Advertisement
Dilema Sri Mulyani: Mobil untuk Warga Mampu Diberi Insentif Tapi Sembako Dipajaki

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA -Kebijakan pemerintah yang ingin mengenakan pajak 12% untuk komoditas sembako belakangan menuai protes.
Seminggu terakhir, media sosial dan situs berita online ramai membahas pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan terhadap bahan pangan atau sembako dari sektor dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan.
Advertisement
Hal ini terungkap dari rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang bocor ke publik. Dari penelusuran Bisnis, sembako yang akan dikenakan PPN 12 persen a.l. beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, telur dan susu.
Sontak masyarakat 'Negeri +62' bereaksi. Dalam rapat dengan Kementerian Keuangan, Kamis (11/6/2021), anggota Komisi XI Fraksi Gerindra Kamrussamad memberikan kritik pedas kepada pemerintah terkait dengan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan barang pokok yang tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“Kemarin pemerintah membebaskan PPnBM terhadap kendaraan bermotor. Saat ini, rakyat akan dipajaki, sembako akan dikenakan PPN,” ujar Kamrussamad.
Dia menilai wacana ini sangat ironis. "Hal-hal seperti ini sangat tidak tepat untuk diwacanakan, apalagi menjadi sebuah usulan pemerintah. Diwacanakan saja tidak tepat, apalagi menjadi usulan," tegasnya.
Komentar soal PPN ini juga dilempar oleh anggota parlemen yang lain. Anggota Komisi Keuangan DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan bahwa dirinya dihujani pertanyaan baik telepon maupun pesan instan dari warga daerah pemilihannya.
Mereka meminta keterangan dari legislatif terkait salah satu isu yang menjadi perbicaraan publik, yaitu rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako.
“Saya katakan sampai saat ini kami belum terima draf dari pemerintah. Oleh karena itu, kita meminta klarifikasi [kepada Menkeu],” katanya. Andreas mengacu dirinya dan anggota lain terpojok karena belum pernah sekalipun membahas soal RUU KUP. Ini harus jadi perhatian karena pajak menyangkut orang banyak.
“Oleh karena itu, komunikasi publik menjadi sangat penting. Dan saat ini banyak denyut negatifnya,” jelasnya. Anggota Komisi Keuangan lainnya Putri Anetta Komarudin menilai Kemenkeu harusnya melakukan optimalisasi penerimaan negara dari barang nonkebutuhan pokok.
“Semestinya kita bisa menyisir anggaran yang tidak urgent untuk bisa mengoptimalisasi angaran yang kita pakai untuk Covid-19 dari sektor kesehatan dan ekonomi,” jelasnya.
Sri Mulyani pun angkat bicara terkait dengan sindiran memberikan relaksasi pajak kendaraan, tetapi menaikkan pajak sembako. "Ini tidak benar kalau dibentur-benturin seolah-olah PPnBM mobil diberikan, lalu sembako dipajakin, ini teknik hoaks yang bagus banget," ungkap Sri Mulyani.
BACA JUGA: Bank Dunia Bantu Rp5,6 Triliun untuk Reformasi Sektor Keuangan Indonesia
Dia juga menegaskan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang bakal mengubah rezim pungutan sampai saat ini belum bisa dia paparkan lebih jauh karena kurang tepat secara etika politik. Seperti diketahui draf ini harus melewati Sidang Paripurna sebelum dibahas lebih lanjut di DPR.
"Kami dari sisi etika politik tentu belum bisa menjelaskan ke publik sebelum ini dibahas, karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden," ujar wanita yang akrab dipanggil Ani tersebut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya sudah mengirim surat kepada DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Menurut DPR, surat presiden (supres) tersebut juga menyinggung soal tax amnesty jilid II.
Kembali mengenai pajak sembako, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai penerapan PPN untuk kebutuhan pokok yang tidak diimbangi dengan bantuan sosial bakal meningkatkan angka kemiskinan. Pasalnya, bahan makanan menyumbang 73,8 persen dari total komponen garis kemiskinan.
“Sensitivitas harga makanan ke jumlah orang miskin perlu dicermati. Daya beli bisa langsung turun dan kontraproduktif dengan upaya mengurangi angka kemiskinan selama pandemi,” katanya.
Di sisi lain, Ekonom Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengingatkan pengenaan PPN 12 persen untuk sembako, serta pengenaan PPN untuk jasa pendidikan dan jasa kesehatan, akan berkaitan langsung dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan.
Menurutnya, potensi kenaikan inflasi 2021-nya berkisar naik 1 sampai 2.5 persen sehingga inflasi 2021 bisa mencapai 2.18 persen sampai 4.68 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Naik Hampir 10 Persen pada 2024
- Diduga Selewengkan Pertalite, Pedagang di Temanggung Ditangkap
- Bingung Mau Bikin SKCK Online? Simak, Berikut Caranya
- Pesta Sabu-Sabu, Ketua Bawaslu Bandung Barat Ditangkap Polisi
- Siap-Siap! Mendagri Segera Turunkan Tim Blusukan dan Cek Pelaksanaan Efisiensi Anggaran di Daerah
Advertisement
Advertisement
Ramadan, The Phoenix Hotel, Grand Mercure & Ibis Yogyakarta Adisucipto Siapkan Menu Spesial
Advertisement
Berita Populer
- 108 Ribu Pejabat Belum Laporkan LHKPN
- Mahasiswa UKI Ditemukan Tewas di Kampus, Polisi Lakukan Penyelidikan
- Waspada Banjir, Hari Ini Masih Berpotensi Hujan Deras di Pulau Jawa
- Jawa Tengah Siap Sambut Kedatangan Pemudik Lebaran 2025
- Mahasiswa UKI Ditemukan Meninggal di Kampus, Polisi Selidiki Penyebab Kematian
- Besaran Zakat Fitrah 2025 Wilayah Jabodetabek Ditetapkan Rp47.000
- Kasus Korupsi Pertamina, Kejagung Periksa Eks Dirjen Migas ESDM
Advertisement
Advertisement