Advertisement
Konvensi ILO 190 Melindungi Pekerja Tanpa Memandang Status

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Indonesia terus didorong untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional PBB (International Labour Organization/ILO) 190 agar lingkup perlindungan terhadap kekerasan di dunia kerja semakin luas dan komperhensif.
Advertisement
PROMOTED: Dari Garasi Rumahan, Kini Berhasil Perkenalkan Kopi Khas Indonesia di Kancah Internasional
Salah satu yang mendorong ratifikasi Konvensi ILO 190 adalah Organisasi Perempuan Mahardika. Vivi Widyawati dari Organisasi Perempuan Mahardika menyebut sejauh ini belum ada tanda-tanda pemerintah Indonesia akan meratifikasi Konvensi ILO 190. Padahal konvensi ini menjadi konvensi internasional yang pertama yang mengakui kekerasan dan pelecehan termasuk kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran di dunia kerja dan tidak tidak dapat ditoleransi.
“Tidak kunjung diratifikasi alasannya sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UUTPKS], tetapi UU TPKS [lingkup perlindungannya] tidak seluas Konvensi ILO 190 melindungi pekerja,” kata Vivi dalam Media Gathering Konvensi ILO/KILO 190 yang diselenggarakan Konde.co dan Voice melalui Zoom, Jumat (22/7).
Vivi menyebut konvensi ini melindungi pekerja tanpa memandang status pekerja, apakah formal atau informal. Tak hanya itu Konvensi ILO 190 juga melindungi orang yang sedang dalam pelatihan, termasuk siswa magang; pekerja yang diberhentikan (PHK); sukarelawan; pencari kerja dan pelamar kerja; serta orang yang menjalankan wewenang, tugas atau tanggung jawab pemberi kerja.
“Salah satu poin penting dalam Konvensi ILO hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender,” ujar Vivi.
Sedangkan menurut Keynan Reihan dari Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (Yapesdi) menyebut ruang lingkup perlindungan Konvensi ILO 190 luas karena berlaku untuk sektor publik dan swasta, ekonomi formal dan informal serta wilayah perkotaan dan pedesaan.
Keynan menyebut dunia kerja yang masih tidak inklusif terhadap orang-orang dengan disabilitas. “Pekerja-pekerja dengan disabilitas seringkali tidak memiliki kekuatan negosiasi karena pilihan mereka terbatas pada perusahaan yang bersedia mempekerjakan penyandang disabilitas, membuat mereka cenderung harus menoleransi kekerasan dan pelecehan yang mereka alami di tempat kerja,” ujarnya.
Melalui ratifikasi Konvensi ILO 190 hak-hak orang-orang dengan disabilitas bisa terpenuhi, mereka juga bakal lebih terlindungi dari kekerasan dan pelecehan.
“Dengan Konvensi ILO 190, akan ada kerangka aksi yang jelas serta peluang untuk membentuk masa depan dunia kerja berdasarkan martabat dan penghargaan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan,” kata Reyhan.
Kekerasan Bersifat Sosial
Lita Anggraini dari Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) menyebut kekerasan dan pelecehan mewujud dalam berbagai bentuk, bisa psikis, fisik ekonomi seksual dan trafficking. Hal tersebut terkait dengan soal akses, partisipasi, kontrol dan kesejahteraan.
Biasanya, menurut Lita, yang paling rentan adalah seperti yang termuat dalam Konvensi ILO 190, yaitu kelompok minoritas (disabilitas, minoritas orientasi seksual, RAS, kedaerahan dan minoritas dalam bentuk tubuh). “Dan yang lebih rentan lagi adalah perempuan,” katanya.
Selain itu, yang juga rentan menurut Lita adalah soal kesejahteraan, misalnya kesenjangan soal gaji, promosi dan akses antara lelaki dan perempuan. Soal kekerasan seksual di dunia kerja, menurut Lita bentuknya macam-macam, mulai verbal hingga fisik. Kekerasan fisik biasanya terjadi dalam sektor privat yang jauh dari akses sosial, bentuknya biasanya berupa pemukulan.
“Dalam dunia kerja, pekerja juga bisa mengalami pengucilan. Dibuat kucil oleh lingkungan kerjanya, oleh atasannya. Ini termasuk kekerasan bersifat sosial. Ada lagi kekerasan ekonomi yang menyangkut diskriminasi sistematis dari lingkungan kerja dan oleh negara. Misalnya perbedaan jaminan sosial dan bantuan sosial, biasanya pekerja informal,” kata Lita.
Sedangkan trafficking, Lita menyebut bisa terjadi pada PRT (buruh migran), pekerja entertainment, buruh migran pekerja perkebunan dan pekerja yang sifatnya freelance. Selain itu Lita juga menyebut contoh kekerasan dalam dunia kerja adalah tidak adanya uang lembur serta tidak mendapatkan perlindungan sosial. Biasanya itu terjadi pada PRT.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Berita Pilihan
- Digaji Rp172 Juta, Apa Tugas Kepala Otorita IKN dan Wakilnya?
- Sempat Tertunda karena Pandemi, Pembangunan Masjid Agung Jateng di Magelang Akhirnya Dimulai
- Purnawirawan Penabrak Mahasiswa UI Ingin Nyaleg
- Jokowi dan Anies Baswedan Diduga Saling Sindir di Instagram
- Indonesia Tak Kena Resesi Seks! Angka Kelahiran Tembus 2,18 Persen
Advertisement

Ada 4 Simpang Susun di Tol Jogja-YIA, Ini Titik Lokasi dan Fungsinya!
Advertisement

Seru! Ini Detail Paket Wisata Pre-Tour & Post Tour yang Ditawarkan untuk Delegasi ATF 2023
Advertisement
Berita Populer
- 49 Siswa Madrasah Tewas Dalam Kecelakaan Kapal Terbalik di Pakistan
- Keluarga Mahasiswa UI Korban Kecelakaan Laporkan Polres Jaksel ke Ombudsman
- Sempat Tertunda karena Pandemi, Pembangunan Masjid Agung Jateng di Magelang Akhirnya Dimulai
- Hilal Terlihat, Muhammadiyah Tetapkan Awal Puasa 23 Maret 2023
- Telkom dan Transjakarta Kolaborasi Kembangkan Sistem Teknologi Informasi
- 300 Karyawan OLX Indonesia Dikabarkan Kena PHK
- Bale Raos, Sembilan Belas Tahun Mengukir Karya
Advertisement
Advertisement