kuliner: Leker Pak Min, Dari Imajinasi Sampai Terealisasi

Ini menjadi salah satu keresahan Ninik dan anaknya. Semakin menekuni produksi clorot, ada keinginan kuat untuk terus melestarikan makanan warisan leluhur ini. Namun tidak hanya mewarisi, dia perlu adanya inovasi.

Setelah melihat berbagai referensi dan percobaan, Ninik mencoba sistem vakum. Clorot dimasukkan ke dalam bungkus plastik, setelah itu divakum. “Ternyata setelah divakum, clorot bisa awet sampai tujuh hari. Bahkan kalau dimasukkan ke freezer bisa tahan sampai setahun,” kata Ninik.

Selain memvakum, Ninik juga pernah mencoba dengan sistem sterilisasi. Sayangnya, model ini perlu menggunakan alat khusus yang dia belum punya. Namun ada cara lain, yakni mengukus. Sterilisasi bisa membuat clorot tahan selama tiga bulan.

Inovasi ini membuat Ninik bisa menjual clorot tidak hanya di pasar, tapi juga secara online. Makanan yang tahan lama juga mampu membuat penjualan Clorot Cemethut tembus pasar luar negeri.

“Pernah beberapa bulan sebelumnya, dari bandara langsung mengambil clorot produksi kami, katanya mau diekspor ke Hong Kong,” katanya.

“Tidak jarang juga orang asli sini, saat dia mau kerja di luar negeri seperti Jepang, Abu Dabhi dan lainnya juga bawa clorot sebagai oleh-oleh. Mungkin dimakan sendiri atau dikasih ke taman atau bosnya.”

Agar clorot semakin banyak cita rasanya, Ninik juga membuat berbagai varian rasa. Selain original rasa manis dari gula jawa, adapula alteratif varian lain seperti ubi ungi, kacang hijau, dan gula hitam.

BACA JUGA: Jelajah Kuliner Masakan Leluhur, BOB: Ekraf Sektor Makanan Jadi Masa Depan Indonesia

Harga clorot tanpa vakum atau sterilisasi senilai Rp1.000 per bungkus. Sementara satu clorot yang dibungkus dengan sistem vakum dihargai Rp2.500. 10 clorot dalam satu bungkus yang divakum harganya Rp17.000.

Dalam proses produksi clorot, Ninik perlu bantuan tangan orang lain. Selain anggota keluarga, ada pula pegawai yang dia bayar. Di sekitar Desa Roworejo, mayoritas pembuat clorot sudah masuk usia paruh baya. Meski ada yang masih tergolong muda, jumlahnya bisa dihitung jari.

“Makanya kami berupaya gimana caranya makanan ini tetap lestari, ada anak muda yang buat tapi hanya beberapa,” kata Ninik. “Terutama yang dari sini, semoga clorot tetap lestari, generasi saat ini dan seterusnya-seterusnya terus melanjutkan. Warisan budaya leluhur jangan sampai hilang, tetap lestari entah sampai kapan masih mengenal clorot.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

AHY Menegaskan Tidak Akan Ada Lagi Asal Menggusur di IKN

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 09:47 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement