Advertisement
Dikiritik karena Bertindak Semena-mena, Polri: Kami Juga Diajarkan HAM

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Polisi mengklaim paham soal hak asasi manusia. Pernyataan itu disampaikan atas kritik kinerja polisi yang dianggap semena-mena ke para demonstran.
Polri menyanggah anggapan institusinya yang disebut kerap bertindak represif dan semena-mena terhadap kelompok yang mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo. Polri mengklaim bahwa anggotanya telah diajarkan tentang HAM dan setiap tindakan yang dilakukan berdasar ketentuan hukum.
Advertisement
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan bahwa penangkapan yang dilakukan oleh anggota terhadap seseorang sudah pasti berdasar temuan adanya unsur pidana. Menurutnya tidak mungkin penangkapan, penetapan status tersangka, hingga penahanan terhadap seseorang semena-mena berdasar adanya perbedaan pendapat dengan pemerintah.
"Kami tidak semena-mena terhadap misalnya orang yang berbeda pendapat, semua ada unsurnya di undang-undang, karena polisi pelaksana undang-undang," kata Awi di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (26/10/2020).
Kendati demikian, kata Awi, apabila ada pihak yang merasa tidak terima atas proses penangkapan hingga penahanan terhadap seseorang yang menyandang status tersangka dapat menempuh jalur praperadilan. Hal itu dilakukan untuk menguji sah atau tidaknya proses penindakan hukum yang dilakukan oleh penyidik kepolisian.
"Biasa dipraperadilankan sebagai kontrol bahwasannya polisi sudah betul atau tidak, silakan diuji, kita sama-sama disana nanti akan diadili hakim tunggal," ujarnya.
Disisi lain, Awi juga membantah jika anggotanya disebut kerap bertindak represif terhadap demonstran. Awi mengklaim jika semua anggota Polri pun telah diajari tentang pendekatan HAM
"Polisi sendiri juga diajarkan HAM," imbuhnya.
Awi menuturkan, dalam mengamankan aksi demonstrasi, anggota polisi telah dibekali Peraturan Kapolri/Perkap, standar operasional prosedur atau SOP hingga protap. Salah satunya, setiap anggota yang mengamankan aksi demonstrasi tidak diperkenankan menggunakan senjata api.
"Saat massa sudah anarki pasti polisi akan melakukan tindakan-tindakan terukur, tangan kosong sampai menggunakan pentungan, tameng bahkan menggunakan water cannon, dan gas air mata. Tentunya itu fungsinya untuk memecah belah, mengurai massa, karena kami juga diajarkan bagaimana psikologi massa," tuturnya.
Indikator Politik Indonesia sebelumnya merilis hasil survei terbaru bertajuk Politik, Demokrasi, dan Pilkada di Era Pandemi. Hasil surveinya menyatakan, sebagian besar masyarakat setuju jika aparat kepolisian kekinian dinilai semakin semena-mena, khusunya terhadap kelompok yang berbeda pendapat dengan pemerintah.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengemukakan berdasar hasil survei yang dilakukannya, sebanyak 19,8 persen responden menyatakan sangat setuju jika aparat kepolisian kekinian dinilai sangat semena-mena.
Sedangkan yang agak setuju 37,9 persen. Kemudian, kurang setuju 31,8 persen. Serta, tidak setuju sama sekali 4,7 persen.
Terkait hal itu, Burhanuddin pun menilai bahwa terlepas dari pro-kontra Omnibus Law - Undang-Undang Cipta Kerja, Jokowi sudah semestinya turut mendengar aspirasi dari kelompok yang tidak setuju. Terlebih, Jokowi dinilai Burhanuddin sejatinya memiliki jejak baik dalam melakukan konsultasi publik, khusunya dalam kasus pemindahan pedagang kaki lima (PKL) di Solo.
"Hal yang sama diharapkan dilakukan presiden, di mana ada tuntutan, terlepas dari pro-kontra terkait Omnibus Law. Mereka yang kontra pasti punya argumen, harusnya jangan didekati dengan cara cara yang kurang demokratis. Jadi ini saatnya untuk presiden untuk mendengar kelompok kelompok yang tidak setuju," kata Burhanuddin dalam dalam sebuah diskusi virtual pada Minggu (24/10).
Sebagai informasi Indikator Politik Indonesia melakukan survei sejak tanggal 24 hingga 30 September 2020 dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dan diwawancarai melalui telepon. Adapun, margin of error kurang lebih sebesar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari hasil survei tersebut diketahui pula bahwa kekinian terjadi tren penurunan dukungan terhadap sistem demokrasi di Indonesia di masa Pandemi Covid-19. Tren dukungan terhadap demokrasi di Indonesia di masa pendemi Covid-19 khusunya pada September 2020 mencapai angka 62,4 persen. Angka tersebut cenderung mengalami kemerosotan jika dibandingkan hasil survei pada Februari 2020 yang mencapai angka 72,9 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Suara.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Kasus Pemerasan Artis Sinetron MR, Polisi Menyita Enam Video Syur Sesama Jenis
- Adik Ipar Ganjar Pranowo Dituntut 5,5 Tahun Penjara karena Korupsi Pembangunan Jembatan Sungai Gintung
- Akan Tenggelam, Ribuan Warga Tuvalu Ajukan Visa Iklim untuk Bermigrasi ke Australia
- Buntut Tragedi di Maluku Tenggara, UGM Evaluasi Sistem KKN
- Para Advokat Perekat Nusantara dan TPDI Somasi Gibran, Untuk Segera Mundur Sebagai Wapres
Advertisement

Porda XVII DIY 2025: Sleman Mulai Siapkan OPD Pendamping Cabor Demi Membidik Juara Umum
Advertisement

Kampung Wisata Bisa Jadi Referensi Kunjungan Saat Liburan Sekolah
Advertisement
Berita Populer
- Viral Video Pria Pamer Senjata Api dan Mengaku dari Ring 1 Istana, Pelaku Diringkus Polisi
- KPK Cekal Mantan Wadirut BRI ke Luar Negeri Terkait Dugaan Korupsi Pengadaan EDC
- Kejagung Periksa Pihak Google Terkait Penyidikan Dugaan Korupsi Laptop Chromebook
- Kemenag Siapkan Regulasi Terkait Tata Kelola Rumah Doa
- Api Melahap RS Hermina Jakarta, Polisi Selidiki Penyebab Kebakaran
- KPK Panggil Pihak Swasta Terkait Suap Pengadaan Barang di MPR RI
- Pembubaran Kegiatan Ibadah dan Perusakan Rumah Retret di Sukabumi, Kemenag Siapkan Regulasi Rumah Doa
Advertisement
Advertisement